Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 1 Februari 2017, dunia penerbangan kita kembali dirundung sedikit musibah, dengan tergelincirnya pesawat Garuda Indonesia GA 258, rute Cengkareng Jakarta-Jogjakarta.
Entah sudah berapa kali kejadian serupa menimpa sebuah maskapai penerbangan nasional dan entah kejadian yang keberapa selalu terjadi di Bandara yang sama, yaitu bandara internasional Adi Sutjipto. Untuk kejadian kali ini, memang dirasakan sedikit membuat saya “syok”, karena kejadian tersebut menimpa sebuah perusahaan penerbangan terbaik di Negara ini dan terjadi di salah satu bandara paling sibuk di Indonesia.
Masih lekat pada ingatan kita semua, bagaimana sebuah transformasi perusahaan yang cukup dikatakan sukses telah dilakukan oleh Emirsyah Satar (CEO Garuda Indonesia 2005-2014). Bagaimana beliau sukses membuat Garuda Indonesia dari keadaan terpuruk, menjadi sebuah perusahaan dengan titel “One Million Company”. Semua masyarakat Indonesia pada saat itu berbondong-bondong ingin naik Garuda Indonesia meskipun dengan harga yang terbilang cukup mahal untuk penerbangan sejenis dan sekelas (rute regional, bandingkan dengan penerbangan tariff murah).
Semua dilakukan oleh masyarakat hanya untuk bisa merasakan kesan eksklusif dari penumpang yang naik pesawat Garuda Indonesia. Ada rasa bangga yang mungkin dirasakan, ketika pengumuman dari otoritas bandara mempersilahkan para penumpang Garuda Indonesia untuk segera naik pesawat. Bahkan sempat terdengar ditelinga saya, salah satu calon penumpang yang duduk tepat disebelah saya berguman, “wow Garuda Cuy”.
Tetapi kesan “mewah” saat itu benar-benar diam ditelan bumi, ketika pada tanggal 1 Februari 2017, sekitar pukul 19:00, sebuah pesawat Garuda Indonesia ahkirnya harus kembali mengalami “kecelakaan kecil” dan seolah-olah dengan kejadian tersebut, nama besar Garuda Indonesia “diperolok/diejek” oleh sebuah perusahaan penerbangan nasional yang baru berdiri “NAM Air”. Ya. Nam Air adalah pesawat yang selamat mendarat beberapa saat sebelum GA 258 mendarat, masih di bandara yang sama, masih dengan kondisi cuaca yang kurang bersahabat. Kok bisa ya?, NAM Air saja bisa selamat mendarat? Sebagaian argument penumpang yang sempat terdengar oleh saya saat itu.
Keajdian yang menimpa Garuda Indonesia kali ini dirasakan sedikit lebih “emosional”, karena kejadian ini merupakan yang pertama setelah mantan CEO mereka ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, sehingga sempat terpikirkan oleh saya, “suatu kebetulan atau memang sesuatu hal yang harus terjadi ya? Mantan CEO ditetapkan sebagai tersangka, Garuda Indonesia tergelincir.”. Tapi ya sudah, tidak terlalu saya pikirkan lebih lanjut. Yang jelas dengan kejadian tersebut, tidak ada satupun korban yang ditimbulkan, baik dari penumpang dan kru GA 258. Puji Tuhan, semua Selamat!.
Namanya musibah, tidak bisa kita tentukan atau kita pilih. Tidak memandang pesawat tersebut berasal dari maskapai besar maupun maskapai kecil. Baik dengan pilot yang “pintar” maupun dengan pilot yang “kurang” jam terbangnya. Musibah tidak akan memilih korbannya. Yang jelas pesan dari kejadian ini adalah bagaiman kita harus selalu waspada, selalu rendah diri dan selalu berdoa. Kejadian bisa menimpa kita semua.
Apa yang telah dilakukan oleh pilot GA 258 adalah yang terbaik dan yang tepat dipilih untuk meminimalisir kerusakan dan jatuhnya korban jiwa. Bagimanapun juga saya secara pribadi memberikan acungan jempol untuk pilot GA 258, yang telah mendaratkan pesawat tanpa adanya korban jiwa.
Dan memang benar, entah itu karena untuk menuntupi rasa malu atau karena memang sudah menjadi “corporate culture” Garuda Indonesia, sesaat sesudah kejadian tergelincirnya GA 258, perwakilan dari pihak Garuda Indonesia melakukan respon yang cepat dan taktis dengan menempatkan salah satu staffnya untuk memberikan konfirmasi kepada calon penumpang pesawat Garuda Indonesia yang bertanya-tanya mengenai kejadian tersebut, maupun yang menunggu kepastian terbang tidaknya mereka dengan pesawat yang sama.
Pihak Garuda Indonesia dengan cepat langsung membagikan deley service “Heavy Mealdari Aerofood) kepada para calon penumpang Garuda Indonesia yang terdelay akibat kejadian tersebut. Sesaat setelah hampir semua penumpang GA 258 dapat dievakuasi, pihak Garuda Indonesia dengan cepat menyediakan akomodasi transportasi untuk semua calon penumpang (sempat beredar kabar, calon penumpang Garuda Indonesia akan diterbangkan melalui bandara Adi Soemarmo Solo). Terasa membuat iri di hati saya”perlakuan sedikit berbeda” dari penumpang maskapai lainnya. Mungkin ini yang bisa saya katakana kesan “mewah” jika kita naik pesawat Garuda Indonesia.
Dari keajdian yang menimpa saya pada saat itu, ada beberapa point yang bisa saya bagikan pada penulisan saya saat ini diantaranya:
- Pada saat tergelincirnya GA 258, kita semua calon penumpang yang sedang menunggu di ruang keberangkatan sama sekali tidak mendengarkan adanya pemberitahuan resmi dari otoritas bandara Adi Sutjipto. (Mudah-mudahan saya terlewatkan dari pengumuman tersebut). Yang masih teringat dalam ingatan saya bahwa otoritas bandara hanya mengumumkan bahwa “karena alasan operasional, maka untuk sementara bandara Adi Sutjipto akan ditutup dan dibuka kembali pada pukul 20:30 WIB (estimasi).
- Pada saat terjadinya delay akibat tergelincirnya GA 258, pengumuman yang di siarkan hanya sebatas pada pengumuman maskapai penerbangan yang mengalami cancle. Kami para penumpang tidak diberitahukan lebih lanjut, langkah-langkah apa saja yang harus kami lakukan setelah penerbangan di cancle. Saya baru mengetahui setelah saya menanyakan langsung ke pihak maskapai penerbangan, yang menginformasikan bahwa setelah adanya pemberitahuan cancle dari orotitas bandara, maka saya sebagai calon penumpang dipersilahkan untuk mengurus begasi dan tiket saya di counter costomer service.
- Untuk delay service, baik berupa snack dan air mineral maupun heavy meal, pada dasarnya sudah sesuai dengan ketentuan kementrian perhubungan (Kompensasi Atas Keterlambatan Penerbangan, Permenhub Nomer PM 89 tahun 2015). Hanya saja pada saat terjadinya peristiwa GA 258, sepengetahuan saya, tidak ada kompensasi lainnya, mengingat akibat kejadian tersebut, penerbangan saya dialihkan pada esok harinya. Artinya delay saya sudah lebih dari 6 jam. (perlu adanya sosialisasi dari pihak terkait mengenai implemtasi peraturan tersebut).
- Lamanya waktu evakuasi badan pesawat GA 258 dikarenakan bandara Adi Sutjipto tidak memiliki alat yang cukup baik untuk dapat segera mengangkat roda pesawat yang terbenam kedalam tanah sekitar 40 cm. Sangat disesalkan mengingat bandara Adi Sutjipto adalah bandara yang terletak di destinasi wisata dan sudah menyandang status internasional, harus terlebih dahulu mendatangkan alat tersebut dan mekanik dari Jakarta atau Surabaya).
- Kurang luasnya apron dan Run way bandara, sehingga kejadian tergelincirnya GA 258 benar-benar membuat penerbangan dari dan akan menuju ke kota-kota rute penerbangan menjadi berhenti total. (posisi GA 258 bisa dibilang dekat dengan pesawat yang parkir).