Para buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Partai Buruh melakukan demonstrasi di kawasan Patung Kuda, Jakarta. Mereka  menuntut kenaikan upah minimum tahun 2024 sebesar 15%. Bila tidak, mereka mengancam akan melakukan mogok kerja. Demonstrasi ini adalah serangkaian demo buruh yang direncanakan sejak September lalu dan akan berakhir samapi Januari 2024 mendatang.
Demo buruh telah  dilakukan berjilid-jilid, namun nyatanya upah yang mereka terima belum mampu menyejahterakan. Apalagi di tengah kondisi ekonomi yang makin mengimpit seperti sekarang. Berbagai harga kebutuhan kompak naik terutama kebutuhan pokok seperti beras hingga daging. Sementara itu, kenaikan yang 'dijanjikan' pemerintah diprediksi sebesar Rp. 70 ribu per bulannya.
Menurut Presiden KSPI sekaligus Presiden Partai Buruh Said Iqbal, salah satu alasan buruh menuntut kenaikan upah sebesar 15% adalah Indonesia sebagai kelompok negara menengah atas, atau upper middle income country. Dengan pendapatan nasional bruto atau Gross national Income (GNI) per kapita Indonesia berkisar US$ 4.500 ini setara upah Rp. 5,6 juta per bulan. Said menyebut, UMP DKI Jakarta mestinya sudah naik hingga Rp. 700.000 per bulan. (cnbcindonesia/27-10-2023)
Alasan lainnya yang mereka ungkap adalah adanya kenaikan gaji ASN, TNI/Polri sebesar 8% dan pensiunan 12%. Selain itu, mereka juga menyebut  hasil survey Litbang Partai  Buruh dan KSPI, angka kebutuhan hidup layak ditemukan rata-rata kenaikan 12-15%.  Ini meliputi kenaikan harga beras, daging, dll sebanyak 64 item di beberapa pasar kabupaten/kota. Angka ini selaras dengan kenaikan pensiunan 12-15%.
Keniscayaan dalam Kapitalisme
Â
Fenonema demo buruh bergelombang ataupun berjilid-jilid adalah sebuah keniscayaan dalam sistem kapitalisme. Kaum buruh terus bergerak menperjuangkan nasib mereka. Mereka mencari keadilan dan kesejahteraan. Hingga hari ini, keduanya seakan hanya mimpi yang tak kunjung menjadi nyata. Adalah fakta, setiap kali ganti penguasa, ganti pula kebijakannya. Namun hampir-hampir semuanya tidak berpihak kepada kaum  buruh.
Lihat saja janji manis politik yang diucapkan ketika  kampanye. Janji kesejahteraan tak kunjung direalisasikan. Wajar jika kaum buruh menilai kebijakan pemerintah terhadap dunia perburuhan belum searah dengan kesejahteraan mereka sehingga mereka pun terus menuntut kenaikan upah agar layak untuk menyangga beban hidup yang kian membengkak.
Kalau kita cermati, problem perburuhan yang terus eksis hingga saat ini adalah buah dari sistem. Diakui atau tidak, sistem yang mengatur kehidupan kita termasuk sektor ekonomi dan perburuhan adalah sistem kapitalisme. Salah satu pilarnya adalah kebebasan kepemilikan harta.Â
Dengan kebebasan ini, seorang pengusaha penganut kapitalisme yang berorientasi pada sebesar-besarnya profit, akan leluasa mengeksploitasi tenaga buruh. Sementara itu, kaum buruh seolah diberi ruang untuk mengakomodir aspirasi/ tuntutan mereka melalui perkumpulan atau serikat para buruh. Perkumpulan ini dijadikan sebagai wadah perjuangan para buruh untuk menuntut perusahaan. Inilah salah satu sebabnya, konflik antara buruh dan perusahaan terus eksis.
Konflik buruh sering dipicu persoalan upah. Hal ini seolah menjadi problem abadi perburuhan di seluruh negeri. Kalau kita perhatikan, penggunaan tolok ukur dalam pemberian upah buruh  hari ini tidak tepat. Patokan living cost atau biaya hidup terendah yang lantas kita kenal dengan istilah upah minimun sungguh mengganggu nurani dan akal sehat.Â
Maknanya, upah yang buruh dapatkan 'hanya' sekadar untuk mempertahankan hidup alias pas-pasan. Upah mereka habis untuk memenuhi kebutuhan dasar yang kadang-kadang juga masih kurang. Kebutuhan pangan, rumah atau tempat tinggal, dan pakaian yang layak. Juga kebutuhan pendidikan, Kesehatan, serta keamanan. Seluruh kebutuhan dasar itu menjadi beban pundak individu per individu. Kalau begini caranya, kapan mereka sejahtera?
Butuh Alternatif
Â
Realitas bobrok dalam kapitalisme ini harus dipahami oleh kaum buruh, lalu diubah menjadi realitas yang lebih baik dengan sistem alternatif. Terlebih, mayoritas buruh di negeri ini adalah kaum muslim. Sudah selayaknya mereka mengembalikan segala persoalan kepada Islam.
Islam memiliki perspektif yang khas mengenai konsep perburuhan dan tata Kelola ekonomi. Ini bukan taraf wacana, melainkan pernah terbukti penerapan Islam dalam mengatur keduanya dengan pengaturan yang sahih dan terbukti menyejahterakan selama periode yang berbilang abad lamanya.
Perlu diketahui, dalam khazanah Islam, kesejahteraan buruh adalah tanggung jawab negara, sebagai kesejahteraan rakyat lainnya. Menyejahterakan buruh juga bukan tugas pengusaha atau perusahaan dimana buruh bekerja, bukan. Pengusaha juga rakyat. Kedudukannya sama di mata Islam. Mereka juga dijamin kesejahteraannya. Perspektif ini mungkin janggal bagi penganut kapitalisme, namun begitulah Islam memandang.
Negara dalam perspektif Islam memiliki tanggung jawab menyejahterakan rakyat melalui jaminan pemenuhan kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, dan tempat tinggal, serta kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Negara memiliki kekuasaan dan wewenang untuk mengatur melalui berbagai regulasi, dan mengurus rakyat melalui mekanisme sesuai hukum syarak. Bukti-bukti implementasinya dapat dibaca melalui sejarah. Sekaligus membuka mata bahwa Islam memang layak dijadikan alternatif  bagi siapa saja yang masih meragukannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H