Mohon tunggu...
Politik

Mempertanyakan Logika Reaktor Daya Eksperimental (RDE) Di Serpong (BAG 2)

29 Juli 2015   20:48 Diperbarui: 11 Agustus 2015   22:38 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[Tulisan ini merupakan tulisan kedua dari beberapa tulisan, dibawah ini tautan untuk melihat tulisan pertama]

http://www.kompasiana.com/pribadiagungsujagad/mempertanyakan-logika-pembangunan-reaktor-daya-eksperimental-rde-di-serpong_5599c155e422bd1a05b7379a

Di tulisan pertama saya mengkritisi reaktor nuklir apa yang sebenarnya hendak dibangun? Reaktor daya atau reaktor eksperimental? Jawaban dari BATAN ada di Kompas terbitan Sabtu 27 Juni 2015 “ini bukan reaktor daya karena bla bla bla” dan “bukan reaktor riset karena bla bla bla..”. Tapi kok namanya Reaktor Daya Eksperimental?

Pada Bagian Kedua ini, saya ingin fokus kepada aspek tujuan pembangunan RDE. Saya mencoba melakukan pencarian di google, guna mendapatkan beberapa tujuan pembangunan RDE berdasarkan press release, hasil wawancara pejabat dan situs www.batan.go.id. Secara garis besar tujuannya adalah (a) penguasaan teknologi putra-putri bangsa dalam managemen pembangunan, pengoperasian, dan perawatan reaktor nuklir untuk pembangkit listrik (b)mendapatkan disain reaktor yang tepat; (c) meyakinkan publik bahwa teknologi nuklir aman dan bersahabat; (d) mengenalkan nuklir sebagai sumber daya listrik baru di masa depan;

Mari kita uji satu persatu, apakah tujuan tersebut memiliki landasan argumentasi yang konsisten dan tidak ambigu/saling bertentangan dengan pernyataan BATAN sendiri.

Alasan pembangunan RDE No. 1 : penguasaan teknologi putra-putri bangsa dalam managemen pembangunan, pengoperasian, dan perawatan reaktor nuklir untuk pembangkit listrik

Pertanyaan pembuka saya “sebetulnya BATAN telah memiliki kemampuan untuk membangun dan mengoperasikan PLTN atau belum?”. Kalau Anda cermati, sudah bertahun-tahun BATAN menyatakan “….telah memiliki kemampuan/ keahlian untuk membangun dan mengoperasikan PLTN. Yang dibutuhkan tinggal political will pemerintah. Hanya perlu kata “go” dan kita bisa langsung jalan”. Kira-kira seperti itulah...

Kalau persoalan pembangunan PLTN adalah di ‘political will’ -bukan di kompetensi SDM- maka pembangunan RDE tidak menyentuh esensi persoalan. Wong persoalannya di political will kok, masa usulan solusinya di sisi kompetensi/ teknologi? Anda sakit maag, lalu mempergunakan Fludane atau Bisolvon sebagai obatnya? Memangnya kalau Anda mendapatkan Bisolvon, nanti maag-nya pasti otomatis sembuh? Relevansinya dimana? Seharusnya political will itu yang musti diperjuangkan agar bisa didapatkan. Bukannya bikin proyek baru. Kecuali kalau RDE memang dilandasi “pendekatan proyek” loh. Saya tidak ingin menilai atau berprasangka negatif kepada BATAN, walaupun godaannya besar hahaha….

Sebaliknya jika BATAN merasa masih ada bagian teknologi/ kompetensi operasi PLTN yang masih perlu dikuasai –sehingga mendadak ingat untuk membangun RDE- maka pertanyaannya kenapa kemarin-kemarin membanggakan kemampuan ahli-ahlinya sedemikian rupa sehingga seolah-olah persoalannya CUMA di political will? Yang kemarin silap kata atau gimana hahaha….

Sekarang anggap saja memang BATAN kemarin silap kata -mumpung masih suasana Lebaran, mari kita berikan maaf setulusnya- dan masih memerlukan sedikiiiit lagi penguasaan teknologi PLTN lalu apakah solusi terbaiknya adalah dengan membangun reaktor nuklir baru? Apakah tidak bisa melalui training, tukar menukar tenaga peneliti atau advanced study ke fasilitas sejenis di luar negeri. BATAN khan anggota IAEA, hal ini akan dengan mudah difasilitasi. Toh selama ini BATAN juga telah berpengalaman dalam menjalin kerjasama iptek nuklir internasional. Kalau Anda ingin bisa mengemudi, kenapa musti beli mobil sendiri sementara Anda bisa pinjam pakai di kursus menyetir? Toh banyak orang yang bisa menyetir tanpa harus punya mobil sendiri -sopir tetangga saya misalnya-. Anggaran pembangunan RDE itu Rp 2 trilyun. Bahkan dengan anggaran 5%-nya atau Rp 100 milyar saja, penguasaan teknologi ‘yang itu’ pasti bisa didapatkan melalui kerjasama multilateral/ bilateral.

