Mohon tunggu...
PRIHATININGSIH PRIHATININGSIH
PRIHATININGSIH PRIHATININGSIH Mohon Tunggu... Guru - Mengabdi di Dunia Pendidikan Sekolah Dasar.

Belajar sepanjang hayat, mencintai sepanjang usia dan menjadi berkat di sepanjang tempat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibuku, Surgaku

22 Januari 2025   12:57 Diperbarui: 22 Januari 2025   12:57 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Orang yang paling suka marah di rumah, Bu." Jawab Arga siswa kelas 6, saat ditanya mengenai arti seorang Ibu bagi. Aku tersenyum kecil mendengar jawaban polos nya.

"Kata Ayah, ibu selalu benar Bu." Arya menimpali jawaban temannya.

"Hayo, apalagi arti ibu, bagi kalian?" Aku mencoba menggali lagi pikiran para siswa mengenai sosok seorang ibu.

"Masakan ibu, paling enak sedunia, Bu". Jawab Febi melengkapi temannya. "Kalau tidak ada ibu, saya pasti kelaparan Bu" Febi anak yang memang doyan makan melanjutkan sambal cengengesan.

Dan beberapa anak menyampaikan jawaban-jawabannya dengan penuh semangat.

"Baiklah, sekarang bu guru minta anak-anak mengungkapkan cinta mu untuk ibu kalian masing-masing melalui karya. Boleh puisi, surat cinta, gambar atau apapun yang kalian inginkan".

Hari ini kami belajar di luar kelas. Di gazebo samping sekolah yang sejuk. Terasa angin sepoi-sepoi menyapa wajah kami masing-masing tanpa pandang bulu. Sambil menunggu mereka mengerjakan tugas pikiranku menerawang pada kejadian saat Aku harus berjuang di meja operasi untuk mendapat sebutan ibu, melahirkan si buah hati bertaruh nyawa. Masih jelas terasa ketakutan di benakku ketika dokter anastesi hendak membius tulang belakang bawah. Ia meminta ku memeluk bantal sambal berkata, "Jangan dilawan ya Bu.", Itu pengalaman pertama masuk ruang operasi merasakan suntik anastesi spinal, yang mengalirkan rasa nyeri di sekeliling tulang belakang. Mencekamnya ruangan itu terasa sampai ke lubuk hati yang terdalam, sampai membuatku bertekad untuk tidak menyekolahkan anak-anakku nantinya di bidang kesehatan. Karena pikirku setiap hari harus menghadapi situasi mencekam ini, bertemu dengan orang-orang sakit. Dekat dengan bakteri virus dan sebagainya. Meskipun konon besar gajinya tapi nyawa taruhannya.

Perjuangan besar di ruang operasi belum berakhir, meskipun telinga ini mendengar suara gunting, percakapan dokter bahkan suara musik, tapi mataku hanya tertuju pada jam di layar monitor detak jantung yang terasa begitu lambat berjalan. Hampir dua jam operasi sesar berlangsung. Cukup lama karena ada masalah plasenta lengket. Setelahnya badanku menggigil tidak karuan, entah karena tidak tahan AC atau kondisi tubuh ku yang menurun. Terdengar dokter mengatakan ke asistennya untuk menambahkan darah 2 kantong padaku. Ohh, beginikah perjuangan untuk dapat dipanggil Ibu? Beginikah perjuangan supaya ada surga di telapak kaki ku.?

Ini masih belum seberapa kawan, setelah kembali ke ruang perawatan, adik bayi menangis ingin menyusu. Sementara tubuhku masih belum bisa digerakkan sama sekali. Jadilah Ibu ku menempelkan adik bayi ke dadaku. Si bayi tetap berusaha menyusu dengan mulut kecilnya, tanpa peduli tubuh ibunya masih mati rasa.

"Bu, coba lihat gambar saya, bagus atau tidak?" Arul membuyarkan lamunanku dengan menyodorkan gambarnya di hadapanku.

"Wow, bagus sekali Arul. Ini yang digandeng ibu, siapa Rul, Adek mu?" mencoba memberi apresiasi hasil karya siswa yang memang jago gambar.

"Bukan, Bu. Ini Arul waktu kecil"

"Wah, hebat kamu Rul, Lanjutkan ya. Jangan lupa diwarnai biar tambah cantik. Hayo yang lain sampai mana, karya nya?".

Aku berkeliling melihat karya para murid yang rata-rata benar-benar mengungkapkan cinta mereka pada ibu, dan sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Ada yang menggambar, membuat puisi dan mengarang cerita. Sambil sesekali memberi penguatan pada hasil karya mereka.

Menyaksikan kepolosan para siswa mengungkapkan cinta nya untuk Ibunda, membuatku teringat pada Ibu ku sendiri, yang dari rahimnya aku dilahirkan. Surga ku di telapak kakinya. Sudahkah kuungkapkan cintaku pada beliau.? Pertanyaan ini begitu sulit untuk ku jawab.

Ibu ku lebih dari sekedar pahlawanku. Beliau adalah kehidupanku. Perjuangannya membesarkan kami (aku dan kakakku) seorang diri melebihi perjuangan seorang pahlawan memperjuangkan kemerdekaan negaranya. Ia menangis sendiri, membanting tulang sendiri, membentuk karakter anak sendiri. Bapakku meninggal saat kira-kira 3 bulan aku dalam kandungan. Jika ada rekor yang mencatat perjuangan seorang ibu memperjuangkan kehidupan anak-anaknya, beliau lah pemenang nya bagi ku.

Surgaku di telapak kaki beliau. Kehidupan ku saat ini terasa indah, karena tetesan peluhnya. Karakterku saat ini adalah tempaan beliau yang menguatkan diri menghadapi kerasnya kehidupan. Kekuatan dasar beliau berjuang untuk kami ialah penyertaan Yang Kuasa dan dukungan penuh keluarga besar. Kalimat beliau yang begitu menguatkan "dienteni karo turu, sinambi dedonga, ngko rak yo rampung dewe". (Ditunggu sambil tidur dan berdoa, nanti pasti akan selesai).

Turu adalah simbol ketenangan karena sudah berpasrah kepada Tuhan di dalam doa. Kerasnya kehidupan dan masalah yang datang bertubi-tubi, jika kita hadapi dengan tenang, lakukan apa yang bisa dilakukan. Yang tidak terjangkau oleh pikiran kita, pasrahkan kepada Yang Kuasa.

Wejangan Ibu menjadi pedoman hidup yang aku pegang teguh selama 38 tahun ini. Bahkan saat aku sudah berperan sebagai ibu.

Ibuku, Surgaku, teladanku. Kiranya umur panjang di tangan kananmu dan kesehatan serta kemuliaan di tangan kiri mu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun