Mohon tunggu...
Prima Marsudi
Prima Marsudi Mohon Tunggu... Guru - Indahnya menua.

Wanita yang ingin jadi diri sendiri tetapi tidak bisa karena harus memikirkan orang-orang yang disayanginya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Tiada Jera Diduakanmu

28 Maret 2015   04:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:54 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hai sayang," seruku sambil membuka pintu rumah dan masuk.

"Haaaai..." seru Edo gelagapan di depan meja makan.

Di hadapannya sebungkus nasi dengan lauk sederhana tempe orek, balado terong dan tumis kacang panjang.  Lagi-lagi Edo, suamiku, lebih memilih makanan yang dibeli di warung tegal daripada makanan yang aku buatkan.  Kali ini, tanpa komen aku berlalu.

Di kamar aku berganti pakaian lalu masuk ke kamar mandi.  Kudinginkan kepalaku agar dapat mengurangi segala kemarahan dan kesedihan.  Sambil gosok sana gosok sini pikiranku kembali ke masa-masa pacaran dulu.

Edo adalah bujangan yang merantau di Jakarta.  Tanah kelahirannya sendiri telah lama ia tinggalkan.   Hidup sendiri membuatnya terbiasa dengan makanan-makanan yang beerasal dari warung.  Hari ke hari dari warung ke warung dan sesekali dari gerai fast food di mall.

Begitulah kebiasaan itu tak pernah bisa juga hilang.  Ketika aku membekali dirinya dengan makanan buatanku, maka tak lama kemudian temanku yang juga temannya akan mengirim pesan ucapan terima kasih yang disertai pujian betapa lezatnya masakan saya.

Mula-mula aku mengira itu hanya karena Edo suka berbagi dengan sahabat-sahabatnya, namun ketika akhirnya Tuhan menyatukan aku dan Edo barulah aku tahu kenyataannya.  Edo benar-benar tak menyukai masakan rumahan yang cenderung lebih higienis dan variatif baik rasa maupun jenisnya.

Lidahnya seperti tertahan pada menu-menu standard dan rasa yang standard pula di warung-warung pinggri jalan.  Hingga bertahun-tahun kemudian aku tak bisa juga mengubah selera makannya.  Padahal orang lain selalu memuji kelezatan masakanku.

Waktu berlalu semua tak berubah, aku masih menyediakan makanan dan Edo masih membeli makanan dari warung.  Mula-mula sakit hati namun seiring waktu berlalu kutepis semua rasa sakit hati itu karena memiliki hatinya memang bukan berarti bisa mengubah segala kebiasaannya.

Kembali kubuatkan makanan untuk Edo dengan penuh cinta.

Dan kembali Edo membeli makanan lain di warung tegal favoritnya

Begitu seterusnya...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun