Mohon tunggu...
Pipit Agustin
Pipit Agustin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seniman Tepung

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Dispensasi Nikah Mewabah

17 Januari 2023   13:21 Diperbarui: 17 Januari 2023   13:25 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kompas melaporkan sebanyak 198 permohonan pengajuan dispensasi perkawinan usia anak sepanjang 2022 terjadi di Kabupaten Ponorogo Jawa Timur. Menurut Pengadilan Agama (PA) setempat, kebanyakan pemohon sudah hamil di luar nikah. PA Kabupaten Ponorogo mencatat Delapan permohonan dispensasi perkawinan tertolak karena tidak ada unsur mendesak. Untuk 106 lebih pemohon lainnya, PA menyarankan untuk melanjutkan sekolah karena mereka masih pelajar SMP atau  usia 15 tahun.

Ketika Menikah Menjadi Masalah

Peristiwa ini  bukanlah kasus pertama apalagi satu-satunya. Sejak  2019 sampai akhir tahun 2021 kasus pernikahan dini di Indonesia terus meningkat menurut data Kementrian PPPA dan BKKBN naik 30% setiap tahunnya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021 menyebutkan prevalensi perkawinan anak di Indonesia sebesar 10.35%. 

Sementara itu, Permohonan Dispensasi Kawin justru meningkat dari 24.865 pada tahun 2019 menjadi 64.000 pada tahun 2020 dan 63.000 pada tahun 2021. Badan Peradilan Agama mencatat sepanjang 2022 sebanyak 50,673 kasus yang telah mengajukan dispensasi pernikahan. Sedangkan pada awal 2023, 200 anak telah mengajukan dispensasi pernikahan.

Beberapa provinsi yang tinggi angka pelajar nikah dini yakni di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Salah satu penyebab pernikahan di tiga daerah tersebut tinggi karena orang tua mereka yang rata-rata banyak bekerja menjadi pekerja migran Indonesia di beberapa negara Asia, sehingga adanya kekosongan dalam pengasuhan anak.

Deputi IV Kemenko PMK Femmy Eka Kartika menyatakan kepada metrotvNews, pemerintah pusat, pemerintah daerah, forum anak, forum genre berupaya bersama mengantisipasi dengan memberi edukasi terhadap para remaja di seluruh Indonesia agar menghindari pergaulan bebas, supaya data dispensasi pernikahan anak bisa turun.

Solusi Pemerintah

Mengutip laman Kemenpppa, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 pemerintah menargetkan penurunan angka perkawinan anak dari 11,2% di tahun 2018 menjadi 8,74% di tahun 2024. Pemerintah juga telah memandatkan kepada Kemen PPPA untuk menjalankan 5 program prioritas, satu diantaranya adalah Pencegahan Perkawinan Anak.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk  mencegah perkawinan anak. UU Nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, telah mengubah batas minimal usia perkawinan menjadi 19 tahun untuk laki-laki maupun perempuan, dimana semula batas minimal usia perkawinan adalah laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Pemerintah juga telah membuat Strategi Nasional (Stranas) Pencegahan Perkawinanan Anak (PPA) di Tahun 2020.

Mahkamah Agung secara progresif juga telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin. PERMA tersebut saat ini menjadi aturan dasar bagi para hakim yang mengadili perkara dispensasi kawin. Pasal 15 Perma Nomor  5 Tahun 2019 menjelaskan bahwa dalam memeriksa anak yang dimohonkan dispensasi kawin, hakim dapat meminta rekomendasi  dari Psikolog atau Dokter/Bidan, Peksos Profesional, Tenaga Kesejahteraan Sosial, P2TP2A, dan KPAI/KPAID.

Akar Masalah 

Wabah dispensasi menikah pada usia remaja yang melanda negeri ini patut menjadi keprihatinan bersama. Menikah yang dipilih sebagai 'jalan keluar' menyisakan problematik lanjutan. Meski telah banyak regulasi digagas untuk mengatasi persoalan menikah dini ini, nyatanya tak sanggup menyelesaikan dengan paripurna. Lantas bagaimana seharusnya?

Bila ditelisik lebih dalam, problem yang muncul dari pernikahan dini di dunia islam khususnya adalah akibat fatal pengadopsian paham sekuler. Selain itu, kemampuan literasi umat terhadap ajaran islam juga rendah. Hal ini berestafet dengan penerapan sistem pendidikan sekuler yang gagal total mendewasakan pemikiran. Ditambah lagi sistem sosial yang kacau karena justru secara massif menstimulus rangsangan seksual melalui platform digital. Parahnya, semua itu dipayungi oleh negara lewat undang-undang yang bias makna atas nama kebebasan. Sungguh ambyar, bukan?