Dan masih ada lagi…. Supaya publik mengerti, RSG GA Siwabessy (RSG GAS) di Puspiptek Serpong adalah reaktor riset pengkayaan rendah berdaya paling besar di dunia pada saat diresmikan dulu. Ide pembangunan saat itu adalah untuk membangun reaktor riset yang “sedekat” mungkin dengan realitas PLTN. RSG GAS mempergunakan uranium pengkayaan rendah, karena itu yang paling umum dipergunakan di PLTN -reaktor riset pada umumnya mempergunakan uranium pengkayaan tinggi-. Di kelasnya itu, RSG GAS juga dibangun dengan daya 30MW alias yang terbesar di dunia, karena sekali lagi, hendak mendekatkan diri sebisa mungkin pada realitas PLTN -yang umumnya berdaya besar-. Lha ini kok mau membangun reaktor nuklir baru lagi. RSG GAS yang didisain sudah “dekat” dengan PLTN mau diapakan? Belum lagi kalau mengingat masih ada 2 reaktor lainnya : di Bandung dan Jogjakarta.

Menristek menyebut bahwa RDE bisa juga digunakan untuk penelitian. Pertanyaan saya, apakah 3 reaktor riset masih kurang? Sebetulnya yang kurang adalah reaktornya atau kreativitas penelitinya? Kalau kreatif, banyak penelitian baru bisa dilakukan dengan reaktor yang telah ada. Tapi kalau memang tidak kreatif, para peneliti bakalan memerlukan reaktor baru untuk melakukan penelitian yang cuma berulang di area itu-itu saja. Saya tidak yakin gagasan RDE ini dilandasi oleh kebutuhan peneliti di akar rumput BATAN. Banyak dari peneliti BATAN yang sangat kreatif. Saya yakin mereka tidak memerlukan reaktor baru seharga 2 trilyun hanya untuk membangkitkan kreatifitas penelitian. Ide jenius saya : gunakan saja Rp 50 milyar/ tahun untuk tambahan insentif bagi peneliti yang menurut Panel Peneilti BATAN  'terbukti sangaaat kreatif". Itupun masih perlu 20-30 tahun untuk menghabiskan dana 2 trilyunnya.

Gagasan untuk masuk Guiness Book of the Records sebagai “negara dengan jumlah reaktor riset terbanyak dalam kelompok negara berpendapatan per kapita dibawah US 5,000” buat saya tidak menarik. Makin tidak menarik ketika “prestasi” itu diperoleh sebagian berkat uang pajak yang saya bayarkan hahaha….

 

 

Alasan pembangunan RDE No. 2 : mendapatkan disain reaktor yang tepat 

Terus terang saya bingung dengan alasan “disain reaktor yang tepat”. Bukankah mustinya kita menetapkan disainnya dulu, baru kemudian membangunnya? Masa kita membangun dulu agar bisa mendapatkan disain yang cocok. Maksudnya trial and error atau bagaimana?

Atau maksudnya, bersamaan dengan pembangunan RDE ini BATAN akan memiliki kesempatan untuk belajar disain reaktor? Jika ini maksudnya, bukankah kawan-kawan di BATAN sudah sangat ahli dalam melakukannya. Kalau belum ahli, nanti bisa ditipu dong ketika kita benar benar bangun PLTN? Dulu pernah ada tim studi/ disain reaktor produksi isotop. Lalu juga pernah ada tim disain Advanced Reactor dan sebagainya. Point saya, disain reaktor yang tepat bisa diperoleh dengan simulasi/ komputasi tanpa musti dibuktikan dengan pembangunan fisik reaktor nuklirnya. Jangan sampai BATAN membangun RDE hanya untuk mengetahui seberapa hebatnya mereka dalam komputasi dan disain. Kemahalan!! Ini seperti TNI mengajak perang negara tetangga hanya untuk melihat seberapa hebat tentara dan alutsistanya di pertempuran nyata. Konyol hahaha...

Justru sekarang saya jadi bertanya-tanya, menurut Blueprint Pembangunan PLTN, reaktor jenis apa yang akan dijadikan basis teknologi PLTN di Indonesia? Apakah PWR, BWR atau PHWR (CANDU), atau yang lainnya lagi? Kalau memang menurut Blueprint PLTN, yang akan dibangun nantinya adalah PLTN tipe PWR atau BWR atau PHWR maka RDE, sebagai reaktor nuklir antara, mestinya juga memiliki tipe yang sama.

Tapi ini khan aneh, BATAN mendadak menetapkan akan membangun reaktor RDE bertipe HTGR. Memangnya BATAN sudah menetapkan HTGR sebagai basis teknologi PLTN Indonesia di masa depan? Sementara kalau Anda lihat data IAEA, 95,4% PLTN yang sekarang beroperasi ditambah yang sedang dalam tahap pembangunan ternyata didominasi oleh PLTN berjenis PWR, BWR dan PHWR. Berapa persen yang bertipe HTGR seperti RDE? Jawab : 2,2%.

Jadi disini ada kekacauan metode berpikir yang serius seharga 2 trilyun. Jika kita mau mengurangi resiko, bangunlah PLTN yang sudah proven dipakai di banyak negara : PWR (71,3%), BWR (18%) atau PHWR (6,1%). Karena total ketiganya mencapai 95,4% market share. Kenapa kita repot-repot menjadi kelinci percobaan dengan membangun PLTN berjenis HTGR yang jumlahnya hanya 2,2% di dunia? Gagah berani atau konyol?

Tapi sebaliknya, kenapa kita sekarang membangun RDE berjenis HTGR jika akhirnya kita akan membangun PLTN tipe PWR/BWR/PHWR yang memang market leader di dunia per-PLTN-an? Kenapa tidak membangun RDE prototipe PWR/BWR/PHWR saja? Karena prototype yang tersedia di market hanya HTGR? Ya gak bisa begitu dong. Jangan sampai hal teknis mengalahkan hal yang strategis. Terkecuali kita memang tidak paham mana yang teknis dan mana yang strategis hahaha…..

Yang saya khawatirkan adalah justru jangan-jangan malah Republik ini belum memiliki Blueprint Pembangunan PLTN, sehingga setiap pimpinan/ pejabat (orang) bisa kreatif menciptakan gagasan apapun sekehendaknya sendiri. Hari ini RDE tipe HTGR, besok prototype PWR, dan lusa model mini-PHWR tergantung suasana hati, wangsit dan proposal yang masuk. Khan kacau kalau begini. Uuupss..maaf jadi negative thinking nih!!

 

Alasan pembangunan RDE No.3 : BATAN ingin meyakinkan publik bahwa teknologi nuklir itu aman.

Setidaknya ada dua kekonyolan disini. Kekonyolan pertama, RSG GAS di Serpong itu sudah berjalan 25 tahun. BATAN juga sudah melakukan sosialisasi sedemikian intensif kesana kemari yang menghabiskan banyak uang APBN. Lalu apakah publik jadi yakin terhadap keamanan PLTN? Jawabnya : NOPE!!! Publik masih takut pada PLTN, dari dulu sampai sekarang.

Jadi bagaimana argumentasinya bahwa menambah satu reaktor nuklir baru yang notabene berdaya sama dengan RSG GAS akan mengubah keyakinan publik? Apakah BATAN sedang melakukan trial and error? Coba satu dulu lalu lihat reaksi publik. Kalau masih banyak penolakan, coba tambah satu reaktor lagi, tambah lagi dan demikian seterusnya sampai akhirnya tercapai “massa kritis” dimana reaksi penolakan publik terlampaui. Laaah…??

Buat saya, sikap itu terdengar seperti petualangan. Atau perjudian. Saya tidak menyukai judi. Tapi jika ada pihak yang pengen bingits berjudi maka nasehat saya : pakailah uangmu sendiri.. jangan pakai uang orang lain (pajak)!

Kekonyolan kedua : BATAN berencana membangun RDE di Serpong, tapi yang menjadi target penerimaan adalah penduduk di area rencana PLTN : Jepara dan Jawa Tengah pada umumnya. Lalu apa hubungannya, obyeknya berbeda gitu kok? Yang satu publik Serpong/ Tangerang/ Banten & Jakarta Selatan, satunya Jepara/ Jateng. BATAN ini mau meyakinkan penduduk daerah mana? 

Saya sendiri tidak peduli kalau ada orang mau menaruh satu petasan besar 4km dari rumah. Tapi kalau ada orang yang menaruh 4-6 biji mortir di kamar sebelah, itu lain cerita. Petasan adalah padanan dari RDE 30MW thermal, satu mortir ibaratnya sebuah PLTN 3000MW thermal (satu kompleks biasanya ada 4-6 unit PLTN sekaligus). Penduduk di daerah calon tapak PLTN sana tidak akan peduli kalau BATAN membangun 1 atau 2 atau bahkan 6 reaktor sekaligus….selama itu adanya di Serpong, atau di Bangka, atau di Samarinda. Apa relevansinya pembangunan RDE di Serpong dengan “program untuk sikap terhadap PLTN” pada penduduk di Jawa Tengah?

Kalau publik Jepara/ Jateng mau diyakinkan dengan cara pandang BATAN yang lama (yang sebenarnya salah…), lebih baik dipergunakan RSG GA Siwabessy (RSG GAS) saja yang sudah ada di Serpong sebagai sarananya. Tidak perlu bangun reaktor baru Rp 2 trilyun khan? Sama-sama “petasan” berjarak 4km dari rumah kok.

Tapi RSG GAS khan tidak memproduksi uap bertekanan seperti PLTN pak Agung? Halaaaah, publik itu tidak paham dengan detil-detil teknis tersebut… Memangnya publik peduli dan mencatat bedanya petasan berbahan X dengan yang berbahan Y? Jangan-jangan semakin rinci BATAN menjelaskan PLTN, malah semakin takut publik sekitarnya hehehe...

Malah kalau BATAN ingin belajar ilmu persepsi dan perilaku manusia serta praktek nyata dalam merubah penolakan masal, mestinya BATAN membangun RDE (lengkap dengan uap bertekanannya) di sekitar rencana tapak PLTN, di Semenanjung Muria sana. Lha kok ini dibangun di Serpong? Kalau memang benar-benar mau melakukan tes mental dan menilai respon saya, taruh saja petasan besar itu di kamar sebelah..ya khan? Saya akan terima, atau Anda akan saya sambit..as simple as that!

Ada ide lebih jenius lagi sebetulnya. Karena katanya pembangunan PLTN ini terkait dengan political will, dan publik merindukan keteladanan maka bangun saja RDE di Monas. Dengan demikian Presiden dan pejabat lain bisa dengan gagah berani memberikan teladan pada publik Jepara/ Jateng bahwa “..kamipun telah sekian tahun hidup bersama reaktor nuklir, dan ternyata amaaaaaan”. Ini sosialisasi terbaik karena melalui keteladanan. Kongkrit.

 

Alasan pembangunan RDE No.4 : BATAN ingin memperkenalkan nuklir sebagai sumber energi masa depan.

Saya tidak paham maksudnya. Karena publik sudah tahu itu dari kemarin kemarin. Pembangunan RDE tidak menambahkan pengetahuan apa-apa bagi publik. Tanpa perlu menghabiskan 2 trilyun-pun, publik sudah tahu bahwa nuklir itu bisa menjadi sumber energi listrik masa depan. Sama pahamnya bahwa Chernobyl itu adalah contoh kecelakaan dari PLTN. Terus perubahan before and after treatment seharga 2 trilyun-nya dimana?  

Seperti Anda sekalian lihat diatas, terdapat kekacauan berpikir dan ketidak-konsistenan dalam penyusunan argumen pembangunan RDE di Serpong. Saya benar-benar ingin mengingatkan bahwa uang Rp 2 trilyun itu sangaaat banyak. Saya bukan hanya berkeberatan tapi MENOLAK kalau sebagian uang pajak saya dipergunakan untuk petualangan tidak jelas. Lebih baik uang tersebut dipergunakan untuk beasiswa ke perguruan tinggi bagi penduduk miskin di pelosok atau di perkotaan. Akses ke pendidikan tinggi akan bisa memotong lingkaran kemiskinan dan mendorong kesejahteraan. Itu lebih prioritas daripada membiayai petualangan RDE yang tidak jelas tujuannya.

NB :

-Persentase PLTN dihitung dari jumlah daya listrik yang dibangkitkan, bukan dari jumlah unitnya.

-Pembaca juga tidak perlu pusing dengan istilah PWR/BWR/PHWR/HTGR. Itu adalah tipe-tipe reaktor nuklir.  Anggap saja itu seperti mobil bermesin bensin, solar atau listriklah.

Untuk memudahkan, anggap saja itu seperti mobil bermesin bensin, solar atau listriklah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun