Novel Ghost Fleet terus memantik kontroversi di Indonesia. Terlepas dari pidato Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto yang mengatakan Indonesia bubar di tahun 2030 berasal dari novel ini, banyak yang penasaran seperti apa isi buku dan jalan cerita novel ini. Karena sampai saat ini belum ada versi bahasa Indonesia, atau belum dipasarkan di Indonesia, berbagai opini tentang novel ini tentu saja didapat dari ulasan mereka yang sudah membacanya.
Cerita Ghost Fleet dimulai di Stasiun Luar Angkasa Internasional atau ISS. Ketika itu, Rusia dan Cina yang bersekutu telah menyatakan perang melawan Amerika Serikat. ISS sendiri terdiri dari dua bagian, yakni Russian Orbital Segment (ROS) dan bagian USOS (United States Orbital Segment). Seorang  Kolonel Angkatan Udara AS yang sudah lama berkelana di luar angkasa hendak bertugas di USOS.Â
Dia tidak sadar bahwa ada perubahan geopolitik di bumi dan alangkah kagetnya ketika dia mendapati pintu ISS disegel oleh rekan kosmonot dari Rusia di kamar sebelah. "Selamat tinggal temanku. Saya benar-benar minta maaf. Ini adalah perintah,"kata rekan kosmonot Rusia-nya.
Inilah awal peperangan di dunia siber. Pengambilalihan ISS memungkinkan stasiun ruang angkasa China, Tiangong-3, untuk secara sistematis melumpuhkan setiap satelit komunikasi yang terhubung dengan angkatan bersenjata AS. Tak hanya itu, semua jaringan komunikasi area lokal juga lumpuh karena pemasok peralatan militer telah menggunakan chip komputer buatan Cina yang murah yang dipasang di pesawat, kapal, dan peralatan komunikasi militer AS lain.Â
Jumlahnya mencapai ribuan, dan tentu saja sulit untuk mengidentifikasi satu persatu. Hanya pesawat-pesawat dan kapal-kapal lama yang sudah dipensiunkan saja yang tidak menggunakan chip buatan Cina.
Secara umum, novel ini mempunyai sudut penceritaan yang pendek-pendek, dan meloncat-loncat dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Sebagian besar aksi berlangsung di perairan Pasifik, San Fransisco dan Hawaii, di mana "Direktorat Khusus" didirikan oleh militer Cina, bersama dengan unsur-unsur Rusia di bawah komando mereka sebagai pos terdepan dalam menghadapi peperangan melawan AS.
Karakter utama dan jantung cerita novel ini terletak pada Jamie Simmons, Kapten kapal USS Zumwalt yang sedang diujicobakan. Dalam menghadapi peperangan melawan Cina dan Rusia, militer AS memanggil kembali para pensiunan militer untuk bertugas. Salah satunya adalah Opsir Kepala Mike Simmons, ayah dari Jamie Simmons. Dan entah dengan alasan apa, Mike Simmons ditugaskan di USS Zumwalt, menjadi bawahan dari putranya sendiri. Disinilah adegan drama yang ditempatkan oleh sang penulis ditengah-tengah alur cerita yang penuh aksi.
Selain Jamie Simmons, karakter lain yang menjadi bagian dari pusat cerita adalah Admiral Wang, komandan dari kapal perang Cina Laksamana Zheng He. Nama kapal perang ini mengingatkan kita pada Laksamana Cheng Ho yang pernah singgah di Nusantara. Selain itu, masih ada seorang wanita Hawaii yang bekerja sebagai pembunuh freelance yang dilacak oleh drone pengintaian di mana-mana. Seorang Rusia yang mencoba membantu pihak Amerika serta seorang Inggris yang kaya raya.
Lalu, di mana posisi Indonesia dalam novel ini sehingga Prabowo Subianto menyebut negara kita bubar? Indonesia, oleh Singer dan Cole diceritakan sudah menjadi "bekas negara" karena terlibat dalam Perang Timor Kedua dan ketika itu masih banyak terdapat anarkisme. Penulis novel tidak secara eksplisit menjelaskan mengapa Indonesia bisa terjerumus dalam peperangan tersebut.Â
Satu-satunya petunjuk adalah ketika Admiral Wang menanyakan kabar tentang Jenderal Feng yang diperintahkan Presidium Partai untuk dibunuh. Jenderal Feng terpaksa harus dilenyapkan karena dia serakah menjual ratusan ton senjata kepada sekelompok pemberontak di Sulawesi Utara diluar harga yang sudah disepakati.Â
Admiral Wang mengatakan, keserakahan Jenderal Feng adalah bentuk penyangkalan terhadap "Program Ketidakstabilan Indonesia", dan untuk itu dia harus disingkirkan. Program tersebut direncanakan dan ditulis Admiral Wang dalam sebuah essay yang berjudul "Third Island Chain". Â Dalam menceritakan sepak terjang rencana Admiral Wang, novel ini banyak mengutip strategi dari Sun Tzu dalam buku The Art of War.
Selain sebuah fiksi, novel ini terkesan realistis karena Singer dan Cole menyertakan 374 catatan akhir sebagai referensi untuk menjelaskan istilah-istilah atau penggunaan teknologi canggih dalam novel mereka. Seperti adanya teknologi rudal/misil antisatelit, atau seperti apa bentuk dan teknologi satelit Tiangong-3 milik Cina dan WGS-4, satelit canggih milik Angkatan Udara AS yang baru diluncurkan tahun 2012 kemarin.Â
Singer dan Cole juga dengan detil menggambarkan bagaimana kinerja para peretas remaja Cina yang tergabung dalam Brigade Informasi ke-234 Universitas Jiao Tong, sebuah sub unit dari Milisi Siber Angkatan Ketiga. Milisi siber ini beranggotakan para remaja Cina dari berbagai universitas.Â
Tak heran, sebelum novel ini heboh karena dikutip Prabowo, Ghost Fleet menjadi rujukan tidak kurang dari 17 buku dan jurnal ilmiah. Salah satunya seperti yang terdapat dalam jurnal ADF and Cyber Warfare, ditulis oleh Brigadier Marcus Thompson, Phd, Commander of the 6th Combat Support Brigade Royal Australian Corps of Signals.
In considering the character of cyber warfare, noted US authors Peter Singer and August Cole have produced a remarkably-believable suite of vignettes in their futuristic novel Ghost Fleet. While the scenario includes close combat in the land, sea and air domains, the authors' descriptions of combat in cyber and outer space generate significant food for thought.
However, while the actions in cyberspace in the book were critical to each adversary's success or failure, cyber capabilities were not individually decisive. The operational effectiveness of cyber effects was derived from their complete integration with operations in the environmental domains. Additionally, in the posited scenario, pre-emptory cyber activities were not recognised nor considered as acts of war.
Ghost Fleet memang tidak sekedar novel fiksi biasa bergenre techno-thriller. Bagi pembaca luar, novel ini memang tampak begitu Amerika-sentris. Tapi bagi saya wajar, karena penulis adalah orang Amerika, yang kebetulan bekerja sebagai konsultan Departemen Pertahanan Amerika Serikat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H