Bukankah telah sangat jelas, alasan yang dikemukanan di atas bahwa kebanyakan peristiwa menikah dini pada pelajar perempuan ini akibat pergaulan bebas. Mereka anak-anak yang minus kasih sayang dan kehadiran orang tua teladan. Minim ilmu agama tentang halal-haram, dan lain-lain. Ini di satu sisi.

Sementara di sisi lain, orang tua yang seharusnya hadir secara utuh dan penuh, harus banting tulang mencari cuan demi keberlangsungan kehidupan  keluarga. Ayah saja seringnya tak cukup sehingga sang ibu pun harun turun gunung mencari tambahan. Kalau dipikir-pikir, ya memang tidak ada salahnya mereka 'berjuang' sedemikian karena kondisi mengharuskan demikian. Berarti masalahnya adalah, negara tidak hadir sebagai pelindung rakyat dalam mencukupi kebutuhan primernya. Penyedia lapangan kerja itu adalah tugas utama negara, apapun bentuk dan ideologinya. Itu idealnya, bukan?

Tetapi, sistem ekonomi kapitalisme telah memaksa jutaan ibu bertarung di dunia kerja di negara asing dan meninggalkan anak-anak mereka. Lapangan pekerjaan seolah terkunci bagai para pria di negeri mereka. Jutaan keluarga dibuat sibuk mencukupi kebutuhan primer mereka, ditambah pajak dan aneka pungutan lainnya yang hukumnya wajib dari negara. Sistem ekonomi kapitalis memusatkan kekayaan pada segelintir orang dan menyebarkan kemiskinan bagi mayoritas rakyat. Sistem ini memang cacat dalam banyak hal terutama distribusi dan pengelolaan sumber daya alam.

Belum lagi sistem pendidikan yang jauh dari pementukan kepribadian para pelajar. Minus unggah-ungguh (adab) menjadi fenomena umum di kalangan pelajar kita. Meskipun telah baligh, mereka belumlah menjadi akil. Barangkali ini yang menjadi landasan kategori 'anak' sebagaimana tercantum dalam UU perkawinan. Meskipun telah baligh, mereka masih dianggap 'anak-anak'. Ini adalah mindset sekuler yang tidak jelas standar kedewasaannya.

Oleh karena itu, selama sekularisme masih memenuhi ruang pikir kita, selama itu pula masalah terus menimpa, hilir mudik tanpa solusi yang paripurna. Kita membutuhkan sistem hidup alternatif non sekularisme, yakni islam. Islam adalah harapan ketika agama adalah satu-satunya cahaya di tengah gelapnya dunia sekuler, jahilnya sistem ekonomi kapitalistik, dan buntunya politik demokrasi.

Harapan

Andai kebutuhan primer rakyat tercukupi semuanya, yakni sandang, pangan, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, keamanan, misalnya, tentu beban rakyat tak seberat sekarang. Orang tua, khususnya ibu, bisa fokus mengasuh dan mendidik buah hatinya.

Andai literasi umat tentang ajaran islam berada pada level baik, niscaya paham sekuler tidak akan bertengger. Tapi sulit menemukan regulasi yang 'berbau-bau' agama di sistem sekuler seperti hari ini. Tuhan Allah memang disembah, lewat salat dan sejumlah iabadah ritual lainnya. Tetapi aturan Tuhan tentang kehidupan sosial tidak pernah dianggap ada. Lantas manusia-manusia sekuler itu berupaya mencipta sebuah aturan kehidupan yang dikatakan 'terbaik' dari yang terburuk melalui pemufakatan jahil.

Semoga kondisi ini semakin membuka pikiran kita tentang pentingnya nilai-nilai agama dalam mengatur kehidupan, tidak hanya individu dan keluarga, tetapi juga kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Islam sepanjang sejarahnya memiliki kredibilitas dalam mengatur kehidupan individu, keluarga dan masyarakat. Bahkan, peradaban islam di sepanjang era Kekhalifahan adalah peradaban paling luhur yang pernah ada di dunia. Peradaban inilah yang kita dambakan kehadirannya di era sekarang.

Dengan demikian, keberkahan dari Allah dapat kita rasakan sebagai hambanya di muka bumi ini. Sungguh Allah telah berfirman, "Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan." (QS Al-A'raf: 96)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun