Mohon tunggu...
bangjul
bangjul Mohon Tunggu... Penulis - belajar, mendidik, dan melayani

kadang membaca..., sesekali menulis...,

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mana Yang Janggal Dengan Kontrak Politik Ahok-PDIP?

22 September 2016   03:01 Diperbarui: 25 September 2016   19:01 1103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada sedikit hal menggelitik dari tulisan kompasianer Harja Saputra (HS) ini. Memijak poin 10 kontrak politik  PDIP dengan bakal calon gubernur DKI yang mengusung, tertera salah satu ketentuan dalam kontrak politik, yakni: "Menegakkan hukum dengan menjunjung tinggi azas keadilan dan hak asasi manusia". Pada dasarnya, penulis mempertanyakan kedudukan (calon) Gubernur dengan menganalogi posisi (calon) Kapolri sebagai penegak hukum. Pada kesimpulannya tulisan itu menyatakan: 'sejak kapan gubernur sebagai bagian dari eksekutif, mengemban tugas penegakan hukum?'. Aneh katanya, karena "... penegakan hukum, setahu saya, merupakan wilayah tugas dari yudikatif".

Ada beberapa sanggahan sederhana dari beberapa komentar yang patut direnungkan sebenarnya. Sejumlah komentar menghubungkan Perda (hukum tertulis di tingkat provinsi/kabupaten) dan merelasikan dengan kedudukan Satpol PP sebagai delegataris Gubernur/Bupati adalah penegak (hukum) perda. Sanggahan baik.

Pernyataan penulis yang mengasumsikan fungsi penegakan hukum dalam wilayah tugas yudikatif kiranya berpijak pada asas pemisahan kekuasaan dan trias politika. Asas yang sebenarnya tidak berhubungan, dan bukan parameter untuk menilai fungsi penegakan hukum. Fungsi penegakan hukum tidak berhubungan dengan asas pemisahan kekuasaan dan teori trias politika, keduanya berangkat dari filosofi dasar agar kekuasan tidak tersentral pada satu kekuasaan.  

Bicara penegakan hukum bisa dimulai dari istilah 'hukum' sebagai obyek yang (harus) ditegakkan.  Apa itu 'hukum'? Banyak batasan yang bisa diperoleh. Tetapi secara umum dan sederhana hukum dapat didefinisi dari elemen substantifnya sebagai 'seperangkat aturan mengenai tingkah laku atau tindakan manusia, baik berupa perintah atau  larangan dalam kehidupan masyarakat'. Tujuannya jelas, ketertiban dalam pergaulan hidup bermasyarakat.

Seperangkat aturan bisa bersifat tertulis (mis: peraturan perundang-undangan) atau tidak tertulis (mis: adat dan konvensi). Dalam hidup bernegara, demi kepastian, prinsip hukum menghendaki agar hukum dipositifkan-- diberi bentuk tertulis  sebagai asas negara hukum yang utama  yakni: keabsahan bertindak pemerintah (wet en rechmatig van bestuur). Asas yang ada, melatarbelakangi terbentuknya peraturan perundang-undangan dengan hirarkhinya sebagai hukum tertulis. Mulai aturan hukum yang bersifat umum-abstrak (mis: UU, PP, atau Perda), sampai ketentuan hukum yang bersifat individual-konkrit (mis:  IMB, Izin Usaha dsb)  yang dibuat Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang diberi wewenang untuk itu. Semuanya adalah hukum (tertulis). 

Sementara, penegakan hukum secara umum diartikan sebagai 'pengejawantahan (penegakan) nilai-nilai ideal (das sollen) yang ditetapkan dalam aturan hukum, baik terhadap ketentuan yang umum-abstrak maupun individual-konkrit) dalam kehidupan nyata (das sein). Batasan yang menegaskan fungsi penegakan hukum bukan cuma wilayah lembaga yudikatif. Fungsi penegakan hukum melekat baik pada lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.

Saat DPR berusaha mewujudkan tertib sidang dalam acara pembahasan UU bersama Presiden, hakikinya mereka sedang menegakkan (mengejawantahkan) hukum  yang dimanatkan dalam UU MD3 atau tatib DPR dalam kenyataan. Sekalipun secara fungsional DPR mempunyai fungsi legislasi, tetapi apa yang diatur dalam UU MD3 dan Tatib sidang memang harus ditegakkan. Pengejawantahan Ini sama sekali tidak melibatkan polisi atau jaksa.

Sebaliknya, saat Gubernur/Bupati atau Satpol PP (sekalipun) menertibkan larangan (dalam Perda) bagi pedagang yang menjual minuman keras, mereka juga menegakkan hukum tertulis (Perda). Semua itu tidak ada bedanya dengan hakim yang berusaha mewujudkan nilai ideal dalam KUHP maupun KUHAP dalam sidang pengadilan. Maka tidak ada keraguan jika fungsi penegakan hukum sama sekali tidak berkait dengan asas pemisahan kekuasaan dan teori trias politika.  Fungsi penegakan hukum bisa melekat pada ketiga lembaga kekuasaan yang ada.

Mengutip 'UU MK, UU Pasar Modal, dan UU Advokat'  dan menyatakan gubernur sebagai eksekutif dan bukan penegak hukum karena fungsi ini adalah wilayah lembaga yudikatif, adalah pengingkaran penulis terhadap apa yang ditulisnya sendiri. Kita ambil salah satu yaitu UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang dikutip penulis. 

Pasal 101 ayat (6) UU Pasar Modal:

"Dalam rangka pelaksanaan kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal) dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain".  

Kata 'aparat penegak hukum lain' di atas sudah menyiratkan jika Bapepam mempunyai fungsi penegakan hukum, yakni fungsi penyidikan. Namun dalam kondisi tertentu Bapepam sebagai 'penegak hukum' juga dapat meminta bantuan 'penegak hukum lain'. Siapa mengatakan jika Bapepam berposisi sebagai bagian dari lembaga yudikatif yang memonopoli fungsi penegakan hukum? 

Penjelasannya Pasal 101 ayat (6) UU Pasar Modal lebih tegas lagi:

"Yang dimaksud dengan “aparat penegak hukum lain” dalam ayat ini antara lain aparat penegak hukum dari Kepolisian Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Imigrasi, Departemen Kehakiman, dan Kejaksaan Agung."

Dari semua lembaga yang disebut dalam penjelasan, tidak ada satu pun lembaga berposisi sebagai bagian dari kekuasaan yudikatif, baik Mahkamah Agung (MA) atau Mahkamah Konstitusi (MK). Kepolisian dan Kejaksaan Agung?  Silakan diperdebatkan. Tetapi, siapa meragukan posisi Ditjen Imigrasi yang berada di bawah Menteri Hukum dan HAM sebagai bukan bagian dari eksekutif?  Tidak ada bedanya dengan Gubernur yang juga berada di bawah eksekutif.

Penegak hukum yang dipersepsikan dalam artian catur wangsa (Polisi, Hakim, Jaksa, dan Advokat) adalah pemahaman awam yang memang hanya dikaitkan dengan 'criminal justice system". Pengertiannya tidak meliputi displin hukum privat (perdata) dan hukum publik (hukum administrasi). Yang perlu diingat adalah bahwa lembaga eksekutif juga punya penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), pejabat pengawas lingkungan hidup daerah (PPLHD) dan Satpol PP. Mereka semua diangkat dan dilantik oleh Gubernur/Bupati melalui kewenangan delegasi. Di Kementerian Keuangan ada penyidik pajak yang juga mempunyai fungsi penegakan hukum (menyelidiki dan menyidik) tindak pidana pajak, seperti halnya Polri dan Jaksa dalam tindak pidana umum dan khusus (korupsi dsb).

Tidak ada yang janggal dengan kontrak politik poin 10 bakal calon gubernur dengan PDIP. Gubernur memang mempunyai kewenangan besar dalam fungsi penegakan hukum. Baik terhadap peraturan umum-abstrak (Perda, Pergub), maupun keputusan yang individual-konkrit (IMB dan izin lainnya). Fungsi penegakan hukum itu dapat dilakukan dalam bentuk penyegelan, pembongkaran, penghentian mesin (baik sebagian atau seluruhnya), bahkan sampai mencabut izin. Kesemuanya adalah fungsi penegakan hukum (administrasi) yang memang harus ditegakkan sepenuhnya dengan menjunjung asas keadilan dan hak asasi manusia. 

Salam Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun