Satu lagi film karya Hanung Bramantyo yang telah ditayangkan serentak,mulai hari ini tanggal 9 Februari 2017. Film yang bertemakan drama dengan latar belakang religi dan indahnya kota Budapest Honggaria merupakan lanjutan dari film dengan judul yang sama yaitu “Surga yang tak dirindukan”, dan merupakan adaptasi dari sebuah novel karya Asma Nadia.
Sekilas tema dari film ini adalah mengenai “poligami”, tetapi setelah saya menyaksikan film tersebut sampai dengan ahkir (sekuel pertama dan yang kedua) ada makna lain dari sebuah pesan yang hendak disampaikan Hanung pada filmnya, yaitu bukan tentang tema poligami (hawa nafsu sex) yang coba ditonjolkan, melainkan sebuah tema yang lain, yaitu kebesaran cinta seorang Ibu terhadap anaknya.
Kebesaran cinta seorang wanita terhadap pria yang dicintainya telah mengalahkan hawa nafsu yang akhirnya justru akan merusak kebahagian dari cinta itu sendiri. Hal ini tampak jelas pada saat ibu dari Arini (Laudea Cynthia Bella) menceritakan masa lalu dari kehidupan rumah tangganya, yang ternyata ibu dari Arini merupakan salah satu korban dari poligami yang dilakukan oleh sang ayah, yang dirahasikan selama bertahun tahun hanya untuk kebahagiaan dari Arini. Hal yang sama pada ahkirnya juga dilakukan oleh Arini pada ahkir cerita dari film sekuel yang kedua. Semua dilakukan karena Arini tidak ingin anaknya kehilangan sosok ibu dalam masa-masa pertumbuhannya. Situasi yang hampir sama dengan kondisi dan cerita yang dikemas berbeda.
Kekuatan cinta juga dapat saya saksikan dari sosok Prasetya (Fedi Nuril). Karena cintanya yang besar terhadap Arini dan atas dasar kemanusian, pada ahkirnya Prasetya mau melakukan poligami, meskipun secara tersirat, untuk melakukan poligami bagi seorang sosok suami “ideal” merupakan satu hal yang sangat berat dilakukan. Semuanya dilakukan atas dasar cinta (dasar kemanusian).
Kondisi serupa juga dapat saya saksikan dari sosok Meirose (Raline Shah), hanya untuk kebahagian anaknya, Mei ahkirnya juga “rela” untuk dimadu atau menuntut untuk dinikahi oleh Prasetya, meskipun Mei tahu bahwa Prast sudah berkeluarga.
Dalam tulisan ini saya mencoba untuk memahami arti kata dari poligami yang coba digambarkan dari film Hanung Bramatyo tersebut. Poligami merupakan hal yang tabu untuk dilakukan, apalagi poligami itu dilakukan atas dasar Nasfu (Sex). Bukan hanya kaum wanita saja yang akan marah, kita sebagai laki-laki, juga akan marah jika kita mengetahui istri, atau pasangan kita menduakan kita. Benar tidak? (cukup dijawab dalam hati saja). Poligami atau diduakan atau ditigakan dan seterusnya, baik dari pihak wanita atau pihak laki-laki tentu akan membuat kita dengan cepat tersulut emosinya. Emosi yang pada ahkirnya justru akan membiaskan makna cinta kita sebenarnya terhadap pasangan kita.
Tetapi poligami merupakan hal yang harus kita lakukan, jika kita dihadapkan pada pilihan kemanusian. (cinta kita kepada anak, cinta kita terhadap sesama). Adegan yang tersaji dalam film Hanung, bisa saja terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Dan jika hal tersebut benar-benar terjadi, apakah kita akan tetap berpegang teguh pada prinsip untuk, tidak mau diduakan? Sebuah refleksi perenungan kita bersama atas makna sebenarnya dari Poligami . Agar tidak memunculkan perpecahan dan saling membenci satu sama lain, tetapi lebih mengedepankan rasionalitas kita sebagai sesama manusia yang hidup saling berdampingan dan saling mengasihi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H