Setiap zaman punya idola masing-masing. Setiap zaman juga selalu mampu menciptakan tokoh idola baru. Entah itu tokoh nyata atau hanya rekaan fiksi belaka. Yang menarik, dalam khasanah pengidolaan di Indonesia, mereka didominasi oleh tokoh fiktif.Â
Tahun 70-80 an, kita punya Ali Topan milik Teguh Esha, Arjuna yang dimunculkan Yudhistira ANM Masardi, sampai Joki Tobing yang diciptakan Ashadi Siregar. Tahun 90-2000-an Hilman sukses membuat remaja kita mengelu-elukan nama Lupus, yang mencoba diimbangi oleh Roy Boy Harris lewat avonturirnya di Balada Si Roy milik Gola Gong.
Era milenial juga tak luput dari kemunculan tokoh fiktif yang menjadi idola anak-anak muda. Lihatlah ketika para remaja terpesona dengan religiusitasnya Fahri bin Abdullah Shiddik dalam Ayat-Ayat cinta. Yang berumur lebih muda terbius dengan karakter Boy di sinetron Anak Jalanan. Sampai kemudian muncullah Dilan.
Dari sekian banyak tokoh fiktif yang jadi idola tadi, cuma ada tiga yang mampu menimbulkan histeria dan menciptakan trend tersendiri. Ali Topan, Lupus dan Dilan. Maka membandingkan ketiganya adalah wajar karena setara.
Ali Topan, Lupus serta Dilan tercipta dan besar melalui novel yang kemudian mengalami proses ekranisasi (adaptasi buku ke film). Persamaan karakter ketiga tokoh fiksi tersebut yang utama adalah mempunyai tipikal "Bad Boy".
Ali Topan dengan gaya crossboy dan pemberontak, Lupus yang santai dan slengekan, serta Dilan yang digambarkan jadi ketua geng motor. Remaja laki-laki dengan sosok nakal, jahil, urakan, dan suka melanggar peraturan memang seringkali terlihat lebih mencolok dan mampu menghipnotis penggemar daripada yang sekadar patuh dan tunduk. Fahri mungkin perkecualian.
Karakter Pemberontak Ali Topan
Ali Topan mampu menjadi idola karena penggambaran karakternya yang mewakili semangat generasi muda di zamannya. Akhir tahun 70an, kota Jakarta yang menjadi latar belakang novel Ali Topan sedang giat-giatnya melakukan pembangunan ikonik seperti Monas dan Pekan Raya Jakarta.
Hal ini memunculkan banyak wajah-wajah baru, pembaruan sosial yang baru. Dan diiringi dengan derasnya arus keterbukaan saat itu, remaja Jakarta tak pelak merasa di persimpangan jalan dan mengalami culture shock. Implikasi dari keterkejutan sosial inilah yang kemudian memicu pemberontakan identitas dan semangat crossboy, yang oleh Teguh Esha diartikan sebagai "kebebasan dengan keliaran".
Remaja Jakarta menemukan semangat crossboy dalam sosok Ali Topan yang digambarkan urakan, tidak betah di rumah, korban broken home, dan cenderung memberontak pada pihak-pihak yang punya kuasa. Lihatlah ketika Ali Topan tidak terima ditegur saat ketahuan merokok di kantin sekolah, atau sikap kalemnya tanpa rasa takut saat diinterogasi polisi karena dianggap melarikan Anna Karenina.
Masa Keemasan Orde Baru dalam Kehidupan Lupus
Begitu pula dengan Lupus. Dia lahir dan besar ketika pemerintahan Orde Baru mencapai masa keemasannya. Lupus, anak rumahan dari kelas menengah sangat pas mewakili dan menggambarkan keadaan saat itu. Karakternya yang santai, humoris, memperlihatkan situasi saat dimana Orde Baru sudah kelewat mapan sehingga kelas menengah terlena dengan keadaan ekonominya.
Tapi berbeda dengan Ali Topan yang sikap ugal-ugalannya lebih serius, karakter urakan Lupus hanya ditunjukkan pada masalah-masalah sepele seperti sering terlambat sekolah, menghindari razia rambut gondrong, dan kenakalan anak-anak sekolah umumnya.
Anomali Dilan
Ali Topan dan Lupus, keduanya lahir dan besar tepat di zamannya masing-masing. Tapi tidak untuk Dilan. Tokoh dalam tulisan-tulisan Pidi Baiq ini seolah anomali tersendiri. Dia digambarkan remaja 90an, tapi besar berpuluh tahun kedepan.
Dilan juga seolah hibrida dari beberapa tokoh fiktif yang pernah jadi idola sebelumnya. Meskipun Pidi Baiq mengklaim kisah Dilan berdasarkan karakter nyata, tapi kesan pencampuran watak itu sangat kentara.
Sebagai anak geng motor yang cerdas, karakter ini akan mengingatkan kita dengan Ali Topan. Sementara sifatnya yang selengekan dan sering mengejutkan, membuat kita menemukan sosok Lupus di dalam tokoh itu. Disisi lain, gaya bicaranya yang rapi dan suka baca karya sastra lama mirip dengan Rangga dalam AADC.
Walaupun diciptakan dengan mewakili karakter tahun 90an, Dilan tidak mampu membawa visualisasi zamannya. Hal ini karena Dilan lahir dan besar di era yang salah. Berbeda dengan Ali Topan dan Lupus, yang bisa membawa situasi zamannya dengan sempurna. Saat membaca ulang Ali Topan atau Lupus, kita yang lahir di era 70-90an seolah terbawa mesin waktu dan kembali ke masa remaja kita.
Dilan yang Menjual Romantisme
Lalu mengapa Dilan bisa menjadi Idola? Faktor utamanya adalah karena Dilan menjual sisi romantisme. Tak heran jika kemudian merebak meme-meme atau kutipan berisi kata-kata rayuan puitis ala Dilanisme.
Sesuatu yang digandrungi remaja sekarang, sama halnya ketika mereka terpesona dengan romantisme ala Fahri atau Rangga. Bedakan dengan sisi romantis Ali Topan atau Lupus, yang mendapat porsi kecil. Dua pertiga cerita Ali Topan dan Lupus mengisahkan kehidupan sehari-hari mereka.
Pengidolaan pada tokoh-tokoh fiksi macam Ali Topan, Lupus dan Dilan pada akhirnya memunculkan sebuah konklusi. Jika ingin mencari tahu anak muda macam apa yang diidamkan bangsa ini, carilah petunjuknya pada karya fiksi yang hadir ditengah-tengah mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H