Priyono No. 154
***
Doaku hari ini: Ya Allah berikanlah emak kesehatan dan kebahagiaan selalu...
Mak,
Sebenarnya aku menulis coretan ini adalah karena aku terlalu malu untuk mengatakannya kepada emak. Malu karena aku sampai saat ini masih belum bisa menjadi anak seperti yang emak harapkan. Belum bisa memberikan sesuatu yang berarti kepada emak. Malu karena sampai saat ini aku masih tidak mampu untuk sekedar mengucapkan rasa terima kasihku kepada emak, juga permintaan maaf atas semua kesalahan-kesalahanku yang telah menyakiti hati emak.
Setiap kali aku ingin mengucap, entah kenapa bibir ini malah terkatup. Sombongnya aku, mak. Atau mungkin aku masih merasa hal itu gak terlalu penting. Selalu aku beralasan, “Ah, paling juga emak sudah gak marah”, atau aku merasa emak sudah otomatis memaafkan semua kesalahan-kesalahanku dulu. Dan karena itulah bahkan sampai sekarang tak pernah aku meminta maaf dari emak.
Duh, gusti… Hati ini terlalu keras untuk meminta maaf. Padahal banyak hal-hal yang melukai hati emak.
Pernah, ketika aku hari libur di asrama, aku begitu malas untuk pulang. Namun karena emak memintaku pulang, jadilah aku pulang hari itu.
Aku memilih berangkat agak siang, agar nanti di rumah tidak terlalu lama. Sebab sore aku harus kembali ke asrama.
Aku ingat emak memasakkan bumbu bali kesukaanku. Namun sampai sore hari tak kusentuh sama sekali masakan itu. Aku tahu emak mengkhawatirkanku sebab sejak datang tadi belum makan sama sekali. Tapi aku tak peduli. Aku malas pulang, aku malas makan.
Terus menerus emak membujukku agar mau makan meski sedikit. Mungkin emak takut aku nanti sakit. Aku bergeming.
Sampai kemudian aku memutuskan untuk kembali ke asrama saja. Emak bermaksud membungkuskanku masakannya. Aku malah membentak…
Ya, Allah… apa yang ada dipikiranku waktu itu. Sejak pagi emak membuat masakan kesukaanku itu. Demi menyambut aku, putra satu-satunya waktu itu. Jangankan menyentuhnya barang sedikit, pembuatnyapun malah aku hardik.
Dalam perjalanan kembali ke asrama, aku merenungi semua itu. Tapi toh semua sudah terlambat. Makanan itu tak pernah aku makan. Luka di hati emakpun sudah kugoreskan. Dan kata maaf, belum pernah terucapkan.
Aku malu, mak. Malu untuk meminta maaf.
***
Kalau ada yang bilang bahwa sungguh bodoh orang-orang yang masih memiliki orangtua namun tidak berbakti kepada mereka, barangkali aku termasuk salah satu di antara mereka.
Seringkali ada rasa sombong dalam hatiku. Aku merasa lebih tinggi dari emak, karena aku lebih paham teknologi terkini daripada emak.
Padahal, dulu ketika aku masih belum mengenal apa itu a, b, c, dan d, emak-lah yang lebih dahulu memperkenalkannya kepadaku. Lalu akupun mulai belajar membaca.
Emak juga mengajariku nama-nama benda, lalu dengan itu aku menjadi mengerti. Dan mulailah bermacam-macam permintaanku. Dan emak selalu dengan sabar menanggapiku.
Emak jugalah yang mentatihku berjalan. Kata emak, agar kelak aku bisa berdiri di atas kakiku sendiri.
Lalu sekarang aku menjadi pribadi yang begitu angkuh terhadap emak! Aku merasa emak semakin membosankan. Emak begitu memalukan untuk diperkenalkan kepada teman-teman. Dan aku merasa enggan bila emak meminta tolong kepadaku untuk mengantar ke suatu tempat. Aku malas jika emak hendak bertamu ke rumahku, pikirku hal itu akan merepotkanku. Aku juga merasa risih kalau harus berdekatan dengan emak atau mempersiapkan apa keperluan emak.
Duh Tuhan…
Lunakkanlah hati ini. Lancarkanlah lidah ini untuk meminta maaf kepadamu, Mak.
Mak, aku minta maaf.
.
.
Surabaya, 23 Desember 2013
________________________
Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul : Inilah Hasil Karya Peserta Event Hari Ibu.
Silahkan bergabung juga di FB Fiksiana Community.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H