Mohon tunggu...
bangjul
bangjul Mohon Tunggu... Penulis - belajar, mendidik, dan melayani

kadang membaca..., sesekali menulis...,

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menyoal Diskresi Ala Gubernur DKI

21 Mei 2016   19:29 Diperbarui: 15 Juni 2016   23:46 2294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Persoalan diskresi bukan hal baru dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sejauh pemerintahan Indonesia berdiri, diskresi banyak dipraktekkan oleh banyak pejabat pemerintahan, bahkan pejabat paling rendah sekalipun.  Contoh yang paling banyak digunakan adalah diskresi dalam memutuskan atau tindakan untuk melakukan rekayasa lalu lintas dalam mengatasi kemacetan. Bahkan di Jakarta, diskresi semacam ini mungkin dilakukan setiap hari demi lancarnya lalu lintas.

Istilah diskresi  mulai banyak digunakan dalam beberapa hari terakhir berkait persoalan kontribusi tambahan pengembang reklamasi pantura Jakarta. Istilah ini marak karena tak lepas dari berlakunya UU Administrasi Pemerintahan (UU 30/2014 - UU AP) yang menjadikan kata diskresi sebagai kata baku hukum. Sekalipun demikian, padanan katanya sudah pernah digunakan beberapa tahun lalu, saat penyelamatan Bank Century dan dianggap merugikan keuangan negara. Keramaian saat itu sangat relevan, karena ada uang negara sebanyak 6,76 Trilyun yang diambil dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang digelontorkan. 

Saat itu di media massa banyak dipilih kata 'keputusan kebijakan', sebagai alasan bagi beberapa nama yang tersangkut untuk mempertanyakan kewenangan hakim pidana memeriksa dan mengadili kebijakan yang diambil.        

Mengapa diskresi?

Kebutuhan untuk memberi wewenang diskresi (keputusan kebijakan, discretionary power, vrij bevoegd)  kepada pejabat dalam penyelenggaraan pemerintahan tak lepas dari prinsip negara hukum yang dianut Indonesia (lihat Pasal 1 angka 3 UUD NRI 1945). Salah satu prinsip utama negara hukum menghendaki keabsahan perbuatan pemerintah untuk bertindak berdasar peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelumnya (wetmatigheid van bestuur), atau sering dikenal dengan asas legalitas. Asas yang menghendaki perlunya pemositifan hukum (pembentukan hukum tertulis) dalam pemerintahan.

Pada saat yang sama, negara Indonesia juga menganut diri sebagai negara kesejahteraan (welfare state, verzoorging staat). Formulasi alinea IV UUD NRI 1945 bahwa, "kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi... dan untuk memajukan kesejahteraan umum... dst" , mendesak pemerintah untuk lebih banyak campur tangan dalam usaha mengurus dan mewujudkan kesejahteraan warga negara. Tugas konstitusional. 

Realitasnya, kebutuhan untuk menciptakan peraturan perundang-undangan (hukum tertulis) sebagai landasan bertindak pemerintahan,  tidak pernah dan tidak akan pernah mampu mengatur semua urusan pemerintahan dalam usaha mensejahterakan warga negara sampai ke detil urusan konkrit, individual dalam situasi dinamika masyarakat yang begitu tinggi. Keramaian taksi berbasis online (GrabCar dan Uber Taxi) beberapa waktu lalu adalah contoh aktual betapa peraturan perundang-undangan begitu statis dan cepat tertinggal oleh dinamika masyarakat.  

Pada posisi seperti di atas mungkin terjadi beberapa kondisi:

1. Undang-undang materiil tidak (belum) mengatur persoalan konkrit yang terjadi di masyarakat;

2. Undang-undang materiil (sudah) mengaturnya, tetapi tidak jelas atau tidak rinci pengaturannya;

3. Undang-undang materiil (sudah) mengatur, tetapi hanya prinsip hukumnya saja, sedangkan pada kondisi konkrit diberikan opsi kepada pemerintah untuk mengambil keputusan sesuai kondisi riilnya. 

(Dalam hal ini kata 'dapat langsung' dalam Pasal 121 PP 40/2014 yang beberapa hari lalu ramai diperdebatkan dalam persoalan jual beli tanah RSSW di blog keroyokan ini, dapat menjadi contoh terang benderang sifat diskresi jenis ini).  Dalam konteks pasal itu, pemerintah mempunyai pilihan untuk membebaskan tanah (dibawah 5 Hektar) melalui prosedur ganti rugi, atau secara langsung  melalui jual beli atau tukar menukar. Silakan pilih, peraturan perundang-undangan memberi kebebasan (diskresi).

4. Karena tidak diatur, diatur tidak rinci atau tidak jelas, ada peluang stagnasi (pemerintahan) dalam pelayanan publik. 

Pemerintah tidak dapat melepaskan diri dari kewajiban konstitusional untuk mensejahterakan warga dengan alasan kondisi di atas. Tak seorang pejabat pun berhak menyatakan '... maaf saya tidak dapat melayani anda, karena peraturannya tidak ada, tidak rinci, atau tidak jelas. Pemerintah wajib melayani kepentingan publik sebagai kewajiban konstitusional dan menuntut untuk tetap mengambil keputusan atau tindakan. Keputusan atau tindakan semacam ini dalam administrasi pemerintahan mewujud dalam bentuk kebijakan (diskresi).  

Penilaian Penggunaan Kewenangan Diskresi

Di luar asas legalitas, satu elemen penting lain dari asas negara hukum (rechsstaat) adalah pemisahaan kekuasaan. Pembagian kekuasaan sebagai penuangan prinsip trias politika terbagi dalam fungsi membuat UU (legislatif),  mengadili (yudisiil), dan melaksanakan (eksekutif).  Kenyataannya, seperti dijelaskan, fungsi eksekutif tidak sepenuhnya hanya melaksanakan UU (materiil) saja.  Fakta bahwa banyak urusan publik yang tidak tercakup dalam UU materiil menjadikan banyak diskresi harus dilakukan. 

Jika demikian, apakah pengadilan (lembaga yudisiil) dapat menguji perbuatan diskresi?  Jawaban atas pertanyaan itu dapat dikembalikan kepada pertanyaan berikut:  jika aturan hukum sebagai dasar tindakan itu tidak ada, tidak jelas atau tidak rinci, apa yang menjadi dasar uji (toetsinggronden) dan parameter bagi hakim untuk menguji keabsahan keputusan/tindakan pemerintah itu? 

Prinsip dasar pembagian kekuasaan membatasi kewenangan pengadilan sebatas menguji penerapan hukum (rechtmatigheid)  yang dilakukan pemerintah.  Ini tidak berlaku jika pengujian (pembatalan) dilakukan oleh pejabat atasannya, terkait penilaian pencapaian tujuan kesejahteraan (doelmatigheid) dan masih dalam satu lingkup kekuasaan eksekutif. 

Namun demikian, hakim masih bisa melakukan penilaian penggunaan wewenang diskresi sebatas ada pelanggaran Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Beberapa elemen penting dari asas ini adalah asas kemanfaatan dan pemenuhan tujuan kepentingan umum dalam melaksanakan diskresi (lihat Pasal 10 ayat (1) huruf b dan g UU AP). Lebih dari itu, penggunaan diskresi harus dilakukan berdasarkan alasan obyektif dan harus dilakukan dengan itikad baik (lihat Pasal 24 huruf d dan f UU AP).

Tentang itikad baik dalam optik persoalan reklamasi  pantura Jakarta, adalah sama dengan sinyalemen yang dinyatakan KPK sebagai 'niat jahat',  atau penyalahgunaan wewenang dalam hukum administrasi pemerintahan. Sifat dasarnya adalah penggunaan wewenang untuk tujuan lain dari diberikannya wewenang itu.  

Dalam banyak kasus, niat jahat sulit dilakukan pengukuran. Elemen niat jahat berelasi kuat dengan apa yang dipikirkan si pelaku. Sesuatu yang sangat sulit dibuktikan, kecuali ada tindakan nyata yang diwujudkan dalam perbuatan materiil pelaku.  Dalam hal ini, penerimaan uang oleh M Sanusi sebagai 'uang beli' penghilangan atau pengurangan pasal kontribusi tambahan 15% dalam raperda zonasi pulau yang dibahas, menjadi bukti nyata 'niat jahat' atau tidak adanya 'itikad baik' dalam penggunaan diskresi.

Jangan sekali2 terjebak pada pemikiran 'the man in the street' jika kebijakan (diskresi)  tanpa payung hukum adalah perbuatan melanggar hukum (wederrechtelijke). Perbuatan melanggar hukum harus diartikan sebagai perbuatan melanggar peraturan perundang-undangan.  Mahkamah Kostitusi dalam putusannya jelas menggariskan sifat melanggar hukum dalam tindak pidana harus dimaknakan sebagai pelanggaran hukum formal (hukum tertulis), tidak diartikan sebagai melanggar hukum materiil (pelanggaran etis kesusilaan dan kesopanan). Penafsiran semacam ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan pelanggaran asas legalitas.  

Yurisprodensi hukum pidana menuntuf sifat melanggar hukum sebagai unsur mutlak yang harus ada dalam suatu tindak pidana,  termasuk dalam tindak pidana korupsi.  

selama wiken

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun