Penulis. Alqa'qa Mishary & President Laef( Ticklas Babua-Hodja)
Hai Don apa kabar? Semoga engkau benar-benar di penjara.
"Jika aku tak bisa menarikan iramanya, maka itu bukan revolusi ku". Emma Goldman.
Menari lah sesuai akal dan pikiran mu, sesajen mantera bahkan racun galafea akan mencekik para penguasa yang sedang minum kopi di warung kopi.
Ingatlah wejangan para tetua Don, merunduk lah dengan mata air ksatria mu. Tebas lah dengan mustajab mantera dari dalam jiwa mu. Matilah, dan pergilah!
Terdengar lancang dan sedikit kurang ajar bukan? Memang iya, kamu memang pantas didoakan seperti itu, sebab kamu terlalu lemah nan kaku, saat berhadapan dengan pejabat seperti si Sekda itu. Padahal, ukuran aktivis jalanan sepertimu Don, kritikmu pada tubuh politik Sahril si-Sekda itu, seharusnya lebih pedas, tajam dan sangar.
Bahkan Don, jika kritik harus berakhir di penjara, maka kritik mesti disertai tinju. Seperti Fadli di Morotai yang dilerai saat ingin meninju wajah Abjan Sofyan, Kaban Bappeda. Terdengar biasa dan sangat biasa, kalau berdebat dengan pejabat yang salah namun tak mau kalah, maka puncaknya harus terselip adegan tinju-tinjuan, banting-banting meja, terlebih sumpah-sumpah serapah.
Membaca kronologis peristiwa hukum yang menjeratmu, rasa-rasanya ingin muaraaah. Marah karena kenapa kamu tidak melempar saja botol air mineral ke wajah si-Sekda. Kalau menurutmu Don, si-Sekda telah mengkhianati leluhurmu, maka sumpah demi apa saja Don, lempar Don, lempar. Karena tanpa melempar saja, kamu terancam di penjara, apalagi melempar? Penjara bin penjara kamu Don.
Don, darah muda itu biasa. Biasa emosionalnya, biasa arogannya, juga biasa angkuhnya. Kamu kan punya modal nyali yang besar dan kokoh. Kamu hanya perlu memupuk basis ideologik yang jelas. Tak boleh hanya mengekor suara mayoritas, itu bukan sentral kebenaran. Kamu mau jadi seorang Altruis? Jangan Don, iklim di negeri ini, tak terlalu bersahabat dengan etika Altruis. Siksa sendiri kamu nantinya Don.
Don, kamu harus benar-benar jadi Don Joao. Seorang lelaki Halmahera yang teguh memegang keyakinan akan kebenaran, sekalipun sebilah pedang telah diletakkan pada urat lehernya. Don, nama kerenmu itu, punya nilai historis yang membentang di seantero Halmahera ini. Sebab, hanya karena nama itu saja, seorang Kolano asal Jailolo sampai rela menerjang badai hingga tiba di Mamuya, Galela.
Don, sampai disini, saya tak bermaksud menghinamu. Saya hanya menyesali sikapmu. Jika si-Sekda bisa melapormu pada yang berwajib, maka kamu mestinya dapat melaporkan dirinya juga pada pemegang mandat, masyarakat Halmahera Barat. Sebagaimana leluhurmu Banau, tanpa otoritas tradisional sekalipun dapat mengorganisir kekuatan untuk melawan penguasa.
Don, jangan berlaku cengeng. Jalan yang kamu pilih, tak banyak dilalui orang. Tegaklah Don, seperti gunung-gunung di Halmahera ini tegak, sampai nanti, mati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H