Tari Tumatenden, misalnya. Mengisahkan cinta seorang petani dan seorang bidadari yang diangkat dari kisah rakyat Minahasa, dikemas dalam gerakan tari yang khas, diiringi musik tradisional tanpa dialog, sering ditampilkan pada acara-acara besar di Sulawesi Utara, seperti pernikahan adat, festival budaya.
Saya yang menyaksikan tarian ini secara online di International Conference via Zoom turut semakin teredukasi bahwa keragaman budaya dan keunikan sejarah adalah sebuah daya pikat yang dimiliki bangsa kita, dari Sabang sampai Merauke.
Keunikan budaya yang dimiliki Likupang tentu akan semakin menarik jika dikemas dengan baik dan eksekusi yang transparan, tambah Ibu Paquita, termasuk dengan berbagai kegiatan yang melibatkan masyarakat dan alam, apalagi saat ini dunia masih sedang dilanda krisis, disebabkan pandemi Covid-19 dan Climate Change.
Likupang Tourism Board diharapkan dapat segera terbentuk dengan pola kerja sama solid dan integrasi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Swasta, agar Indonesia bisa langsung unjuk gigi bahwa kita bisa bangkit dan berhasil baik.
Likupang juga punya daya tarik luar biasa yang bisa bikin betah dari segi kuliner. Sudah pernah coba Bubur Tinutuan, Pisang Goroho dan Sambal Roa, Panada, Lalampa, Nasi Kuning khas Likupang, Cakalang Fufu, atau Binte Biluhuta? Rasanya akan semakin nikmat bila dimakan sambil memandang keindahan alam Likupang yang sangat memikat hati.
Setuju bila ada yang mengusulkan Likupang jadi destinasi kuliner, makanya sangat perlu diadakan semacam pelatihan kewirausahaan kepada masyarakat Likupang untuk mempromosikan pola pikir kewirausahaan, menghasilkan ide dan pemecahan masalah, memahami keinginan dan kebutuhan pasar, serta mempelajari keuangan, sebagai jalan meraih sukses.
Jelajah Likupang punya beragam hal unik untuk menambah wawasan, misalnya untuk berwisata religi. Di Likupang, kita bisa melihat langsung kegiatan peribadatan bercorak akulturatif, seperti misa atau ibadah menggunakan bahasa daerah setempat.
Jika ingin berwisata sejarah, Likupang punya jalur purbakala Sulawesi Utara, Jalur Rempah (perniagaan kopra-pala-cengkeh) sejak masa Liberian abad 16-17, VOC, dan Belanda, Jalur Niaga Cina sejak masa dinasti Yuan-Ming sampai sekarang, dan masih banyak lagi.
Seorang Pengamat Pariwisata Bahari, Christian Fenie, dalam konferensi yang sama, turut memberi pemaparan dan opininya mengenai "Pelestarian Ekosistem Sekitar sebagai Kunci Pengembangan Destinasi Pariwisata Bahari Kawasan Likupang, Sulawesi Utara".