Suatu hari ketika saya melihat sebuah status teman saya di sosial media tentang anaknya yang minta dirinya untuk dibacakan sebuah buku cerita dan tidak mau main handphone bahkan melarang dirinya untuk main handphone, seketika saya terpukul dan malu dibuatnya, karena selama ini saya jarang sekali membacakan cerita ke Nadine, saking jarangnya dibacakan cerita,Â
Nadine jadi sering cuek kalau saya bacakan buku cerita. Nadine pun lebih memilih untuk nonton YouTube. Aaahhh... Saya merasa gagal menjadi seorang ibu. Saya mulai menyesal dulu sudah kenalkan Nadine dengan YouTube, karena dulu saya sibuk dengan tugas daring PPG (pendidikan profesi guru). Hal itu saya lakukan supaya Nadine tidak "mengganggu" saya.Â
Saya tetap mengawasi apa yang dia tonton, memang sih si Nadine itu nonton vlog anak-anak tentang kegiatan sehari-hari, lagu-lagu atau mainan. Saya tidak mengajarkannya untuk main game di handphone karena pada dasarnya saya juga kurang suka. Jadi tak ada game di handphone saya.
Dulu, setiap saya mau mengerjakan tugas dan Nadine mulai "menempel" pada saya, jurus jitu supaya Nadine tak "mengganggu", ya saya berikan handphone dan buka YouTube maka Nadine pun ikut sibuk dengan aktivitasnya sehingga saya bisa fokus mengerjakan tugas. Memang dulu handphone menjadi alternatif terakhir saat Nadine rewel dan ingin dekat dengan saya. Yaaah, namanya juga anak-anak ya, ikutan sibuk kalau mamanya sibuk.Â
Awalnya saya kasih kertas dan pena atau pensil untuk dia menggambar, beberapa menit aman lalu mulai rewel, saya kasih mainan yang lain sampai akhirnya handphone lah yang lumayan buat dia betah tak mengganggu saya.Â
Sayangnya hal ini membuatnya terbiasa dengan YouTube dan secara tak langsung saya lah yang buat dia kecanduan handphone sampai sekarang. Saya menyesal, apalagi kalau lihat postingan teman-teman saya yang anaknya rajin baca buku.
 Saya makin menyesal dan menjadi ibu paling bodoh.
Tapi, melalui tulisan ini saya pun akhirnya merenung. Tidak ada ibu yang sempurna di dalam dunia ini, semua ibu selalu ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya. Kalau tidak salah juga saya pernah membuat tulisan yang intinya tak perlu menjadi ibu yang sempurna, tetapi jadilah ibu yang bahagia. Karena anak membutuhkan ibu yang bahagia daripada ibu yang sempurna, kenapa? Karena ibu yang bahagia akan memberikan pengaruh positif kepada anaknya sedangkan ibu yang sempurna cenderung akan menuntut anaknya menjadi sempurna dan justru akan membuat anaknya stres.Â
Saya juga mulai merenung dan memikirkan hal yang positif dari keadaan yang negatif ini. Misalnya Nadine sudah bisa mengenal warna dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris lewat YouTube, bisa bercerita sendiri dengan gaya ala-ala vlogger cilik, memiliki memori yang kuat tentang apa yang dia tonton baik isi cerita si vlogger, pakaian atau apa saja yang dibelinya.Â
Nadine senang nonton vlog tentang es krim dan suatu hari waktu ke Indomaret dia ambil salah satu es krim dan bilang "ini rasa jambu dan apel ma". Waktu saya lihat, memang benar sih ada tulisan rasa jambu dan apel, nah sampai di rumah Nadine tonton YouTube lagi dan bilang "ini lho ma, es krim yang tadi". Hmm... Jadi Nadine meniru yang ada di YouTube. Tidak hanya itu sih, masih ada beberapa lagi yang lain. Intinya Nadine meniru si vlogger.
Melalui tulisan ini juga saya ingin mengingat hal-hal positif yang sudah saya terapkan pada Nadine, bukan untuk menyombongkan diri tetapi supaya tetap bisa percaya diri menjadi ibu dan tidak menyalahkan diri saya terlalu dalam. Oke, pertama, sebagai working mom saya berhasil memberikan ASI sampai 2 tahun bahkan lebih, saya masih bisa menyiapkan MPASI homemade, saya juga belajar tentang cara menggendong yang baik dan ilmu parenting yang lainnya.