Aku...
Seperti menyekam lara di atas bara, Mengobar, membara berapi-api, meradang perih menjadi yang kedua, bahkan ketika tak ada pemeran utamanya.
Aku...
Terlalu terpaku dalam kisah yang tak pernah punya tempat. Terjerat dalam ego yg tak pernah punya untaian kalimat.
Ketiadaan adalah aku, ketika ketidakmampuan menjadi caraku menyampaikan perasaan.
Ekspresi artifisial bukan representasi. Emosi tak dapat terwakili hanya melalui simbol-simbol yang dilahirkan oleh kedua ibu jari.
Mungkin saja tulisan ini merupakan naifnya inginku. Maka dari itu, terasakah bait-bait kepalsuan yang menjalar?
Jika memang ya, hipokrisi adalah aku. Kau dan aku hanyalah metafora.
Aku...
Izinkan aku menitip setangkai kata dalam untaian klausa. Menyusun warna pada tiap kelopak frasa, agar indahnya kalimat nikmat terbaca. Mengikat warna pada setiap larik bahasa dalam sebuah rangkaian indah.
Adakah maksudku terkira?