Mohon tunggu...
albertus prestianta
albertus prestianta Mohon Tunggu... Dosen -

Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Multimedia Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Indonesia Butuh Manajemen Penanggulangan Terorisme

17 Januari 2016   21:30 Diperbarui: 20 Januari 2016   13:57 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini terbit di Harian KONTAN, Rabu, 20 Januari 2016

Peristiwa ledakan bom di kawasan Sarinah, Jakarta, menyedot perhatian publik dalam dan luar negeri dalam sekejap. Hiruk pikuk terkait aksi teror terjadi di dunia nyata juga di dunia maya. Berbagai media sosial ramai membahas tragedi tersebut.

Tidak butuh waktu lama hingga foto korban, video baku tembak dan ledakan bom tersebar secara viral lewat lini massa. Media massa arus utama secara sigap melaporkan kejadian. Sekali lagi, media sosial mengambil peran penting dalam mengkomunikasikan sebuah peristiwa.

Viralnya informasi kejadian teror di Jakarta kembali mencuri perhatian dunia. Indonesia menjadi trending topic lewat hashtag #PrayForJakarta dan #KamiTidakTakut. Meme juga tersebar secara cepat dalam jaringan media sosial. Mulai dari meme yang menunjukan rasa empati hingga meme yang satir.

Tapi bukan itu yang jadi perhatian saya kali ini, hal menarik yang bisa kita cermati adalah tidak adanya manajemen penanggulangan kala menghadapi kondisi darurat seperti terorisme.

Fenomena meme satir tentang penjual kopi, buah dan sate yang masih tetap jualan pasca ledakan menggambarkan sisi lain masyarakat. Bukan takut, bukan juga berani melainkan ketidaktahuan. Masyarakat tidak tahu akan bahaya yang mengancam, masyarakat tidak tahu harus berbuat apa, masyarakat kurang informasi bagaimana harus menyikapi kondisi darurat semacam itu.  

Hal itu membuka celah yang menganga lebar menunggu untuk dibenahi. Ada ruang kosong yang perlu diisi. Masyarakat butuh panduan bersikap atau semacam prosedur yang aman dalam menghadapi kondisi darurat. Perlu ada informasi yang komprehensif berkaitan dengan cara menyikapi dan menanggulangi ancaman atau kejadian terorisme. Seperti halnya ketika di dalam pesawat, pramugari atau pramugara menyampaikan prosedur evakuasi dalam keadaan darurat.

Kejadian di Sarinah Kamis lalu (14/01) menunjukan bahwa kita tidak punya manajemen penanggulangan teroris, kita tidak memiliki prosedur yang memandu masyarakat ketika terjadi ledakan atau aksis teror.

Kerumunan orang dekat pos polisi pasca ledakan menunjukan bahwa tidak ada kesadaran masyarakat akan pentingnya keselamatan diri. Realitanya adalah masyarakat mendekat ke tempat kejadian ledakan. Hal ini serius. Kesadaran masyarakat masih rendah, ancaman atau kejadian buruk lain masih bisa terjadi sewaktu-waktu. Terbukti, pelaku teror berdiri bebas disekitar kerumunan dan menghabisi nyawa seseorang, baru setelah itu kerumunan pun bubar.

Indonesia perlu manajemen penanggulangan kondisi darurat terorisme. Belajar dari Amerika Serikat, mereka punya semacam pedoman khusus yang dibuat oleh Federal Emergency Management Agency (FEMA) yang bisa digunakan masyarakat dalam menyikapi terorisme. Misalnya saja terjadi aksi teror atau ledakan bom, buku panduan tersebut menjelaskan secara rinci tentang langkah-langkah yang harus dilakukan apabila hal itu terjadi disekitar.

Indonesia memang punya lembaga penanggulangan terorisme mirip dengan FEMA. Lembaga tersebut didirikan melalui Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Sebagai lembaga yang memiliki tugas pokok menanggulangi terorisme seharusnya BNPT juga memperhatikan masyarakat, khususnya pedoman bagi masyarakat apabila ada aksi teror di sekitar mereka.

BNPT perlu lebih dekat dengan masyarakat untuk bersama-sama mengatasi masalah terorisme. Selain itu juga membuat prosedur standar dalam menyikapi terorisme. Ketidakhadiran pemerintah dalam ruang kosong ini tentu memberi dampak buruk bagi keselamatan warganya. Untuk itu pemerintah perlu segera mengisi kekosongan itu.

Peran media sosial

Hal lain yang tentu tidak kalah penting adalah komunikasi terkait terorisme. Ketidakhadiran negara dalam hal komunikasi dengan rakyatnya tentu berbahaya bagi keutuhan bangsa dan negara. Komunikasi antara pemerintah dan rakyat haruslah berkesinambungan dan berjalan baik.

Teknologi komunikasi berkembang sangat cepat dan semakin canggih. Batasan ruang dan waktu pun kini sudah terlampaui. Sosial media seperti Youtube, Facebook, Twitter dan lainnya memang tidak dirancang sebagai alat komunikasi kala terjadi kondisi darurat. Namun, sosial media bisa digunakan sebagai medium penyampaian pesan yang cepat.

Komunikasi yang akurat dan efektif dalam kondisi genting seperti kejadian di Sarinah sangat penting. Tujuannya tak lain adalah untuk menghindari jatuhnya korban jiwa. Media sosial hadir sebagai alat yang bisa digunakan untuk mereduksi batasan dalam komunikasi serta mendorong partisipasi aktif yang postif dan menyeluruh secara teratur dan efektif. Negara harus hadir untuk menjaga stabilitas keamanan dan menghindari kepanikan.

Media sosial kini memang sedang jadi primadona bagi masyarakat modern. Segala pihak bisa menggunakannya untuk hal yang konstruktif. FEMA memanfaatkan media sosial sebagai medium komunikasi penghubung dua arah antara lembaga manajemen darurat dengan masyarakat. Keberadaan FEMA di Amerika Serikat membantu pemerintah pusat, daerah dan masyarakat untuk saling bertukar informasi dalam rangka menanggapi situasi bencana, teror atau krisis secara cepat dan tepat sasaran.

Melalui media sosial, lembaga manajemen darurat bisa menyebarkan informasi penting langsung ke individu atau masyarakat luas, sementara disaat yang bersamaan menerima informasi terkait perkembangan peristiwa secara langsung (real-time) dari saksi mata di tempat kejadian. Di sini, media sosial mengambil peranannya sebagai jembatan berkomunikasi dua arah yang efektif.

Pemerintah sebagai komunikator harus selalu menyesuaikan diri dengan perubahan pola komunikasi. Tidak bisa selamanya masyarakat harus mengikuti gaya komunikasi pemerintah, melainkan pemerintah yang harus mengikuti gaya komunikasi rakyatnya, yang terus berubah dinamis seiring berjalannya waktu.

Melihat ancaman terorisme bisa terjadi dimana saja dan kapan saja, sudah saatnya Indonesia memiliki prosedur standar untuk menghadapi ancaman teror. Negara harus hadir membina rakyatnya. Masyarakat harus diedukasi akan bahaya terorisme dan media sosial bisa digunakan sebagai medium penyampaian pesan yang efektif, akurat dan cepat.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun