Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Belajar Merevisi Sejarah dari Michael H Hart

1 Maret 2018   09:31 Diperbarui: 1 Maret 2018   12:36 4124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi penggemar literasi sejarah, buku 100 Tokoh Paling Berpengaruh Di Dunia adalah buku yang wajib dibaca dan dimiliki. Buku yang ditulis Michael H Hart ini sudah diterjemahkan dalam 20 bahasa dan dicetak jutaan kali. Mengutip perkataan Komarudin Hidayat, ini adalah karya abadi yang selalu relevan sepanjang zaman. Sebuah buku yang fenomenal dan paling kontroversial dalam sejarah.

Terlalu berlebihan? Saya kira tidak. Setiap orang boleh mempunyai interpretasi tersendiri siapa tokoh terhebat, terkenal, terpopuler atau parameter yang dipilih Hart adalah yang paling berpengaruh. 

Dalam menyusun katalog 100 tokoh paling berpengaruh, Hart menempatkan para tokoh tersebut dalam susunan peringkat yang kontroversial, namun tetap disertai alasan yang logis dan bisa diterima para pembacanya. Berulangkali Hart menegaskan, bahwa yang dia urutkan adalah atas dasar pengaruhnya, bukan karena nama besarnya atau seberapa terkenal tokoh tersebut.

14 tahun usai buku ini dicetak pada edisi pertama, Hart memutuskan untuk mencetak buku edisi revisi. Mengapa harus ada revisi? Apakah sejarah bisa direvisi? Menurut Hart, satu alasan untuk membuat revisi adalah bahwa sejarah tidak berhenti di tahun 1978, ketika edisi pertama buku ini ditulis. Banyak sejarah baru yang tercipta, dan tokoh-tokoh baru bermunculan.

Shakespeare bukanlah Shakspere, pria dari Stratford-on-von itu

Pada buku edisi revisinya, perubahan paling mencolok dan tentu saja menimbulkan kontroversi adalah ketika Hart mencantumkan nama Edward de Vere sebagai nama sebenarnya dari penyair terkenal William Shakespeare. Dalam buku pertamanya, Hart dengan percaya diri dan tanpa keraguan menyatakan William Shakespeare si penyair adalah William Shakspere (tanpa huruf 'e' pertama), pria yang dilahirkan di Stratford --on-von pada tahun 1564 dan wafat disana pada 1616.

Menurut Hart, perubahan ini dibuat dengan sangat enggan, dan menggambarkan pengakuan bahwa dia sudah melakukan kesalahan serius karena begitu saja "mengikuti khalayak" atau pendapat umum tanpa menguji fakta dengan teliti. Hart mengakui dia sudah terpengaruh oleh sumber-sumber dari buku yang disebutnya "kaum ortodoks" dan mengabaikan argumen-argumen dari "kaum skeptis".

Dari sejak mula protes dia terima terkait sosok dibalik nama William Shakespeare, Hart dengan teliti memeriksa argumen kedua belah pihak. Hingga kemudian sampai pada kesimpulan bahwa "kaum skeptis" lebih benar dan bukti-bukti mengarah kepada Edward de Vere sebagai tokoh dibalik nama William Shakespeare.

ulasan Edward de Vere pada buku 100 Tokoh (Dokumentasi Pribadi)
ulasan Edward de Vere pada buku 100 Tokoh (Dokumentasi Pribadi)

Hoaks yang Dipelihara

Untuk menebus kesalahannya, Hart mengulas profil Edward de Vere dalam 20 halaman, paling banyak diantara profil tokoh lain dalam bukunya. Secara ringkas dan padat, Hart mengajukan beberapa argumen dan deduksi mengapa ia sampai pada sebuah kesimpulan William Shakespeare adalah nama pena dari Edward de Vere, Earl of Oxford ke-17.

Selain itu, Hart dengan beraninya menjawab sebuah pertanyaan, "Jika de Vere adalah Shakespeare, bagaimana Shakspere bisa dianggap sebagai penulis naskah-naskah Othello, Hamlet dan karya terkenal lainnya itu"?

Menurut Hart, penjelasan yang paling mungkin adalah Shakspere adalah hoaks yang diciptakan keluarga Edward de Vere ketika mereka memutuskan menerbitkan kumpulan karyanya dan memilih terus mempertahankan kerahasiaan identitasnya.

Buku 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia edisi revisi mengajarkan beberapa hal penting. Pertama, hoax ternyata sudah ada sejak jaman dulu, dan memang sengaja diciptakan. Tujuannya adalah untuk merahasiakan kepribadian seseorang karena takut akan tercipta sebuah skandal yang tidak diinginkan.

Kedua, dan ini yang paling penting, sejarah ternyata bisa direvisi. Karena sejarah itu dinamis, tidak berhenti pada satu waktu saja. Bagi seorang penulis yang menggeluti bidang sejarah, merevisi buku hasil karyanya tentu saja butuh keberanian lebih. Karena itu berarti ada pengakuan kesalahan yang sudah dilakukannya, sebagaimana yang dialami oleh Michael H Hart.

Kontroversi Kesultanan Majapahit

Beberapa waktu lalu, dunia literasi Indonesia dikejutkan dengan kontroversi seputar tokoh Gajah Mada. Sebuah buku yang berjudul Kesultanan Majapahit: Fakta dan Sejarah Yang Tersembunyi  dari penerbit Lembaga Hikmah dan Kajian Publik PDM Yogyakarta mengajukan wacana Gajah Mada adalah seorang muslim. Wacana dari buku ini pun menjadi viral, hingga kemudian entah siapa yang memulai, Gajah Mada disebut dengan Gaj Ahmada.

Banyak yang membantah informasi tersebut. Tidak sedikit yang menilainya sebagai hasil otak-atik gathuk (asal nyambung), dan tidak sedikit pula yang menertawakan. Namun, penulis buku Herman Sinung Janutama dan Ketua Tim Kajian Kesultanan Majapahit, Ryanto Tri Nugroho menanggapi enteng sindiran dan cibiran di media sosial terhadap teori yang mereka ajukan bahwa Majapahit adalah kesultanan islam. Menurut Rinto, kajian itu didasari anggapan bahwa ada pembalikan sejarah masa lalu Nusantara oleh peneliti kolonial.

Mungkinkah Merevisi Sejarah Majapahit?

Apa yang dilakukan penulis buku Kesultanan Majapahit dan yang dialami mereka sekilas mirip dengan cerita kontroversi tokoh William Shakespeare. 

Jika Michael H Hart bisa sampai pada kesimpulan bahwa buku-buku ortodoks yang menyebut Shakspere sebagai penulis naskah-naskah drama legendaris Hamlet dan Othello adalah hoax, mengapa kita tidak bisa melakukan alur berpikir seperti penulis buku Kesultanan Majapahit itu? Yang oleh Hart disebut "kaum skeptis"karena selalu meragukan kebenaran sejarah. Hingga kemudian Hart dengan enggan mengakui kesalahannya dan menyebut argumen kaum skeptis lebih meyakinkan daripada kaum ortodoks.

Mungkin ada metode penelitian yang salah dari penulis buku Kesultanan Majapahit. Atau bisa juga deduksi yang mereka ambil tidak didukung bukti-bukti sejarah yang kuat. Tapi, tidak dengan entengnya kita kemudian mencibir dan mencemooh kesimpulan yang sudah mereka buat. 

Siapa tahu, kelak ada sejarawan lain yang bisa membuktikan dengan jelas dan tanpa keraguan, bahwa Kesultanan Majapahit itu benar adanya? Sebagaimana setelah 14 tahun meneliti kembali berbagai argumen dan fakta, Michael H Hart menerbitkan buku revisi dan mencantumkan Edward de Vere sebagai William Shakespeare.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun