Mohon tunggu...
Presley Hariandja
Presley Hariandja Mohon Tunggu... lainnya -

Mengamati masalah-masalah sosial.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Negri Awang Bulan Putih dan Tahu Tempe yang Hilang

3 Agustus 2012   15:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:17 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Senja makin menua. Perbincangan guru dan para murid masih berlanjut. Sementara di luar, rintik hujan memenuhi takdirnya.

"Guru, apakah padepokan kita ini tidak mampu mendidik satria-satria maha sakti bijaksana menjadi pahlawan penyelamat memimpin negri?"
Hati Lurus, murid yang duduk di ujung sebelah kanan melontarkan pertanyaan.

Sebelum bergabung di Pondok Pandir, Hati Lurus yang bernama asli Raja Super Culas tadinya adalah penipu ulung. Awalnya bertemu dengan Manusia Terang Hati ketika Ia, mengalami praktek penipuan oleh seorang anggota parlemen Republik Awang Bulan Putih. Janji untuk mengeluarkan izin tambang mineral langka tak kunjung terwujud hingga, seluruh harta benda Raja Super Culas terkuras habis dalam permainan tingkat tinggi. Dalam keadaan terlunta-lunta, sekepal nasib baik lah yang mempertemukannya dengan Manusia Terang Hati. Ini merupakan tahun akhir, Ia duduk di jurusan ilmu Hati Sakit, karena pada tahun berikut Hati Lurus harus mengamalkan ilmu yang didapat dari pertapaan Pondok Pandir ke tengah masyarakat.

Mendengar pertanyaan Hati Lurus, Manusia Terang Hati tercekat. Sekelebat pikirannya berkelana, namun siluet pikiran tak logis itu kemudian ditepis. 'Aku tidak ingin menjadi tuhan, juga tak mau jadi setan' Ia mawas diri, tentang hakiki sejatinya sebagai manusia. Tangannya mengibas di udara, menghalau larikan cumbuan siluet panjang.

"Nak, padepokan ini tak akan pernah melakukan pengkaderan politik untuk partai mana pun. Dan terlalu naif, jika rakyat Republik Awang Bulan Putih mengharapkan datangnya super hero, penyelamat yang akan membuat mukjizat perubahan dalam waktu singkat. Pilihan paling bijaksana untuk memurnikan kembali negri Awang Bulan Putih pada fitrahnya, ya kita harus kembali kepada motor negri, yakni pendidikan setiap pribadi dan membesarkannya dalam keluarga-keluarga yang bertanggungjawab. Nah, hal ini harus diupayakan secara bersama-sama."
Tangan manusi Terang Hati meraih segelas air putih. Meminum sesta menikmatinya. Ia seolah-olah mendengar dengan takjub tentang cerita perjalanan air putih itu menemukan arah jalannya sendiri.

"Keadaan seperti saat ini sungguh mencemaskan. Mungkin kah nilai-nilai adi luhung telah tertidur atau sengaja ditidurkan dalam benak para penguasa Republik Awang Bulan Putih, Guru?"
Hati Tegar bertanya lagi mencari penjelasan.

Bibir Manusia Terang Hati mengulas senyum.

"Perbaikan keadaan Republik Awang Bulan Putih hanya dapat dilakukan oleh keluarga-keluarga yang mengenali kembali nilai-nilai tanggungjawab, keadilan, kemurahan hati, pengampunan, kerendahan hati, kejujuran dan menghargai sesama. Memang hal ini akan terasa seperti paradoks berjalan dalam hidup bermasyarakat. Pada satu permukaan orang banyak ramai-ramai memasuki dunia kekuasaan-politik, dan pada sisi lain sikap kritis harus dikedepankan sebagai radar sosial meninjau kembali bagaimana nilai-nilai kehidupan ditanamkan pada tiap-tiap pribadi. Melihat amburadulnya kondisi keseluruhan negri Awang Bulan Putih sekarang, pada prinsipnya adalah melihat dalam skala besar pola hidup keluarga besar kita sendiri. Sudah saatnya kita mengenali kembali fungsi dan peran keluarga kita masing-masing karena, dalam keluarga lah kita mengenali kemanusian kita yang seutuhnya."
Manusia Terang Hati menjelaskan kembali dengan sabar.

"Guru, tahu dan tempe adalah makanan orang kebanyakan di negri ini, makanan yang dianggap rendahan sehingga kurang diperhatikan. Dan, sekarang makanan itu hilang Guru. Apakah esok hari kebutuhan lain seperti; beras, singkong, ikan asin akan hilang juga dari negri ini, Guru?"
Hati Tegar bertanya penuh rasa ingin tau.

Manusia Terang Hati berusaha tersenyum, akan tetapi yang tampak di wajah kelunya hanya sunggingan kegetiran.

"Nak, cukuplah yang kita bicarakan senja ini. Namun, ada baiknya kita lebih teliti memperhatikan tanda-tanda peringatan cosmic di negri ini."
Akhirnya Manusia Terang Hati menutup bincang-bincang mereka.

Seberkas sinar pengharapan bersemaxam di hati mereka. Ya, pengharapan ke arah yang lebih baik, senantiasa mereka tumbuhkan dalam kesederhanaan jiwa.

Senja di langit masih bersahaja. Para penghuni Pondok Pandir mengikuti putaran hari, bergumul dalam kemilau mutiara kesederhanaan.

Negri Awang Bulan Putih, 03082012.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun