Ketakutan kita akan kegagalan tak boleh mengalahkan tekad kita untuk maju dan menang. Semangat pantang menyerah dari para pejuang kemerdekaan melahirkan getaran keinginan untuk menjadikan negeri ini bebas dari apapun yang bisa membuat mereka gentar. Ingin segera merdeka.. Bagaimanapun caranya..
Merdeka bukan sesuatu yang cuma-cuma, semudah membalikkan telapak tangan. Di baliknya, ada tetesan darah dan keringat para pahlawan yang gugur di medan tempur, membela kedaulatan bangsa, berusaha melepaskan diri dari belenggu penjajah. Hingga kemudian tibalah hari ketika kata agung itu dikumandangkan oleh Presiden Soekarno ke berbagai penjuru.. "PROKLAMASI".
Indonesia Merdeka.. Bukan sekedar kata. Menyebutnya saja sudah timbul rasa bangga. Kelahiran proklamasi yang dilatarbelakangi skenario cantik para proklamator bangsa. Mereka lupa akan apapun latar belakang yang menjadikan mereka beda, sepakat untuk bersatu, demi lepas dari penjajahan.
Apa jadinya bangsa ini bila pada 17 Agustus 1945 Proklamasi gagal berkumandang? Mungkinkah kita dapat menghirup udara kebebasan sesejuk hari ini?
"72 Tahun" bukan sekedar usia biasa.. Tak hanya menyimbolkan kedewasaan dan kematangan, tapi ada rentang pengalaman yang menyertai jalannya waktu yang dilalui. Pembangunan di segala aspek menghiasi segala lini era, membentuk mental bangsa ini menjadi lebih siap bersaing, berpandangan dan berpikiran global.
Ada yang Berbeda pada Upacara Pengibaran Bendera Pusaka di Istana Negara Tahun Ini
Seperti 17 Agustus pada tahun-tahun sebelumnya, pagi ini keluarga saya lagi-lagi kompak berkumpul di depan TV untuk menyaksikan siaran langsung perayaan Detik-detik Proklamasi dari Istana Negara. Entah mengapa, aura sakral upacara bendera ini selalu mampu menembus relung hati kami ketika Sang Merah-Putih dikibarkan. Rasa syukur memenuhi hati, mengenang kembali kegigihan para pahlawan bangsa menghadiahkan kemerdekaan ini kepada kita semua, anak cucunya.
Berbeda dengan perayaan pada tahun-tahun sebelumnha, ada satu hal unik yang membuat kagum, ketika para pemimpin-pemimpin bangsa hadir memakai pakaian adat dari berbagai daerah di Indonesia. Bapak Presiden Joko Widodo dengan pakaian adat Kalimantan Selatan, Bapak Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Mantan Presiden B.J. Habibie dengan pakaian adat Bugis Sulawesi Selatan, lengkap dengan Songkok To Bone (Peci orang Bone). Bapak Mantan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono memakai baju adat Palembang. Tak ketinggalan.. ada Ibu Megawati Soekarno Putri dengan sanggul ala Jawa yang membuat beliau terlihat anggun. Para menteri dan pejabat yang hadir pun kompak memakai baju adat.
Mari berpikir sejenak.. Kira-kira, nilai apa yang ingin disampaikan Bapak Presiden dengan ide ini? Terlepas dari apapun itu, satu hal yang patut kita sadari adalah bahwa bangsa ini memang memiliki keberagaman budaya dari berbagai latar belakang suku yang berbeda-beda. Ketika kita bersatu dan mengatasnamakan diri kita bukan atas nama suku kita, tapi sebagai Indonesia, apa lagi yang patut dipersalahkan? Euforia "Unity in Diversity".. Keberagaman tak hanya menjadi pemersatu, tapi juga inilah yang menjadikan kita kaya. Bayangkan saja.. 34 Provinsi yang terdiri dari berbagai macam suku, lantas bersatu.. Siapa yang tak berbangga hati?
Lestarikan Bahasa Daerah sebagai Warisan Leluhur Negeri
Anggaplah hawa sejuk kemerdekaan ini adalah sebuah kado bagi kita. Pernahkah sejenak kita berpikir.. Apa yang sudah kita lakukan untuk bangsa ini?