Khusus untuk simbol laba (income) misalnya, realitas referensial atas simbol laba tersebut tidak berada pada tingkatan realitas fisik, tetapi berada pada tingkatan realitas sosial (social reality), dalam artian realitas tersebut menjadi ada karena kesepakatan yang terjadi dalam kelompok akuntansi. Hubungan antara simbol laba dengan realitas referensialnya ini menggambarkan adanya peluang akan timbulnya perbedaan interpretasi laba akuntansi dalam sebuah ruang komunikasi, yang mana jika perbedaan interpretasi laba akuntansi ini terjadi maka tentu akan mempengaruhi efektivitas komunikasi informasi laba itu sendiri yang mempengaruhi pengkomunikasian laba akuntansi sehingga respon terhadap informasi tersebut akan diragukan.
Penafsiran laba sebagai identitas perubahan realitas ekonomik perusahaan menunjukkaan bahwa dalam persepsi akuntan, laba bukanlah hasil usaha bersih yang jika sudah didapatkan langsung dinikmati atau dikonsumsi. Sari Kusuma (akuntan publik) mempertegas hal ini dengan menyatakan bahwa laba akuntansi akan menjadi riil jika setelah akun laba ditutup ke akun modal atau laba tidak dibagi.
Menurut pemahaman akuntan, pendapatan dan beban diukur berdasarkan pendekatan neraca (balance sheet approach) bukan pendekatan laba-rugi (income statement approach). Oleh karena itu, akuntan mengatakan bahwa penafsiran atas laba akuntansi harus dilakukan dalam wilayah akuntansi saja, karena akuntansi memiliki kesepakatan atau aturan tertentu yang berbeda dengan wilayah lainnya.
Dalam semiotika struktural, fakta-fakta empiris menunjukkan secara jelas bahwa dalam praktiknya, penafsiran atas laba akuntansi belum berujung pada realitas yang sama. Fakta empiris juga membawa pesan yang konsisten dengan pernyataan Azra (2005: 151) semiotika struktural atas laba akuntansi sebagai teks setidaknya mengungkapkan beberapa hal berikut :
- Kesamaan penafsiran pada tataran sintaktik, yaitu laba akuntansi merupakan selisih dari penghasilan dan beban.
- Pluralitas penafsiran pada tataran semantik, yaitu laba akuntansi merupakan representasi dari aliran kas masuk neto secara fisik pada periode pelaporan dan identitas dari perubahan realitas ekonomik pada periode pelaporan tanpa dikaitkan dengan ada atau tidak adanya aliran kas masuk neto pada periode tersebut.
- Ambivalensi penafsiran pada tataran pragmatic. Pernyataan-pernyataan para informan memberikan gambaran bahwa laba akuntansi dipandang :
- bermanfaat sebagai alat bantu untuk memahami perubahan realitas ekonomi perusahaan,
- bermanfaat sebagai dasar pengambilan berbagai keputusan keuangan.
Konsep laporan keuangan pada semiotika memahami dua sistem tanda yaitu signifier dan signified sebagai hubungan yang bersifat asosiasi antara suatu bentuk penanda (signifier) dan sebuah ide atau petanda (signified). Penanda (signifier) adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang di tulis atau di baca. Sedangkan petanda (signified) adalah gambaran mengenai mental, pikiran, atau konsep dari bahasa. Dalam hal ini, laporan keuangan dapat diinterpretasikan dengan semiotika pada teori komunikasi untuk membentuk mekanisme komunikasi dari laporan keuangan tersebut.
Simbol yang ada pada laporan keuangan ditujukan untuk menemukan makna yang terkandung dalam tanda dan menafsirkan makna tersebut sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kinerja keuangan selama satu periode tertentu serta ditujukan kepada para pemakai laporan keuangan sebagai bentuk informasi. Simbol-simbol tersebut misalnya, aset, kewajiban, modal, pendapatan, dan laba. Dengan demikian, simbol dihadirkan sebagai wujud yang penting dan pengakuan dari para pemangku kepentingan. Adapun simbol lain yang berupa sifat kinerja keuangan perusahaan, yang diukur dengan indikator seperti rasio kas, rasio aktivitas, rasio leverage, rasio profitabilitas, dan lain-lain.
E. Inti Pemikiran Roland Bathers
Inti pemikiran dari Roland Bathers tertuang didalam beberapa bukunya, yakni :
1. Â Mythologies
Buku Roland Barthes yang berjudul Mythologies terdiri atas dua sub bab, yakni : Mythologies dan Myth Today.
Pada bagian pertama buku Mythologies, Barthes mengungkapkan topik-topik kontemporer semacam dunia gulat, romantisme dalam film, anggur dan susu, irisan steak, wajah Garbo, otak Einstein, manusia Jet, masakan ornamental, novel dan anak-anak, mainan (toys), mobil Citron, plastik, fotografi, tarian striptease, dan topik-topik pop lainnya. Sebagaimana dinyatakan dalam pengantarnya pada cetakan pertama (1957), Barthes menyatakan bahwa tulisan-tulisannya dalam buku ini merupakan sejumlah esai tentang topik-topik masa itu yang ia tulis setiap bulan untuk sejumlah media massa. Topik-topik yang menarik perhatiannya ini tidak lain merupakan refleksi atas mitos-mitos baru dari masyarakat Prancis kontemporer. Lewat berbagai analisisnya tentang peristiwa-peristiwa yang ditemuinya dalam artikel surat kabar, fotografi dalam majalah mingguan, film, pertunjukan, ataupun pameran, Barthes mengungkapkan sejumlah mitos-mitos modern yang tersembunyi di balik semua hal itu. Mitos inilah yang Barthes sebut sebagai second order semiotic system, yang harus diungkap signifikansinya. Jabarannya mengenai konsep mitos-mitos masa kini sebagai kajian sistem tanda dibicarakan pada sub bab kedua yang berjudul Myth Today.
2. Â The Fashion System
Dalam buku The Fashion System, Barthes membicarakan banyak hal mengenai dunia mode. Sebagaimana bukunya yang terdahulu, dalam buku ini Barthes membicarakan operasi struktur penanda (signifier) mode, struktur petanda (signified)-nya, dan struktur sign atau signifikansinya. Pada dasarnya, kajian mode atau fashion Barthes tidak terlepas dari bidang semiotika yang selama ini dikembangkannya. Misalnya pada perkembangan berikutnya, model pakaian seseorang harus disesuaikan juga dengan fungsinya sebagai tanda, yang membedakan antara pakaian untuk kantoran, olahraga, liburan, berburu, upacara-upacara tertentu, bahkan untuk musim-musim tertentu. Manusia pengguna pakaian yang mengikuti trend akan mengejar apa yang tengah menjadi simbol status kelas menengah atas, dan yang tidak mengikuti arus dunia mode akan dikatakan manusia yang tidak fashionable alias ketinggalan mode.
Dengan demikian, busana tidak lagi menjadi sekedar pakaian tetapi juga telah menjadi mode, menjadi peragaan busana serta menjadi simbol status kehidupan. Hal ini tidak hanya terjadi di dunia barat saja, tetapi juga tengah melanda di Indonesia. Barthes tidak salah mengembangkan aspek ini, yakni mode sebagai salah satu kajiannya. Begitulah, salah satu topik pembicaraan Barthes tentang aspek kebudayaan massa yakni tentang dunia mode. Dunia yang kini penuh dengan kemewahan para model yang memperagakannya di sejumlah catwalk pusat-pusat peragaan busana di berbagai kota metropolis, sehingga status seseorang dalam masyarakat seringkali dicitrakan melalui merk dan rancangan siapa pakaian yang dikenakannya.
DAFTAR PUSTAKA
- Aerts, W. and Cormier, D. (2008), "Media legitimacy and corporate environmental communication", Accounting, Organizations and Society, Vol. 34 No. 1, pp. 1-27.
- Ambar. (2017). Teori Semiotika Roland Barthes. (https://pakarkomunikasi.com/teori-semiotika-roland-barthes).
- Lustyantie Ninuk. (2012). Pendekatan Semiotik Model Roland Barthes Dalam Karya Sastra Prancis. Artikel Seminar Nasional FIB UI.
- Riduwan Akhmad. (2010). Semiotika Laba Akuntansi. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Volume 7 No. 01, 38-60.
- Trabaut Jurgen. (1996), Dasar-dasar Semiotik (Elemente der Semiotik), ISBN : 979-459-646-9. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,.