Tidak seperti biasanya Mbak Ser (panggilan akrab Mbak  Sri suami Pak Riyadi) menyapa penulis dengan sambutan yang ramah. Ibu usia 44 tahun ini, justru berwajah musam seperti tidak bersahabat.
Penulis langsung menyapa Mbak Se. Dengan serta merta Mbak Ser langsung kaget dan langsung membuatkan kopi morning sebelum masuk kelas untuk mengajar sosiologi di sekolah.
"Wajah Mbak Ser kok tidak bersahabat?" Penulis tanya sambil minum kopi morning buatannya.
"Iya ini Pak Guru, saya baru saja membaca koran lokal mengenai Rintisan Sekolah Standar Internasional", Mbak Ser memperlihatkan kepada penulis.
Penulis terheran-heran karena melihat profesi sebagai pedagang kantin di suatu sekolah di Kota Magelang. Kok tahu-tahunya prihal permasalahan terkini tentang RSBI khususnya sekolah SMP dan SMA.
"Apanya yang menarik tentang RSBI itu mbak?" Tanya penulis membuka diskusi pagi.
Mbak Ser melihat penulis, lalu menjelaskan dengan gaya bahasanya yang lugas. Menurutnya RSBI sama saja sekolah proyek yang dipaksakan. Pemerintah tidak berusaha melihat bagaimana kondisi sosial, ekonomi, dan budaya setempat.
"Coba Pak Guru lihat, masuk RSBI untuk Kota Magelang saja sudah menyediakan dana lebih dari 4 juta rupiah. Belum yang lain," tandasnya kepada penulis.
Penulis menambahkan, memang pemerintah tidak melihat realita secara komprehensif. Kelihatan sekali adanya pengaruh liberalisasi pendidikan sudah mulai masuk ke lingkungan Pendidikan Nasional. Masyarakat mulai diketuk hatinya untuk turut serta menyumbang dana pengadaan apa saja untuk kepentingan pendidikan.
Kebetulan anak Mbak Ser tergolong cerdas dan nilai tinggi, ternyata tidak mampu sekolah negeri. Karena harus menyediakan dana  sebesar 4 juta rupiah. Berarti pemerintah memang dengan sengajak telah memasukan strata pendidikan bukan lagi berdasarkan ruh pendidikan, melainkan besarnya dana sumbangan dari masyarakat.
Kalau sekolah-sekolah negeri sudah menerapkan demikian, maka masyarakat pelapisan paling bawah tidak dapat mengenyam pendidikan yang memadai. Terbukti berdasarkan penelitian penulis, masyarakat menengah ke bawah justru banyak menyekolah anak-anak mereka di Kejar Paket B (setara SMP ) dan C (setara SMA). Padahal dari nilai ujian yang diselenggarakan oleh pemerintah tergolong tinggi.