Mohon tunggu...
Prilly Jeanaldi
Prilly Jeanaldi Mohon Tunggu... Sound Engineer -

Seorang yang menyukai kegiatan mendengar, dari khusyuk mendengarkan alunan musik sampai cermat mendengarkan alunan suara pemimpin.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Lagu 'Genjer-genjer' Itu Hanya Terkena Sial!

2 Oktober 2015   12:04 Diperbarui: 2 Oktober 2015   23:18 3322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Gambar oleh madrotter-treasure-hunt.blogspot.com"][/caption]Dimulai dengan gemericik noise dari gesekan jarum pemutar piringan hitam, lalu disambut alunan intro yang menyayat hati nan lebih muram dari lagu pembukaan ‘strange fruit’ yang didengungkan populer oleh Billie holiday, kesan yang merintih didapat tatkala Lilis Suryani melafalkan baitnya yang pertama. Ya, Jangan lupakan alur dentuman Bass-line dibelakangnya yang beriringan bersama laju denyut jantung revolusi.

Selanjutnya di bait kedua saya membiarkan Sang Lilis suryani tetap melanjutkan rintihannya dengan menjaga volume di speaker terdengar tetap kecil, dikahawatirkan ada tetangga yang mendengar(yang kebetulan saya tinggal tidak jauh dari lingkungan Asrama Polisi di Bandung) dan ditakutkan terjadi kesalah pahaman untuk menghakimi saya sebagai antek PKI. :D

Genjer-genjer esuk-esuk didol ning pasar. .
Genjer-genjer esuk-esuk didol ning pasar. .
Dijejer-jejer diuntingi podho didhasar. .
Dijejer-jejer diuntingi podho didhasar. .
Emak'e jebeng podho tuku nggowo welasah. .
Genjer-genjer saiki wis arep diolah. .

Diatas adalah sepenggal lirik dari lagu Genjer genjer karya besutan seniman asal Banyuwangi, Muhammad Arief pada tahun 1940-an(ada yang menyebutnya tepat tahun 1935) yang didendangkan kembali lebih muram versinya oleh seorang Lilis Suryani. Dibalik karya yang hebat pasti ada kegelisahan yang mendalam, Mungkin begitu juga yang dirasakan sang pencipta syair dilagu ini. Lagu ini diangkat dari lagu dolanan yang berjudul 'Tong Alak Gentak' yang kemudian diberi syair Genjer-genjer. Syair dalam lagu ini dimaksudkan sebagai sindiran atas masa pendudukan Jepang ke indonesia yang pada saat masa itu kondisi rakyat semakin sengsara dibanding sebelumnya. Bahkan, tanaman genjer ini mampu menjadi alternatif santapan yang lezat ketika tidak mampu membeli daging di masa itu. Tepatnya, bisa dibilang lagu ini hanya tentang pangan dan perut yang lapar.

Lalu kenapa lagu ini dicap begitu haramnya untuk diapresiasi oleh publik sampai saat ini? Bahkan di media kemarin ramai memberitakan sebuah acara diskusi yang temanya mengangkat lagu ini dan rencananya akan digelar pada 3 Oktober 2015 di salah satu kampus swasta di kota banyuwangi harus dibatalkan. Padahal dengan adanya diskusi semacam ini dapat menimbulkan kesan positif bahwa pemuda kita punya perhatian yang besar atas arsip arsip kesenian nasional. Apresiasi semacam ini perlu didukung guna meluruskan sesuatu yang salah dimata publik yang kedepannya dapat menciptakan stigma negatif menjadi positif. Bukan lantas dicegah, yang menjadi kesannya semakin diseram-seramkan atau di tabu tabukan.

Lantas apa yang menyebabkan lagu ini begitu berdosa? Setelah indonesia merdeka diketahui bahwa sang pencipta lagu, Muhammad Arief bergabung ke Lembaga kebudayaan Indonesia (LEKRA) yang dicurigai mempunyai kaitan yang erat dengan PKI. Tepat saat itu, Njoto salah satu tokoh LEKRA benar benar jatuh cinta dengan lagu ini dan ia salah satu anggota yang disinyalir kuat bergabung dengan PKI. Dengan seperti diberkati naluri bak produser handal, ia sendiri memprediksikan lagu ini akan berkembang dan tersebar luas untuk bisa dijadikan senjata guna meningkatkan popularitas kampanyenya semata. Terbukti lagu tersebut sempat beberapa kali diputar di stasiun radio tanah air dan mulai mengasosiasikan lagu ini sebagai ‘Theme Song’ PKI.

Tidak ada yang salah dengan lagu ini, lirik atau syairnya pun tidak mengandung propaganda yang benar benar serius. Karya ini hanya menjadi ‘disfungsi’ sekaligus korban pemanfaatan yang dijadikan senjata kampanye untuk meningkatkan popularitas PKI semata. karena saya beranggapan ada alasan kuat yang menjadikan lagu ini begitu magis. Alasan yang pertama, irama dari lagu ini mempunyai kesan kuat dan benar benar mudah terngiang dikepala, Bayangkan! dengan akor minor ditambah pola standar 12 bar ala blues yang sarat akan ‘repetitive’ yang dapat menimbulkan kesan irama pada lagu ini begitu terdengar menderita, menjerit sekaligus merintih seperti kebanyakan lagu lagu blues pemberontakan kaum kulit hitam ketika lelah seharian menjadi budak.

Alasan yang kedua, lirik pada lagu ini sentimen terhadap salah satu isu kerakyatan yaitu rasa lapar, sehingga PKI berhasil memanfaatkan dan membuat tafsir baru dari liriknya untuk diolah serta direkayasa lalu dijadikan bahan sindiran sebagai gambaran rakyat indonesia yang saat itu sedang kesulitan sandang pangan. Mereka ingin mendramatisir sebuah sentimen sinis bahwa "Genjer kok dimakan?".

Dan puncaknya seperti yang kita tahu saat terjadi kengerian peristiwa Gerakan 30 September pada tahun 1965, yang menjadikan lagu ini semakin terbawa sial atau bisa dibilang apes. Sehingga pada masa itu rezim Orde Baru melarang keras untuk menyebar luaskan lagu ini dan menjadi daftar lagu yang harus dimusnahkan. Diperkeruh dengan pengasosiasian bahwa lagu ini sudah melekat dekat dengan image PKI.

Konon Menurut kesaksian versi TNI pada saat momen dimana para jenderal yang diculik serta diinterogasi lalu disiksa dan akhirnya dibunuh, Ketika itu pula dengan serempak para anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat spontan menyanyikan lagu Genjer genjer ini, Seolah mereka ingin mengisyaratkan sebagai lagu pengheningan cipta yang paling dalam. Sehingga semakin menguatkan bahwa citra lagu tersebut betul betul lagu resmi PKI. Dalam serangkaian peristiwa tragedi pembantaian komunis yang dilakukan oleh pendukung Orde Baru tahun 1965 -1966 di Indonesia, Muhammad Arief, Sang pencipta lagu Genjer Genjer meninggal dibunuh akibat dianggap terlibat dalam organisasi massa onderbouw PKI.

Setelah berakhirnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, larangan penyebarluasan lagu Genjer genjer secara formal telah berakhir. Lagu ini mulai beredar secara bebas melalui media internet. Namun, walaupun telah diperbolehkan, hingga detik ini masih terjadi beberapa kasus yang melibatkan stigmatisasi dari lagu ini, dulu terjadi demo sekelompok orang kepada salah satu stasiun radio di solo akibat mengudarakan lagu ini dan sekarang, Seperti contohnya kemarin diskusi yang akan mengangkat tema lagu ini sebagai bentuk apresiasi harus di batalkan.

Karya seni akan tetap menjadi fungsinya sendiri, yang membuat karya itu berubah fungsi adalah penginterpretasian dari setiap individunya. Meskipun saya bisa mengerti bahwa stigma yang masih muncul dari lagu ini hingga detik sekarang adalah karena ketakutan paham komunis itu kembali hidup serta berkembang dan menimbulkan pengadopsian yang salah tentang paham ideologi. Bahkan, atau bisa juga beberapa orang masih menyisakan trauma yang mendalam akibat peristiwa kelabu nan kelam tersebut.

Tapi, saya hanya ingin lagu ini bisa terbebas dari belenggu bayang bayang masa lalu dan menjadi arsip penting yang bisa diapresiasi sesuai fungsinya, yaitu sebagai fungsi seni yang sebenarnya. Ya, Sama seperti majalah Rolling Stone Indonesia yang mengapresiasikan dan menempatkan lagu Genjer genjer ini sebagai salah satu lagu terbaik sepanjang masa, karena lagu ini adalah arsip nasional penting yang terkena dampak serentetan momen sejarah kelabu di Indonesia.

Intermezonya, kalau di Amerika Billie Holiday punya lagu ‘Strange fruit’ yang mengutuk rasialisme dalam praktik pembantaian lynching (memukuli orang hingga mati dan pembakaran terhadap orang orang afrika amerika), dan Indonesia pun punya lagu ‘Genjer genjer’ yang mengutuk peristiwa G30s/PKI. :)

Terlepas dari sejarah PKI atau rezim Orde Baru saya tidak mau ambil porsinya terlalu ribet dan difokuskan di dalam tulisan ini, yang pasti lagu 'Genjer-genjer' ini hebat!

Haruskah sebuah karya seni hilang tergerus dan dibungkam karena politik?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun