Mohon tunggu...
Wiwiek Prihandini
Wiwiek Prihandini Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Akuntansi pada Perbanas Institute

Meminati masalah keuangan berkelanjutan, akuntansi lingkungan, dan Indonesia Emas.

Selanjutnya

Tutup

Financial

Pengungkapan Risiko ESG dalam Laporan Keberlanjutan Bank di Indonesia (Bagian 3)

8 Juli 2024   21:30 Diperbarui: 8 Juli 2024   21:43 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Prihandini, 2024

Standar Pengungkapan Risiko ESG 

Praktek bisnis yang lebih mementingkan pada laba dan pertumbuhan usaha, dalam kenyataannya telah berkontribusi besar pada bencana lingkungan yang terjadi di hampir seluruh penjuru bumi. Dunia usaha dipandang tidak mampu memahami sifat sosial yang melekat pada pasar, dan cara yang efektif dalam mengelola risiko, seperti misalnya risiko perubahan iklim. Satuan Tugas Pengungkapan Keuangan Terkait Perubahan Iklim (Task Force on Climate-Related Financial Disclosures - TCFD) menjelaskan bahwa risiko perubahan iklim dibagi menjadi dua yaitu risiko transisi menuju perekonomian rendah karbon dan risiko dampak fisik perubahan iklim (TCFD, 2019).

Menurut laporan TCFD tersebut, risiko transisi mencakup berbagai perubahan kebijakan, hukum, teknologi, dan pasar yang dilakukan untuk memenuhi persyaratan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Yang kedua, risiko fisik berupa resiko sebagai akibat perubahan pola iklim yang dipicu oleh peristiwa jangka panjang. Kedua kategori risiko perubahan iklaim ini berdampak pada pengelolaan modal keuangan dan sosial baik secara langsung dan tidak langsung (TCFD, 2019).

Dalam kerangka, pedoman, dan skema pelaporan, Global Reporting Initiative (GRI, 2021) menyebutkan bahwa perusahaan perlu memberi  narasi rinci tentang identifikasi risiko, dampak, dan peluang. Artinya, diperlukan pengungkapan manajemen untuk mengatasi risiko-risiko tersebut dalam perspektif bisnis di hulu dan di hilir.

Sedangkan Klynveld Peat Marwick Goerdeler (KPMG, 2021) menyebutkan bahwa praktik ESG perlu dimasukkan ke dalam kerangka risiko. Terutama untuk indutri keuangan/perbankan, maka bank perlu memperhatikan isu-isu terkait dengan desain produk, penetapan harga, dan keputusan dalam memberi pinjaman. Pertimbangan yang tepat terhadap risiko-risiko ESG dalam berbagai proses perubahan juga berperan dalam mendorong profitabilitas.

KPMG menyebutkan bahwa regulator, lembaga pemeringkat, dan pihak lain di hampir semua negera telah menaruh perhatian besar terhadap risiko ESG. Konsekuensinya, terjadi peningkatan persyaratan dan kebutuhan dalam pelaporan. Peraturan baru yang dikeluarkan di berbagai negara melalui peraturan pemerintah berkaitan atas pelaporan dan risiko ESG  akan mendorong kepatuhan yang besar bagi bank.

Menurut KPMG, risiko ESG dalam konteks perbankan tidak sekedar berhubugan dengan risiko lingkungan, sosial, dan tata kelola saja namun juga terkait dengan dampak yang ditimbulkan terhadap keuntungan atau kerugian, serta likuiditas bank. Risiko ESG dapat berdampak langsung pada bank, seperti misalnya kerusakan pada gedung-gedung bank akibat gempa. Sedangkan dampak tidak langsung adalah dampak yang disebabkan karena pelanggan yang gagal bayar tepat waktu, atau bahkan gagal bayar akibat bisnis nasabah rugi atau bangkrut.

Selain itu, KPMG (2021) juga menguraikan dua dimensi yang dapat digunakan dalam membedakan risiko ESG lainnya, yaitu dimensi finansial dan dimensi ekstra-finansial. Dimensi finansial merupakan risiko dan peluang ESG yang melekat pada model bisnis para nasabah dan investasi, dan dampaknya pada model bisnis bank itu sendiri. Dimensi ini terkait erat dengan dampak ESG dari luar ke dalam yang sering disebut dengan outside-in effect. Sebaliknya, dimensi ekstra finansial mempertimbangkan dampak bank terhadap lingkungan dan masyarakat. Hal ini berkaitan dengan bagaimana risiko reputasi dapat dihindari, yang dapat dijelaskan dengan mengatasi dampak dari dalam ke luar atau inside-out effect. Dampak ini muncul atas tindakan bank dalam menghadapi isu-isu lingkungan dan sosial.

Keberhasilan mengelola faktor-faktor ESG merupakan cara yang efektif untuk mengoptimalkan manajemen risiko, dan menjaga nilai aset yang mendasarinya. Banyak perusahaan ditemukan memiliki kekurangan dalam pendekatan ESG mereka. Kesalahan pengelolaan ESG dapat mengakibatkan kerugian finansial yang serius dan kerusakan reputasi perusahaan (IFC, 2021 p. 27).

Pengungkapan Risiko ESG pada Bank di Indonesia

Sejak konsep keberlanjutan diperkenalkan ke dalam sektor jasa keuangan, maka bank tidak lagi berfokus pada risiko kredit, risiko likuiditas, risiko pasar, risiko mata uang, yang semata-mata hanya berdampak pada sektor keuangan saja. Muncul risiko ESG yang harus dimasukkan dalam strategi bisnisnya. Risiko ESG yang meliputi risiko lingkungan, sosial dan tata kelola tentu berpotensi menganggu kestabilan pertumbuhan yang dinikmati bank sebelumnya. Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan strategi yang membuat ancaman keberlanjutan menjadi peluang untuk mencapai kesejahteraan pemangku kepentingan tanpa merugikan manusia dan merusak planet bumi.

Satuan Tugas Keuangan Terkait Perubahan Iklim Pengungkapan (TCFD) memberikan kerangka kerja yang berisi rekomendasi untuk melaporkan empat bidang tematik. Keempat bidang tersebut adalah Tata Kelola, Strategi, Manajemen Risiko, serta Metrik dan Target. Kerangka kerja ini akan digunakan untuk menjelaskan bagaimana bank-bank di Indonesia mengungkapkan pelaksanaan manajemen risiko ESG yang tercermin dalam laporan keberlanjutan (TCFD, 2019).

Dalam Tabel 2, terlihat bahwa berdasar kajian terhadap 9 bank KBMI 4 dan 3 di Indonesia, Bank Rakyat Indonesia (BRI) merupakan bank yang relatif lebih lengkap dalam mengungkapkan aspek tatakelola, strategi, manajemen risiko, serta matrik dan target sesuai dengan panduan pengungkapan TCFD. 

Pengungkapan tata kelola dalam laporan keberlanjutan menjelaskan bagaimana alur dan prosedur pelaksanaan, tanggungjawab, dan pengawasan dilakukan. Di BRI, pelaksanaan keuangan berkelanjutan dilakukan oleh direksi sedangkan fungsi pengawasannya dilakukan oleh dewan komisaris melalui komite ESG. BRI memperkuat implementasi aspek ESG dengan mereorganisasi ESG Desk menjadi ESG Division (Bank Rakyat Indonesia, 2022). Di Bank Mandiri, tata kelola keuangan berkelanjutan dilakukan mulai dari top manajemen hingga seluruh karyawan. Isu-isu terkait iklim dikomunikasikan secara rutin ke Komisaris, Direksi, para pemegang saham, investor dan regulator (Bank Mandiri, 2022). Sedangkan di BCA, inisiatif perubahan iklim berada di bawah Direktur Perencanaan dan Keuangan, yang bertugas mengintegrasikan perubahan iklim sebagai salah satu aspek utama ESG ke dalam strategi dan pelaporan secara berkala (Bank Central Asia, 2022).

Terkait aspek strategi keberlanjutan, BRI menggunakan roadmap strategi keberlanjutan sebagai dasar dalam menyusun Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan (RAKB); pengembangan produk beraspek ESG; pembiayaan energi bersih seperti mikrohidro; dan memperbanyak program yang mendukung target emisi nol. Di Bank Mandiri strategi keberlanjutan dilaksanakan melalui penetapan risiko terkait iklim dalam jangka waktu pendek, menengah dan panjang yang masing-masing memiliki rincian yang detil; risiko dalam berbagai aspek bisnis melalui Strategi dan Perencanaan, Pasokan dan Rantai Pasok, Adaptasi dan Mitigasi, dsb. serta penjelasan tentang ketangguhan strategi terkait iklim. Sedangkan kebijakan dan strategi BCA dinyatakan dengan mengungkapkan  dampak aktual dan potensial dari risiko dan peluang terkait iklim pada bisnis, strategi, dan perencanaan keuangan organisasi; serta di mana informasi itu dianggap bersifat material. BCA memiliki roadmap perubahan iklim untuk memandu langkah  dalam memasukkan isu perubahan iklim ke dalam perencanaan keuangan dan operasionalnya.

Untuk aspek manajemen risiko, BRI menetapkan kebijakan risiko ESG melalui analisa ESG yang menjadi bahan pertimbangan dalam Memorandum Analisis Bisnis debitur. BRI selektif dalam pembiayaan pada sektor energi fosil, seperti minyak bumi dan batu bara dengan adanya sektor limit. Bank Mandiri punya komitmen mengedepankan prinsip ESG untuk menjadi Indonesia’s Sustainability Champion for Better Future sebagai respon dalam mendukung pembangunan ekonomi rendah karbon. Bank Mandiri juga rutin melakukan monitoring nasabah yang terkena dampak perubahan iklim; termasuk mendirikan Business Continuity Management (BCM) agar dapat melakukan early action plan, dan mendirikan data center di beberapa tempat berbeda. Untuk meminimalisir risiko perubahan iklim, BCA secara bertahap membatasi pembiayaan yang memiliki risiko ESG berdasarkan pemetaan yang dilakukan; dan menyusun Environmental & Social Risk Analysis.

Sedangkan untuk aspek metrik dan target, BRI telah menghitung emisi dan melakukan klasifikasi portofolio kredit berdasarkan kegiatan usaha berwawasan lingkungan (KUBL) dan Taksonomi Hijau Indonesia (THI). Bank Mandiri juga merancang penghitungan emisi Gas Rumah Kaca cakupan 1, 2, dan 3 yang meliputi emisi karbon dari konsumsi BBM dan genset, konsumsi listrik, dan perjalanan dinas pegawai dari seluruh kantornya dan kreditornya; serta pemberian insentif yang terkait dengan upaya menuju Net Zero 2060. Bank Mandiri menargetkan penanaman mangrove sampai dengan 500 Ha dan telah memperhitungkan offset emisi operasional tersebut. BCA mulai mengidentifikasi risiko transisi, mengumpulkan data, dan melakukan analisis skenario iklim terutama pada sektor industri yang rentan terhadap dampak perubahan kebijakan iklim, teknologi, pasar, dan reputasi yang mendukung pembangunan rendah karbon. Target yang diharapkan setiap tahun adalah BCA bisa memperbaharui data terkait dengan risiko transisi perubahan iklim.

(Bersambung ke Bagian 4)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun