Kota Malang adalah kota yang penuh dengan kenangan sejarah. Dari sejak jaman kerajaan kuno seperti Tumapel, Singosari, Kanjuruhan hingga pada era kolonial dan berlanjut jaman pendudukan Jepang, jejak sejarah tersebut masih ada. Sumber-sumber sejarah baik itu berbentuk literatur atau bangunan fisik bisa dengan mudah didapatkan.
Sayang sekali, dari sekian banyak literatur sejarah yang membahas Malang, belum ada yang meneliti potret olahraga, terutama sepakbola di masyarakat. Terutama pada era kolonial ketika sepak bola pertama kali diperkenalkan di Indonesia. Pada umumnya, sejarawan lebih senang membahas aspek sosial, seni budaya politik dan ekonomi masyarakat Malang. Padahal, olahraga dan sepak bola bisa dikatakan termasuk salah satu aspek yang mempengaruhi kehidupan masyarakat lokal.
Nama Go Ahead ternyata tidak hanya digunakan di Malang saja. Tercatat, Go Ahead juga menjadi cikal bakal sepak bola di Semarang, dengan tahun pendirian yang sama. Setelah Go Ahead, menyusul kemudian terbentuk klub Voorwaarts (1902), M.O.T ( Moed Overwint Tegenspoed, tahun 1904) dan klub sepakbola militer pertama, Wilhelmina pada tahun 1909. Nama-nama tersebut adalah klub sepakbola yang dibentuk oleh orang-orang Belanda di Malang.
Sebagai kawasan perkebunan dan garnisun militer, Malang memang banyak dihuni orang-orang Belanda. Letak geografis Malang yang dikelilingi pegunungan juga menjadikannya sebagai tempat favorit untuk berwisata atau membangun rumah peristirahatan. Di era kolonial, sebagaimana di semua koloni Belanda, komposisi penduduk kota Malang terbagi dalam kelas: yaitu kelas paling atas adalah kulit putih ( Eropa, Amerika, Jepang ), kelas kedua adalah Timur Asing ( Arab, India, Cina ), dan kelas ketiga adalah pribumi ( masyarakat asli Indonesia ).Â
Ini adalah konsekuensi dari kebijakan Regering Regleementyaitu peraturan pemerintah yang membedakan kelompok masyarakat menjadi tiga kelas di Hindia Belanda. Peraturan ini juga diikuti dengan kebijakan Exhorbitante Rechtenyakni hak bagi Gubernur Jenderal untuk menentukan tempat tinggal bagi golongan-golongan penduduk Hindia Belanda atau pribadi sendiri.
[2]
Meski saat itu sepak bola identik dengan permainan orang Eropa, bukan berarti tidak ada klub non orang Eropa di Malang. Kam Soe Twie and Tjoe Kian Hwee adalah klub sepak bola dari masyarakat Tionghoa pertama yang terbentuk di Malang, tepatnya pada tahun 1913, menyusul kemudian klub Hak Sing Hwee di tahun 1914.Â
Ketiga klub ini kemudian melebur menjadi klub H.C.T.N.H pada tahun 1930. Hak Sing Hwee sendiri adalah klub paling sukses di Malang dengan empat kali berturut-turut menjuarai kompetisi lokal. Tradisi juara ini kemudian dilanjutkan H.C.T.N.H yang berhasil menjadi juara sebanyak 7 kali berturut-turut, dari tahun 1933-1940. Salah satu pemainnya, Bing Mo Heng  terpilih sebagai penjaga gawang pada kesebelasan NIVB/NIVU yang berlaga di Piala Dunia 1938.
Kota Malang mengalami perkembangan pesat usai resmi menjadi Gemeente/kotapraja pada 1 April 1914. Jika di tahun 1890 penduduk kota Malang berjumlah 12.040 jiwa, jumlah ini melonjak drastis pada tahun 1940 menjadi 169.316 jiwa. Dari total jumlah penduduk sebanyak itu, penduduk Eropa berjumlah 13. 867 jiwa.
[3]Â
Kondisi ini tentu juga berpengaruh terhadap perkembangan sepakbola di Kota Malang. Klub-klub sepak bola mulai bermunculan seperti jamur di musim hujan. Tak hanya penduduk Eropa dan Tionghoa, penduduk pribumi juga tidak ketinggalan membentuk klub sepak bola. Nama-nama klub seperti Ardjoeno, Garoeda, Anoman, Tjehaja Oetama dan Minahasa menghiasi sepak bola kota Malang. Â Tidak ketinggalan klub dari etnis Arab bernama Albad'r.[4]