Niat hati mau menyapih Nadine dengan metode WWL (weaning with love) yang nggak pakai pahit-pahit, oles-oles dan lain sebagainya yang menyakitkan. Metode ini hanya menggunakan sounding, pengertian dan bicara dari hati ke hati bahwa anak sudah besar dan nggak boleh menyusu lagi. Dari umur 20 bulan sebenarnya aku sudah sounding Nadine untuk nggak nenen lagi kalau sudah umur 24 bulan atau 2 tahun, hampir setiap hari aku sounding dan Nadine pasti mengiyakan mantap. Dalam hati, waaah..enak banget nih menyapih dengan metode ini. Anak langsung mengerti dan paham.
Semakin mendekati usia 2 tahun, Â aku semakin gencar tapi pernah sih beberapa kali kendor untuk sounding. Nadine selalu mengiyakan dengan mantap. Aku hitung mundur hari kapan harus lepas dari nenen. Tapi ternyata kenyataan berbeda dengan harapan. Saat Nadine ulang tahun dan udah tiup lilin, Nadine merengek minta nenen. Ok, aku sounding sebentar aja ya. Iya, katanya gitu. Tapi sebentar yang dia bilang ya tetap aja lama.Â
Hal itu terus berlanjut sampai diusia 25 bulan. Aku berpikir nggak apa-apalah, toh ASI akan menjadi semakin baik untuk sistem imunnya. Anak teman-teman juga ada yang sampai 30 bulan menyusu. Bulan berganti bulan dengan pikiran yang sama. Sempat terlintas untuk menakut-nakuti saja dengan oles lipstik atau Brotowali yang buat nenen jadi pahit. Tapi segera aku urungkan niat itu dan aku buang jauh-jauh pikiran "jahat" itu. Aku harus kasih pengertian ke Nadine. Pasti bisa. Yap, aku semakin optimis.
Bulan Juni, jadwal daring untuk PPG dalam jabatan keluar dan itu artinya dalam beberapa bulan lagi aku harus meninggalkan Nadine untuk waktu yang lama sekitar 10 Minggu. Kalau dia masih bergantung nenen, bakalan akan menyusahkan orang-orang yang menjaga Nadine selama aku pergi. Hmm..banyak yang bilang dan menyarankan untuk kasih lipstik aja, nggak apa-apa kok. Tapi aku tetap dengan idealisme aku dan aku mengatakan TIDAK. Aku akan coba terus dan terus.
Tapi, waktu terus berjalan. Memasuki bulan Juli aku masih santai dan keukeh untuk mau WWL. Meskipun seringkali setiap habis sounding Nadine justru semakin nemplok. Aku tetap teguh pada pendirianku. Sampai akhirnya, temanku kirim pesan lewat WhatsApp kalau dia mau pulang ketemu anak dulu tanggal 16 Agustus baru pergi ke Bandung (kebetulan penempatan PPG ku di Bandung). Baru aku sadar bahwa itu artinya waktu kepergianku sebentar lagi, sementara aku belum berhasil untuk WWL.Â
Akhirnya sore itu setelah mandi, payudaraku aku oles lipstik sambil dalam hati bilang maafin mama ya Nadine. Yap, ideal dan pendirianku runtuh. Sedih, sakit dan berat sebenarnya. Tapi sepertinya ini adalah pilihan terbaik supaya Nadine bisa lepas nenen dengan cepat. Benar saja, ketika Nadine mau nenen, dia nggak mau karena ada merah-merah. Aku lihat di wajahnya ada rasa kecewa dan sedih. Ingin menangis rasanya, tapi aku harus kuat. Aku bisa mengalihkan perhatiannya dengan mengajak main sama temannya. Untuk sementara memang teralihkan.Â
Ketika menjelang tidur, Nadine mulai gelisah, dia memasukkan jari-jarinya ke dalam mulut sambil merengek. Aku bertahan meskipun hatiku ingin langsung memberikan kesukaannya. Aku peluk Nadine sambil bilang Nadine sekarang sudah besar ya, nggak boleh nenen lagi. Sepertinya dia mengerti, tapi rasa sedih tak bisa ia tutupi. Ia terus menangis sedih, membolak-balikkan badan di kasur. Aku tawarkan untuk minum susu nggak mau, minum air putih juga nggak mau, aku tawarkan untuk gendong juga nggak mau. Ya sudah aku peluk saja Nadine. Sampai akhirnya dia minta gendong dan mau lihat hp (YouTube). Ok, aku kasih dia lihat YouTube sebagai pengalihan. Walaupun sebenarnya ini bukan cara pengalihan yang baik, tapi ya sudahlah. Akhirnya beberapa menit kemudian Nadine tidur. Yeaaay...berhasil tidur tanpa nenen. Tapi coba lihat nanti tengah malam, kebangun nggak.
Aku kembali ke laptop untuk mengerjakan tugas-tugas yang membuat pusing. Jam 01.00 mataku sudah tak kuat, badan dan pikiranku lelah, aku putuskan saja untuk tidur. Aku naik ke tempat tidur dan memeriksa celana Nadine, ternyata nggak ngompol. Syukurlah. Aku duduk dan mau berdoa, tetapi Nadine bangun dan merengek. Tiba-tiba juga dia mau minta main tempat mbak Aika (temannya). Waduuhh... Akhirnya aku gendong aja, Nadine terus merengek dan menangis sedih. Kadang aku dengar dia minta nenen. Aku tetap bertahan, walau sebenarnya aku nggak kuat lihat wajah Nadine yang sedih dengan air mata yang turun. Tapi aku harus kuat. Aku gendong saja Nadine, aku tawarkan susu dan air putih dia nggak mau.
Uti dan akungnya bangun, ayah juga bangun tapi nggak keluar kamar karena memang sudah lelah. Akung Nadine buatin Nadine teh, akhirnya Nadine mau minum teh. Proses pengalihan ini berlangsung lama dan sebenarnya aku hampir menyerah, aku nggak tega, benar-benar nggak tega. Tapi itu Nadine menguatkanku. Nadine kembali rewel dan nangis, aku tawarkan untuk lihat YouTube dan dia mau. Nadine pun mau tiduran sambil lihat video dan lama-lama dia tertidur sampai pagi. Lelah sebenarnya, dari jam 1 sampai jam 3 pagi Nadine bangun. Tapi inilah perjuangan.
Pagi tadi Nadine bangun masih dengan rasa sedih dan kecewa. Aku langsung peluk dan gendong Nadine. Aku ajak ngobrol, main, bercanda sampai akhirnya dia lupa untuk nenen. Aku pamit kerja juga nggak drama. Ahhh...anak pintar.
Proses menyapih dengan "memaksa" atau tanpa cinta seperti ini ternyata rasanya berat. Bukan hanya Nadine yang sedih, aku juga sedih. Ada rasa bersalah dalam diriku, tapi aku tak mau larut dalam rasa bersalah itu, aku harus terus memeluk Nadine supaya Nadine tahu kalaupun dia nggak nenen lagi, dia masih bisa dekat denganku dan aku masih bisa terus memeluknya. Aku juga mulai berpikir realistis, aku tak mau egois mempertahankan idealisme dan prinsipku. Biarlah orang berkata apa tentang aku yang tega atau lain sebagainya. Mereka tak tahu apa yang aku rasakan sebenarnya, aku melakukan  semua ini untuk kebaikan bersama. Semoga Nadine mengerti dan hari ini sampai seterusnya Nadine bisa lepas nenen.