Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Menghidupkan Kembali Nama Besar Niac Mitra Surabaya

28 Maret 2012   17:31 Diperbarui: 4 April 2017   17:18 8255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Juni 1983, sepakbola Indonesia kedatangan tamu istimewa. Klub asal London, Arsenal berkunjung ke Indonesia dan melakukan laga persahabatan dengan beberapa klub lokal baik dari Galatama maupun perserikatan. Meski saat itu nama Arsenal belumlah setenar sekarang, namun kedatangan tim yang diperkuat penjaga gawang legendaris Inggris Pat Jennings serta legenda mereka David O'Leary masih mampu menarik pecinta bola untuk menyaksikan laga persahabatan tersebut. Setelah menang 3-o atas PSMS plus Medan dan 5-0 melawan PSSI selection, Arsenal menyempatkan diri bertanding melawan juara Galatama Niac Mitra sebelum melanjutkan perjalanan ke Bali untuk liburan. Dan di Stadion 10 Nopember itulah Arsenal ketemu batunya. Tak ada yang menyangka bahwa klub berjuluk Meriam London itu bisa takluk 0-2 di tangan Joko Malis dkk. Gol dari Fandi Ahmad dan Joko Malis menutup perjalanan Arsenal di Indonesia dengan kekalahan. Meski saat itu banyak yang menuding kekalahan Arsenal disebabkan faktor pertandingan dilangsungkan pukul 14.00 saat terik matahari menyengat kota Surabaya. Sejarah Niac Mitra adalah sejarah Galatama. Bersama klub Pardedetex, Jayakarta, Indonesia Muda, dan Warna Agung Niac menjadi pelopor Galatama untuk kompetisi pertama, 1979. Nama besar Niac Mitra adalah jaminan membludaknya penonton setiap kali mereka bertanding. Dan nama besar Niac Mitra itulah yang kemudian ingin dimanfaatkan oleh administratur Liga untuk membantu klub-klub baru Galatama untuk menarik minat penonton datang ke stadion. Musim kompetisi 1990/1991, Administratur Liga memberlakukan aturan kompetisi baru. Tidak ada lagi pembagian divisi. Artinya, semua klub dilebur jadi satu, termasuk klub baru yang belum pernah mengikuti kompetisi Galatama seperti Summa FC dari Dili dan Makassar Perkasa dari Ujungpandang. Lalu dibagi tiga wilayah: timur, tengah, dan barat. Hanya juara dan runner-up tiap wilayah bertanding di Jakarta untuk menentukan juara Galatama. Semua klub di Jawa kecuali Niac masuk wilayah tengah. Juara Galatama Pelita Jaya, misalnya, bisa mengunjungi lawan-lawannya dengan jalan darat, kereta api atau bis, jika mau berhemat. Sungguh tak adil menempatkan Niac di wilayah timur. Ia harus main di Bontang, kandangnya klub Pupuk Kal-Tim, terbang ke Ujungpandang menemui Makassar Perkasa, ke Banjarmasin melawan Barito Putra, ke Samarinda menghadapi Putra Mahakam, ke Denpasar menantang Gelora Dewata, dan ke Dili menjajal Summa FC. Bayangkan, berapa besar biaya terbang itu. Dan ketika Niac menjamu tamu-tamunya, bayangkanlah sepinya stadion karena lawan Niac kesebelasan bau kencur. Padahal, pemasukan untuk klub adalah bertanding di kandang sendiri. Pendiri Niac Mitra, Alexander Wenas akhirnya memutuskan untuk membubarkan klub yang sudah tiga kali menjuarai Galatama tersebut sebagai bentuk protes atas ketidak adilan Liga pada klubnya. Bukan karena masalah ruginya, namun lebih pada tidak adanya pembagian divisi yang mencerminkan adanya prestasi. Itu artinya, ujar Wenas,"membuyarkan apa yang sudah dicapai Galatama. Mundur sekian langkah." Langkah Liga yang bermaksud menolong klub-klub baru justru menjadi bumerang bagi salah satu klub pendirinya. Meski kemudian datang uluran tangan dari Dahlan Iskan, Wenas bersikukuh membubarkan Niac Mitra, namun tetap mempersilahkan bos Jawa Pos tersebut mengambil alih klub asalkan tidak memakai nama NIAC (New International Amusement Center, nama gedung bioskop yang dimiliki Wenas). Wenas lalu mengusulkan nama Mitra Surabaya FC. Sedangkan nama Niac Mitra dikubur bersama sejarah kebesarannya. Kejadian pada kompetisi Galatama musim 1990/1991 mengingatkan kita dengan kisruh PSSI saat ini. Saat pertama kali PSSI memutuskan format kompetisi satu wilayah dengan 24 klub, sebanyak 18 klub dari kompetisi musim (ISL) lalu memutuskan mundur dan membentuk liga tandingan. Alasan mereka adalah besarnya biaya dan bayangan kerugian jika kompetisi cuma satu wilayah, selain alasan klasik adanya 6 klub gratisan. Namun langkah mereka bertolak belakang dengan apa yang dilakukan Niac Mitra. Alih-alih membelot, Wenas lebih memilih membubarkan klubnya. Apa yang sudah diperlihatkan Wenas sepatutnya ditiru oleh klub-klub lainnya. Daripada terus merugi, dan merengek meminta subsidi pemerintah, membubarkan klub adalah langkah yang lebih rasional. Tak ada salahnya, toh Piacenza, klub yang sempat menjadi Kuda Hitam pentas Serie A di era 90-an ini pun bubar setelah dinyatakan bangkrut akibat merugi terus. Mempertahankan klub sepakbola yang merugi dengan alasan sebagai sarana hiburan rakyat adalah sesuatu yang nonsens. Apakah benar sepakbola adalah satu-satunya hiburan buat rakyat kecil? Pun demikian dengan alasan klub tersebut adalah ikon dan dianggap sebagai  status kebanggaan sebuah kota. Karena tanpa klub sepakbola, sebuah kota juga masih bisa eksis dan menunjukkan kebesaran mereka.

13329541211959740727
13329541211959740727
13329541561641328913
13329541561641328913

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun