/1/. Menanggung Luka dan Stigma.
"Perjalananku bukanlah perjalananmu, dan perjalananmu bukan bagian dari perjalananku. Namun, luka pada satu perempuan, adalah luka yang harus dirasakan oleh setiap laki-laki dan masyarakat". Kalimat pembuka tentang luka merupakan tamparan keras terhadap orang-orang atau laki-laki yang sering melayangkan kalimat negatif terhadap sosok perempuan dan si buah hati tanpa ayah. Pengetahuan kerdil tentang gender hanya akan menambah stigma negatif dan sangat membebani perempuan yang sedang berjuang itu. Terkadang, paras cantik hanya dijadikan sebagai objek untuk memenuhi hasrat cabulnya. Disinilah letak perkaranya.
Cantik. Kalimat penyihir ini sangatlah menggoda di mata laki-laki cabul dalam mengutarakan hasrat seksualnya. Tak jarang, ketika setelah segala urusan tubuhnya selesai, maka itu di anggap hal yang biasa-biasa saja. Bahkan dibangga-banggakan soal puncak yang berhasil ditaklukkan nya. Seringkali, secara tak sadar laki-laki melahirkan suatu percakapan yang secara langsung memposisikan perempuan pada stigma negatif. Setelah di eksploitasi tubuh perempuan, para patriarkis mencoba menggiring opini seakan-akan perempuanlah yang tidak mampu dalam menjaga hak kesuciannya. Bahkan setelah perempuan meninggal pun, perempuan masih saja tetap menanggung beban stigmanya.
Diluar sana, perempuan hebat yang sedang melawan stigmatisasi dan eksploitasi, digusur habis pemikirannya lewat doktrinasi liar dari tahun ke tahun bahkan sepanjang waktu terhadap sesama yang menganut pemahaman patriarki. Stereotipe terhadap tubuh perempuan menjadi kaca mata masyarakat patriarki secara umum untuk menjadikan tubuh perempuan sebagai tempat pembuangan sampah dan lumbung anak sebanyak-banyaknya. Kamuflase rumit ini semakin gaduh dengan adanya pemahaman ibuisme ini.
Penetrasi konsepsi seks menjadi hal yang tabuh di atas tubuh perempuan. Perkataan-perkataan liar semakin melekat dan bahkan menjadi mimpi buruk dalam kehidupan sosial sebagai seorang perempuan. Wacana yang dibangun oleh kaum-kaum patriarki selalu menerbitkan beliung yang secara perlahan menusuk sukma para perempuan. Konsekuensi yang ditanggung perempuan merupakan distorsi dari kemunafikan kebanyakan orang yang mengadopsi pemahaman patriarki.Â
"Semakin banyak perempuan cantik, maka semakin banyak pula eksploitasi atas tubuh yang berujung stigma". Biasanya peristiwa ini berawal dari rekayasa romantika dialektika yang konon katanya adalah proses dalam mengutarakan pemikiran dan perasaan.Â
Bisa dikatakan, kebohongan atas kebohongan. Beban moral yang ditanggung perempuan dapat menimbulkan pesimis dalam menjalani kehidupan dan karirnya. Bahkan tak jarang kita temui, para perempuan hebat memilih jalan kematian untuk mengakhiri stigma yang diterima nya.
/2/. Menjadikan Perempuan Sebagai Ajang Gaya-gayaan atas Perilakau Cabul Para Laki-laki.
Perjalanan eksekutif para penjelajah tubuh perempuan dalam urusan menambah bahan pembicaraan dalam kelompok-kelompok diskusi liar semakin menambah motivasi untuk tetap menjadi penjajah tubuh atau menjadi seorang pedofil. Pengalaman jahanam yang diutarakan dalam perdiskusian untuk menambah korban seks sengaja dijadikan hal yang lumrah untuk dibicarakan.Â
Bahkan bahasa yang sering mendominasi pembicaraan adalah, "sudah berapa perawan yang telah dicicipi". Kesalahan pertama adalah pemahaman perawan, sementara perawan dalam kajian seksualitas dan gender hanyalah mitos belaka. Kesalahan kedua ialah, ketika pelaku menjadikan pernyataan ini sebagai acuan bahwa pelaku telah berhasil membuktikan bahwa dia tuntas sebagai laki-laki sejati.Â
Semakin banyak korban seks, semakin dibanggakan anggapan para investor intim ini. Sejauh langkah kaki berjalan, semakin banyak juga korban atas perbuatan bejatnya ketika paham-paham patriarki dan karakter pedofil tidak segara dimusnahkan.Â
Pengaturan dasar pikiran seksual ini hanya mengantarkan emisi pada kebanyakan pelaku dan semakin memotivasi untuk tetap melakukan kegiatan bejatnya. Fenomena ini semakin mengerucut pada korban perkosaan yang kedepannya menanggung stigma negatifnya.
Dalam kondisi tertentu, Korban kehilangan hak untuk membuktikan bahwa dirinya adalah korban, dan tidak boleh di perbersalahkan. Jika dipaksakan agar pelaku mengakui dan bertanggung jawab atas perbuatannya lewat perkawinan dengan pelaku, justru menjadikan korban tersandera, dan berada dalam posisi yang semakin tersubordinat dan tidak berdaya di hadapan suami atau keluarga.Â
Situasi ini menunjukkan bahwa satu bentuk kekerasan seksual berpotensi menimbulkan bentuk kekerasan lainnya yaitu pemaksaan perkawinan (forced marriage). Namun, pemaksaan perkawinan sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan tidak terbatas pada perkawinan korban dengan pelaku pemerkosaan, namun memiliki berbagai tipe.Â
Adapun kebanggaan tersendiri ketika pelaku melakukan pernikahan lebih dari satu perempuan yang dimana ritme untuk dimainkan untuk menjadikan sebagai ajang pertunjukan nafsu bejatnya.
/3/. Buah Hati dan Turunan Stigma
Kelahiran sosok buah hati adalah impian dari setiap ibu ketika menjalankan suatu perkawinan. Namun, apa jadinya ketika kelahiran sosok buah hati tanpa ayah nya.? Apakah dia akan tumbuh sebagi sosok yang jauh dari stigma negatif.? Ataukah dia tetap menjalani kebohongan hidupnya karena terlampaui masa-masa stigma dan stigmatisasi lingkungannya.?Â
Jelas kelahiran anak ini pun akan menanggung beban stigma dari ibunya. Paradigma masyarakat terkait moral ibunya akan mengalir pada kehidupan anaknya.Â
Seiring berjalannya waktu, perjuangan melawan penilaian buruk terhadap perempuan semakin dipersulit ketika lahir sosok anaknya. Beban moral yang dipertanggungjawabkan semakin menjadi toksin yang dengan keterpaksaan harus siap menelan itu.
Bukan tidak mungkin masa depan anak menjadi terhambat karena penilaian buruk masyarakat terhadap ia dan ibunya. Bisa dikatakan "angka kemiskinan dan anak putus sekolah dimulai dari stigmatisasi terhadap perempuan".Â
Perempuan adalah revolusi. Perubahan dan perkembangan merupakan sebuah perjalanan panjang yang lahir dari seorang perempuan. Sejatinya perempuan adalah ibu sekaligus ayah yang banyak melahirkan perubahan dan kemajuan.
Angka kemiskinan dan kerusakan moral yang semakin bertambah didalam negara bermula pada stigmatisasi terhadap perempuan. Gambaran budaya stereotipe ini semestinya diputus mata rantainya lewat pendekatan pendidikan tentang seksualitas, gender, dan feminisme. Penguatan ini harus dimulai sejak dari pangkal berpikir, paradigma, dan penerapannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H