Mohon tunggu...
bangjul
bangjul Mohon Tunggu... Penulis - belajar, mendidik, dan melayani

kadang membaca..., sesekali menulis...,

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Audit Sumber Waras: Menguji Pemahaman Hukum BPK

23 April 2016   01:37 Diperbarui: 28 Juni 2016   02:42 2862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Apakah para auditor pernah mendengar istilah asas kepercayaan? atau asas kepastian hukum? Landasan universal penyelenggaraan pemerintahan?

Asas kepercayaan, mengajarkan agar rencana, informasi atau keterangan negara (pemerintah) harus dapat dipercaya oleh rakyatnya. Maka informasi dan segala keterangan yang dikeluarkan negara dalam alamat persil (Jl. Kyai Tapa) dalam sertifikat yang dikeluarkan BPN harus dapat dipercaya, serta wajib menjadi patokan negara dalam bertransaksi dan berhubungan dengan rakyatnya (YKSW sebagai penjual).

Apakah para auditor memahami prinsip hukum kenegaraan dan hukum administrasi tentang batas wewenang masing2 organ pemerintah?   Sehingga berani menganulir alamat persil yang sudah ditetapkan BPN sebagai organ sah atas tanah RSSW yang beralamat di Jl. Kyai Tapa? Apa dasar kewenangan BPK dalam sektor pertanahan?

Apa pula kewenangan BPK dalam menilai penetapan 'lokasi tanah' sebagai dasar penetapan pajak yang telah ditetapkan Dinas Pelayanan Pajak DKI sebagai kewenangan otonomi? Sehingga mereka harus menetapkan NJOP berdasarkan letak lokasi? 

Asas kepastian hukum mengajarkan pula agar negara tidak berubah-ubah dalam mengambil keputusan atas obyek hukum yang sama. Maka, saat negara memungut pajak atas obyek yang ditetapkan berdasar NJOP Jl. Kyai Tapa, saat mereka membutuhkan dan harus membeli dari rakyatnya... negara wajib tunduk pada nilai yang telah dibuatnya sendiri... berdasarkan NJOP Jl. Kyai Tapa.

Optik negara hukum menempatkan kedudukan negara tidak ada bedanya dengan rakyat (equality before the law). Apalagi dalam transaksi keperdataan. 

Dalam hukum kenegaraan, BPK tidak ada bedanya dengan Pemda DKI... mereka sama... bergerak dalam satu tubuh, representasi negara.  Masing2 hanya menjadi bagian dari organ (negara) dengan fungsi berbeda. BPK menjadi mata dengan fungsi mengawasi, dan Pemda DKI layaknya tangan yang berfungsi sebagai eksekutor. Tetapi, mereka harus bergerak dari satu pikiran dan kepala yang sama, entitas negara.

Bayangkan jika mereka bertindak dan berpikir dengan cara berbeda. Menilai satu obyek pajak dengan cara yang tidak sama. Maka, alur pikir BPK dalam kasus RSSW,  negara (Pemda DKI) juga harus mengembalikan selisih pajak yang selama hampir 45 tahun, sejak saat pertama dilakukan pemecahan sertifikat telah dipungut berdasar NJOP Jl. Kyai Tapa? Karena 'obyek pajak' seharusnya dipungut berdasar NJOP Jl. Tomang sesuai asumsi BPK.

Jika begitu, bagaimana pula jika YKSW juga meminta ganti rugi dan bunga atas selisih lebih NJOP Jl. Kyai Tapa dikurangi NJOP Jl. Tomang yang hampir 45 tahun sudah dipungut? Hitung selisihnya.... alih2 bisa menyelamatkan Rp. 191 Miliar, triliunan potensi kehilangan negara.  

Jika benar keplesetnya bang haji yang bilang '... tidak ada hasil audit BPK yang tidak bohong.  Pusinglah rakyat memikirkan negara yang harus mengurusi mereka dengan standar yang sama.... ternyata labil dan alay dalam mengambil keputusan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun