Mohon tunggu...
Novada Purwadi
Novada Purwadi Mohon Tunggu... -

Seorang borjuis kecil yang berusaha membantu kaum proletar

Selanjutnya

Tutup

Politik

Secuil Kritik Akan Marxisme-Leninisme Bagian 1 Bab 1

15 Oktober 2013   11:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:31 754
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Secuil Kritik akan Marxisme-Leninisme bagian 1

Bab 1

Konflik Kelas dan Perdamaian Kelas

Konflik kelas atau Marx dan Engels menyebutnya “perjuangan kelas” tentunya adalah sebuah masalah utama dalam pemikiran marxisme maupun pemikiran-pemikiran lain yang berasal dari marxisme itu sendiri. Marx membagi kelas berdasarkan apa yang dilakukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kelas dibagi dalam dua yaitu borjuis(para pemilik alat kerja dan modal) dengan proletariat(para pekerja yang tidak memiliki alat kerja maupun modal dan bekerja kepada kapitalis). Dalam pemikiran Marx dan Engels kedua kelas ini senantiasa berseteru dikarenakan adanya konflik kepentingan yang tiada akhir yaitu kepentingan kaum kapitalis untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya sekaligus kerugian yang sekecil-kecilnya(prinsip ekonomi) serta kepentingan kaum buruh untuk memenuhi kebutuhan hidupnya serta mobilitas sosial ke status maupun peran sosial yang lebih tinggi dibandingkan apa yang dia miliki sekarang.

Tentunya kita mengerti bahwa kaum proletariat dengan borjuis memiliki karakteristik yang berbeda, salah satunya adalah kaum borjuis memiliki pola masyarakat gesselschaft/patembayan. Dengan pola seperti ini maka kaum borjuis melihat manusia lain adalah sebagai pemuas kebutuhan individual mereka, hal ini dibuktikan dengan perlakuan kaum borjuis dengan borjuis lain yaitu secara ekonomis, positifnya dianggap sebagai rekan bisnis ataupun kerjasama ekonomi maupun secara negatif yaitu “kompetisi”, “kontraversi”, sampai “konflik” di dalam bidang usaha. Penyelesaian konflik di dalam masyarakat borjuis pun bersifat “tidak abadi” dikarenakan mereka biasanya menggunakan penyelesaian secara formil yaitu ajudikasi(secara pengadilan), arbitrase(menggunakan arbiter sebagai pihak ketiga yang mengikat pihak berkonflik) maupun konsiliasi(menggunakan lembaga tertentu untuk duduk bersama menyelesaikan konflik). Pemecahan konflik seperti ini hanya akan menyelesaikan masalah, namun tidak memberikan efek pencegahan masalah ataupun mendekatkan pihak-pihak yang berkonflik. Selain itu juga karena memiliki pendapatan yang tinggi, masyarakat borjuis memiliki gaya hidup yang berbeda dengan masyarakat proletar dimana masyarakat borjuis terbiasa menganggap kebutuhan sekunder dan tersier kaum proletar sebagai kebutuhan primer mereka. Kaum borjuis pun juga (walau tidak semuanya) memperlakukan kaum proletar sebagai sumber daya, hal ini dibuktikan oleh teori ekonomi yang menjadikan SDM sebagai faktor produksi suatu barang. Teori ini tentunya tidak salah dikarenakan seorang ekonom memang harus menghitung dana yang dikeluarkan untuk membayar upah manusia yang dipekerjakan untuk memproduksi suatu barang. Akan tetapi kita sering mendengar kasus bahwa buruh diperlakukan secara tidak layak oleh banyak pengusaha di Indonesia. Tentunya hal itu berkaitan dengan anggapan mayoritas kaum borjuis dimana manusia adalah sebuah sumber daya dan harus dipekerjakan seefisien mungkin, menghasilkan produk yang baik secara kualitas maupun kuantitas namun tidak menghabiskan biaya yang besar dalam mempekerjakan mereka. Lalu bagaimana caranya? Meminimalisir upah buruh, meminimalisir liburan mereka, mempersulit cuti maupun ijin tidak bekerja adalah beberapa cara yang dapat dilakukan oleh para pemilik modal untuk menekan biaya produksi mereka seminimal mungkin. Walaupun kita tahu bahwa tidak semua kapitalis melakukan hal ini, namun ini adalah yang harus diperangi baik dari kaum borjuis yang peduli maupun kaum proletar itu sendiri. Indonesia merupakan negara yang dapat dikatakan sebagai plutarki atau pemerintahan berdasarkan kekayaan dikarenakan orang yang menduduki jabatan politik diharuskan memiliki kekayaan yang cukup untuk menyokong dana kampanye, dana partai dan lain-lain. Dengan plutarki tentunya para pejabat yang duduk di atas memiliki latar belakang sebagai kapitalis akan memberikan kebijakan-kebijakan pro kapitalisme itu sendiri semacam pengurangan subsidi, liberalisasi ekonomi, maupun swastanisasi badan usaha milik negara atau dikenal dengan go public. Setelah adanya go public otomatis kepemilikan BUMN akan beralih (walau tidak sepenuhnya) kepada kaum kapitalis yang berarti alat kerja tidak dimiliki oleh masyarakat(dalam hal ini, negara) namun dimiliki oleh kapitalis yang telah membeli saham BUMN tersebut. Selain secara negatif, para kaum borjuis juga menganggap kaum proletar sebagai “pasar untuk memasarkan produk mereka” alias konsumen. Di dalam teori ekonomi kita mengenal “produksi-distribusi-konsumsi”. Tiga-tiganya adalah pekerjaan para proletariat. Mengapa proletariat? Karena tenaga merekalah yang digunakan sebagai faktor produksi, distributor sebuah barang, maupun konsumen barang tersebut(walau belum tentu konsumen jika barangnya adalah barang yang memang dimaksudkan untuk kaum menengah keatas). Tentunya kaum proletariat adalah konsumen barang-barang berkualitas rendah yang diproduksi secara massal dan murah. Kaum proletar adalah kaum yang tidak berpendidikan cukup tinggi, sehingga digunakanlah cara-cara untuk mempengaruhi kaum proletar oleh kaum borjuis. Tentunya dalam sosiologi kita mengenal “Imitasi”, “Sugesti”, “Identifikasi”, “Simpati”, dan “Empati”. Pertama, kaum borjuis akan memanfaatkan Simpati masyarakat terhadap sebuah tokoh publik untuk promosi produk yang akan dijual lewat media massa dengan menampilkan produk tersebut dipakai oleh tokoh tersebut. Lalu, muncullah Sugesti dari tokoh tersebut untuk mengajak masyarakat memakai produk tersebut dan jangan memakai produk lain. Selanjutnya muncul keinginan untuk melakukan Imitasi dari masyarakat untuk meniru tingkah laku tokoh tersebut dan menggunakan produk tersebut. Kaum borjuis tentunya melakukan identifikasi terhadap produk yang akan dijual ini agar dikenal oleh masyarakat dan masyarakat tidak salah membeli dengan produk lain. Sedangkan Empati dilakukan dengan cara lain yaitu menambah embel-embel “keuntungan yang didapat akan disumbangkan beberapa persen kepada yayasan amal”. Cara-cara tersebut tentunya akan sangat mempengaruhi mindset kaum proletar yang akan berbondong-bondong membeli produk yang dipasarkan oleh idolanya sendiri tanpa mengetahui apakah idola tersebut memakai produk itu dalam kesehariannya atau tidak. Para kapitalis pun tidak memperdulikan siapa idola yang akan dipasang sebagai promotor produknya, mulai dari Tokoh agama, Penyanyi, Aktor-Aktris sampai Politikus pun dipakai untuk promosi produknya. Hal ini konsisten dengan relasi masyarakat gemeinschaft dimana hubungan manusia didasari oleh kebutuhan ekonomi, tokoh publik tersebut merasa diuntungkan karena mendapatkan publisitas maupun uang untuk kebutuhan hidupnya sedangkan kapitalis pun juga sama, mereka telah memperkirakan keuntungan yang akan didapat ketika menggunakan “jasa” dan nama besar sang tokoh ketika mempromosikan produk yang akan dijualnya. Kaum kapitalis tentunya mayoritas mengikuti sistem moral utilitarianisme dimana apa yang boleh dan terbaik untuk dilakukan adalah yang memiliki keuntungan tertinggi. Ditambah lagi kaum kapitalis percaya akan keadilan proporsional, sesuatu yang adil adalah disesuaikan dengan porsi apa yang dia lakukan sehingga yang melakukan kerja lebih banyak akan mendapatkan hasil yang lebih banyak atau “He who does not work, neither shall he eat”. Kedua teori ini konsisten dikarenakan ketika kaum kapitalis percaya akan keadilan proporsional maka ia akan melakukan apapun yang menghasilkan keuntungan terbanyak bagi dirinya, hal ini juga telah dibenarkan oleh teori utilitarianisme jadi apapun yang ia lakukan dapat dijustifikasi oleh utilitarianisme tanpa merasa bersalah akan cara yang ia lakukan untuk mendapatkan “porsinya secara adil”.

Kebalikannya, kaum proletar yang memiliki pola masyarakat gemeinschaft atau paguyuban tentunya memiliki karakteristik yang berkebalikan dengan kaum borjuis. Kaum proletar memiliki hubungan yang erat berdasarkan kekeluargaan maupun kekerabatan dengan sesamanya baik dalam kelompoknya maupun dengan kelompok lain, walau lebih banyak bersifat primordialis terhadap kelompoknya sendiri. Sebagai seorang kapitalis yang handal tentu harus memanfaatkan kondisi ini untuk keuntungan pribadi sang kapitalis tersebut, kelompok di dalam kaum proletar itu sendiri dapat digunakan sebagai stratifikasi horizontal serta pasar untuk memasarkan produksi barang-barang yang dapat dikonsumsi oleh kaum proletar sesuai kelompoknya. Semisal, untuk kaum proletar yang beretnis Jawa tentunya memiliki lidah yang berbeda dengan kaum proletar yang beretnis Sunda. Mudahnya, untuk para kapitalis ini memanfaatkan kenyataan tersebut untuk identifikasi produk yang akan mereka pasarkan ke masing-masing kelompok. Selain itu kenyataan bahwa banyak kelompok di dalam masyarakat proletar dimana ia memiliki kedekatan secara kekeluargaan tentunya memberikan keuntungan bagi kapitalis yang ingin menghemat biaya produksi dengan menggunakan ikatan kekeluargaan atau kesukuan. Sudah jelas bahwa ketika seorang bos memiliki ikatan kekerabatan atau kesukuan yang dekat dengan pekerjanya maka pekerjanya akan lebih loyal, lebih mudah dikontrol karena memahami budaya dan adat istiadat serta kebiasaan mereka, lalu bisa menghemat biaya karena mengerti bahwa kebutuhan hidup serta ekspektasi gaji orang dari sebuah kelompok kekerabatan tertentu adalah berapa. Kaum kapitalis tentunya mengerti bahwa ada stratifikasi horizontal berdasarkan pekerjaan dan kesukuan dimana seseorang dianggap handal dalam pekerjaan tertentu karena ia berasal dari suku atau etnis tertentu. Semisal orang madura akan menjadi pekerja di bidang besi tua atau menjual sate, orang jawa timur akan menjual soto lamongan, tahu campur, bakso, lalu orang padang akan berusaha dengan berdagang nasi padang, orang batak biasanya kalau tidak bekerja di hukum maka ia akan bekerja sebagai supir, dan lain-lain. Kawan yang naif tentunya akan mengatakan bahwa kenyataan ini diciptakan oleh para kapitalis. Namun saya tidak setuju dengan jawaban naif seperti itu, karena orang-orang ini secara sadar melakukan pekerjaan tersebut karena itu adalah keahlian yang mereka punya yang dibawa dari daerah masing-masing sehingga bisa bersaing dengan orang lain. Namun hal ini akhirnya menjadi sebuah pola tertentu dimana kaum kapitalis dapat mencari tenaga kerja yang banyak jumlahnya serta efektif dan efisien dalam sebuah pekerjaan tertentu. Dengan jumlah yang banyak tentunya akan murah harga tenaga kerjanya, serta tidak ada habisnya potensi jumlah orang yang dapat dipekerjakan dalam bidang tersebut jika kapitalis sudah mengerti bahwa pekerjaan ini banyak dilakukan oleh sebuah etnis tertentu. Setidaknya, harus diakui bahwa memang etnis tertentu lebih baik dalam sebuah pekerjaan dibandingkan etnis lain. Hal ini terjadi karena budaya turun-temurun mereka dalam sebuah bidang akhirnya mengakar kepada budaya pekerjaan mereka dalam masyarakat modern. Namun kita juga harus sadar bahwa kadangkala keahlian dalam sebuah bidang tertentu memberikan keuntungan sebuah etnis dibandingkan etnis lain. Ketika bidang tersebut lebih dihargai dibandingkan bidang lain maka akumulasi kekayaan dan modal akan lebih banyak dimiliki oleh suatu etnis tertentu. Sebagai contoh, tanpa bermaksud rasis saya akan menyebutkan etnis tionghoa yang memiliki keahlian dalam bidang perdagangan serta pemilik perusahaan. Perdagangan serta manajemen perusahaan adalah sebuah pekerjaan yang sangat dihargai di dalam masyarakat manapun, dan kita dapat menyebutnya sebagai kapitalis dikarenakan mereka sudah tentu memiliki modal dan pekerja untuk menjalankan usahanya. Karena pekerjaan ini dihargai sangat tinggi sudah tentu uang akan mengalir ke orang-orang yang bekerja sebagai pedagang dan pemilik perusahaan. Hal ini akan menimbulkan konflik dimana kelompok lain mengalami kecemburuan sosial karena melihat suatu kelompok secara umum hidupnya lebih sejahtera dibanding mereka. Walaupun tidak semua yang berasal dari kelompok yang lebih sejahtera ini memiliki karakteristik di atas, namun teori labeling bekerja disini. Kenyataan bahwa kaum proletar memiliki ikatan primordialis yang kuat tentunya dapat menjadi sebuah konflik antar kelompok di dalam kaum proletar itu sendiri, semisal konflik antara Forum Betawi Rempug dengan orang Madura di Jakarta sering terjadi karena masing-masing pihak memiliki kepentingan yang bertabrakan. Oknum kapitalis yang busuk (walau tidak semua busuk) tentunya akan memanfaatkan hal ini untuk kepentingan mereka sendiri, semisal dengan cara menggunakan demagogi massa bahwa lawan atau musuh dari oknum tersebut akan disebutkan sebagai seorang yang berafiliasi dengan salah satu kelompok yang berkonflik. Terlepas dari apakah berita itu benar ataupun tidak, tentunya kelompok yang berseberangan dengan kelompok tersebut akan menyerang lawan dari oknum kapitalis tersebut. Hal ini akan menjadi sebuah keuntungan bagi oknum kapitalis yang melakukan demagogi massa tersebut. Kesadaran milik kaum proletar adalah kolektif, namun hanya untuk kelompoknya sendiri atau saya sebut dengan kolektif-komunal. Dengan kesadaran seperti ini tentunya kaum proletar memiliki kemauan untuk memperbaiki keadaannya, namun memakai cara berkelompok untuk itu. Namun ada kekurangannya yaitu ketidak adaan keinginan atau kesadaran secara umum bahwa kaum proletar harus bersatu secara seluruhnya untuk memperbaiki nasib mereka.  Urusan keadilan, tentunya kaum proletar mengharapkan akan keadilan absolut, dimana setiap orang berhak untuk mendapatkan hasil yang sama akan kesejahteraan. Namun mereka tetap bekerja dalam sistem dimana keadilan proporsional lah yang diutamakan, mereka pun juga bekerja keras dan mati-matian untuk memperbaiki hidup mereka sendiri. Secara moral kaum proletar mungkin lebih cocok dengan teori moral Immanuel Kant yaitu sesuatu yang dianggap baik adalah yang sesuai dengan hukum moral, atau mudahnya, norma yang berlaku di masyarakat. Dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka, kaum proletar berharap bahwa pemerintah akan membantu meringankan penderitaan mereka dengan kebijakan-kebijakannya(sesuai dengan keadilan absolut), serta bekerja keras mati-matian untuk mendapatkan upah yang sepadan(sesuai dengan keadilan proporsional) namun mereka melakukan itu semua sesuai dengan hukum moral(teori moral kantian) dan ketika mereka melakukan kejahatan maka mereka secara sadar sudah memahami bahwa apa yang mereka lakukan adalah salah, maka dari itu kaum proletar ketika melakukan kejahatan akan lebih banyak digolongkan kepada Casual Offender, Occasional Criminal, maupun Episodic Criminal.

Tujuan akhir dari Marxisme-Leninisme adalah menghapuskan kelas, cara mereka adalah dengan revolusi dengan kekerasan dimana adalah sah penggunaan kekerasan dan penindasan sebagai “balas dendam” atau bahasa halusnya “mematahkan perlawanan kelas borjuis terhadap kelas proletar”.

Hal ini dituliskan oleh V. I. Lenin dalam bukunya yang berjudul Negara dan Revolusi

Dengan kata lain: di bawah kapitalis kita mendapatkan negara dalam arti kata yang sesungguhnya, yaitu mesin penindas khusus dari satu kelas terhadap kelas yang lain dan bahkan dari minoritas terhadap mayoritas. Sewajarnyalah bahwa untuk berhasilnya usaha seperti penindasan yang sistematis terhadap mayoritas kaum terhisap oleh minoritas kaum penghisap dibutuhkan penindasan yang luar biasa kejam dan buasnya, dibutuhkan lautan darah dan umat manusia menempuh lautan darah ini dalam keadaan perbudakan, perhambaan, dan kerja upahan.

Selanjutnya, selama transisi dari kapitalisme ke Komunisme itu penindasan masih diperlukan, tetapi sudah merupakan penindasan terhadap minoritas kaum penghisap oleh mayoritas kaum terhisap. Aparat khusus, mesin khusus untuk menindas, "negara" masih diperlukan, tetapi ini sudah merupakan negara transisional, sudah bukan lagi negara dalam arti kata yang sebenarnya, sebab penindasan terhadap minoritas kaum penghisap oleh mayoritas kaum budak upahan yang kemarin adalah hal yang relatif demikian mudah, sederhana, dan wajarnya, sehingga ia akan meminta pertumpahan darah yang jauh lebih sedikit dari pada penindasan terhadap pemberontakan-pemberontakan kaum budak, hamba, buruh upahan, sehingga ia akan meminta kepada umat manusia biaya yang jauh lebih murah. Dan penindasan itu sejalan dengan perluasan demokrasi sampai kepada mayoritas mutlak penduduk yang sedemikian rupa, sehingga kebutuhan akan mesin khusus untuk menindas akan mulai menghilang. Kaum penghisap sudah sewajarnya tidak mampu menndas rakyat tanpa mesin yang sangat rumit untuk menjalankan tugas ini, tetapi rakyat dapat menindas kaum penghisap bahkan dengan "mesin" yang sangat sederhana, hampir tanpa "mesin", tanpa aparat khusus, dengan organisasi massa bersenjata yang sederhana (seperti Soviet-Soviet Wakil Buruh dan Prajurit kita katakan dengan sedikit lancang).

Saya lebih mendukung tentang adanya “perdamaian antar kelas” atau “class harmony” dibandingkan “perlawanan antar kelas” atau “class struggle”. Tentunya berpendapat seperti ini bukanlah tanpa berdasar kepada kenyataan bagaikan kaum utopis yang merasa bahwa ketika manusia telah bersatu sepenuhnya bagaikan lirik lagu internationale yaitu “l’internationale sera le genre humain” yang berarti bahwa “internasionale adalah bangsa manusia”. Melihat kenyataan di dunia ini bahwa kelas akan tetap ada kecuali jika ada cuci otak maupun dogmatisasi besar-besaran kepada setiap manusia yang ada di dunia untuk menjadi robot yang hanya akan bekerja dan berkonsumsi sesuai kebutuhannya saja, maka kelas akan tetap ada, terserah masyarakat akan membaginya sesuai pekerjaan, ekonomi, agama, etnis, bahkan jika kita berandai-andai ketika stratifikasi berdasarkan ekonomi sudah dilenyapkan maka bisa jadi kontur wajah yang sesuai rasio emas(dengan kata lain rupawan) akan menjadi stratifikasi juga sebagai justifikasi nilai yang dihargai dalam masyarakat. Uni Soviet sendiri mungkin berhasil untuk menghilangkan kelas kapitalis di dalamnya dengan menggunakan teror merah dan revolusi dengan kekerasan, namun memunculkan kelas baru yaitu birokrasi di dalam Uni Soviet itu sendiri.

L. Trotsky dalam bukunya yaitu Revolusi yang Dikhianati menjelaskan tentang birokratisasi Stalin di dalam Uni Soviet

Pernyataan aksiomatik dari literatur-literatur Soviet, yang mengatakan bahwa hukum-hukum revolusi borjuis “tidak dapat diterapkan” pada revolusi proletariat, tidak ada isi ilmiahnya sama sekali. Karakter proletar dari revolusi Oktober ditentukan oleh situasi dunia dan oleh sebuah korelasi istimewa dari kekuatan-kekuatan internal. Tetapi kelas-kelas itu sendiri terbentuk dalam kondisi tsarisme yang barbar dan kapitalisme terbelakang, dan sama sekali tidak siap untuk bisa memimpin pemenuhan tuntutan-tuntutan revolusi sosialis. Yang terjadi adalah persis kebalikannya. Justru karena kelas proletariat yang masih terbelakang ini telah mencapai lompatan besar dari monarki feudal ke kediktatoran sosialis dalam waktu beberapa bulan maka reaksi dari dalam jajarannya sendiri menjadi tidak terhindarkan. Reaksi ini berkembang dalam serangkaian gelombang yang susul-menyusul. Kondisi dan peristiwa eksternal saling bersaing untuk menumbuhkembangkan reaksi itu. Intervensi susul-menyusul. Revolusi tidak mendapat bantuan langsung dari Barat. Daripada kesejahteraan bangsa yang diharapkan, yang didapat adalah kemelaratan yang berlangsung lama. Di samping itu, bunga-bunga terbaik dari kelas pekerja gugur dalam perang sipil, atau menanjak posisinya dan mengangkat dirinya di atas massa. Dan, dengan demikian, setelah munculnya ketegangan antar kekuatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, harapan dan ilusi, datanglah masa-masa panjang kelelahan, kemunduran dan kekecewaan akan hasil-hasil revolusi. Surutnya “kebanggaan sebagai rakyat jelata” memberi ruang bagi membanjirnya kepengecutan dan karirisme. Kasta penguasa yang baru naik dengan mengendarai gelombang ini.

Demobilisasi Tentara Merah yang beranggotakan lima juta orang memainkan peran yang tidak kecil dalam pembentukan birokrasi. Para komandan yang menang perang menempati posisi kepemimpinan di Soviet setempat, dalam perekonomian, dalam pendidikan, dan di mana-mana mereka secara keras kepala memperkenalkan sistem pemerintahan yang telah memenangkan perang sipil. Maka, dari tiap sudut, massa perlahan-lahan tersingkirkan dari partisipasi nyata dalam kepemimpinan negeri.

Reaksi dari dalam jajaran proletariat menyebabkan bangkitnya harapan dan keyakinan-diri yang besar di tengah lapisan borjuis kecil di perkotaan dan pedesaan, setelah mereka dibangkitkan kembali oleh NEP, dan semakin lama mereka semakin berani. Birokrasi yang masih belia itu, yang semula lahir sebagai karyawan dari kelas proletar, kini mulai merasa dirinya sebagai hakim penengah dalam pertikaian antar kelas. Kemandiriannya makin bertambah setiap bulan.

Situasi internasional bergerak, dengan kekuatan besar, ke arah yang sama. Birokrasi Soviet menjadi semakin percaya diri, seiring dengan semakin besarnya hantaman yang dihantarkan ke kelas pekerja dunia. Di antara kedua fakta ini tidak hanya terdapat hubungan kronologis, melainkan juga hubungan sebab-akibat yang bekerja ke dua arah. Para pemimpin birokrasi mendorong terjadinya kekalahan kelas proletar; kekalahan kelas proletar mendorong bangkitnya birokrasi. Peremukan insureksi Bulgaria di tahun 1924, likuidasi penuh khianat atas Pemogokan Umum di Inggris dan tindakan partai buruh Polandia yang memalukan pada saat kudeta Pilsudski di tahun 1926, pembantaian besar-besaran atas Revolusi Cina di tahun 1927 dan, akhirnya, kekalahan yang lebih meremukkan baru-baru ini dari kelas pekerja Jerman dan Austria – inilah musibah-musibah historis yang membunuh kepercayaan massa rakyat Soviet pada revolusi dunia, dan memungkinkan birokrasi memanjat semakin tinggi sebagai satu-satunya juru selamat yang mampu memberi harapan.

Sementara mengenai penyebab kekalahan kaum proletar selama tiga belas tahun terakhir, penulis harus merujuk pada karyanya yang lain, di mana dia telah berusaha mengekspos peran buruk yang dimainkan oleh para pemimpin Kremlin, yang terisolasi dari massa dan bersifat sangat konservatif, dalam gerakan revolusioner di semua negeri. Di sini kita terutama berurusan dengan fakta yang tak terbantahkan dan instruktif bahwa kekalahan terus-menerus dari revolusi di Eropa dan Asia, sekalipun melemahkan posisi internasional Uni Soviet, telah sangat memperkuat birokrasi Soviet. Dua tanggal terutama sangat penting dalam rangkaian sejarah ini. Di paruh kedua tahun 1923, perhatian kelas pekerja Soviet terpaku pada Jerman, di mana kaum proletariat nampaknya telah mengulurkan tangan untuk merebut kekuasaan. Mundurnya Partai Komunis Jerman secara panik menimbulkan kekecewaan yang teramat besar bagi massa kelas pekerja Uni Soviet. Birokrasi Soviet tidak membuang waktu untuk segera membuka sebuah kampanye melawan teori “revolusi permanen” dan melancarkan pukulan keji pertama mereka pada Oposisi Kiri. Selama tahun-tahun 1926 dan 1927, warga Uni Soviet mengalami bangkitnya harapan baru. Semua mata kini ditujukan ke Timur, di mana drama revolusi Cina tengah berlangsung. Oposisi Kiri telah bangkit kembali dari pukulan sebelumnya dan tengah merekrut barisan pengikut baru. Pada akhir tahun 1927, revolusi Cina dibantai oleh si penjagal, Chiang Kai-shek, ke dalam tangannyalah Komunis Internasional telah secara langsung mengkhianati kelas buruh dan tani Cina. Gelombang kekecewaan yang dingin menyapu massa rakyat Uni Soviet. Setelah provokasi tanpa henti lewat surat kabar dan rapat-rapat, birokrasi akhirnya melancarkan penangkapan massal terhadap Oposisi Kiri di tahun 1928.

Puluhan ribu pejuang revolusioner berkumpul di seputar panji-panji Bolshevik-Leninis. Kaum buruh yang maju jelas-jelas bersimpati pada Oposisi, tetapi simpati itu tetap tinggal pasif. Massa telah kehilangan kepercayaan bahwa situasi dapat diubah secara serius oleh sebuah perjuangan yang baru. Sementara itu, birokrasi menegaskan: “Demi revolusi internasional, Oposisi Kiri mengajukan untuk menyeret kita ke dalam perang revolusioner. Cukup sudah gonjang-ganjing ini! Kita layak beristirahat. Kita akan membangun masyarakat sosialis di rumah kita sendiri. Percayalah pada kami, para pemimpin kalian!” Mantra-mantra pembius agar massa tidak berbuat apa-apa ini dengan kokoh mengkonsolidasi apparatciki [bahasa Rusia untuk aparatus partai] dan para pejabat militer dan negara, dan bergema di tengah kaum buruh yang keletihan, terlebih lagi massa kaum tani. Benarkah, mereka bertanya pada diri sendiri, bahwa Oposisi sungguh siap mengorbankan kepentingan Uni Soviet untuk mewujudkan ide “revolusi permanen”? Sesungguhnya, pertarungan ini adalah mengenai kelangsungan hidup negara Soviet. Kebijakan yang keliru dari Komunis Internasional di Jerman membawa kemenangan Hitler sepuluh tahun kemudian – artinya, sebuah ancaman perang yang datang dari Barat. Kebijakan yang tidak kurang kelirunya di Cina memperkuat imperialisme Jepang dan membawa bagi kita bahaya yang datang jauh lebih dekat dari Timur. Tetapi, periode-periode reaksi memang terutama dicirikan oleh absennya pemikiran yang berani.

Kelompok Oposisi terisolasi. Birokasi melancarkan pukulan ketika besi masih panas, memanfaatkan kebingungan dan kepasifan kaum buruh, mengadu domba lapisan terbelakang dengan lapisan majunya, dan semakin bersandar pada sekutu mereka: kulak dan borjuis kecil secara umum. Dalam kurun beberapa tahun, birokrasi telah menghancurkan garda depan revolusioner kaum proletariat.

Sungguh naif jika kita berpikir bahwa Stalin, yang sebelumnya tidak dikenal massa, tiba-tiba muncul dari sisi panggung bersenjatakan penuh dengan rencana strategi yang lengkap. Jelas tidak. Sebelum dia menemukan jalannya, birokrasilah yang terlebih dahulu menemukan Stalin. Dia membawa pada mereka semua jaminan yang dibutuhkan: prestise karena dia telah lama menjadi anggota Bolshevik, karakter yang kuat, visi yang sempit, dan ikatan erat dengan mesin politik yang menjadi satu-satunya sumber pengaruhnya. Kesuksesan yang dinikmatinya pada awalnya mengejutkan dia sendiri. Ini adalah sambutan akrab dari kelompok penguasa baru, yang berusaha membebaskan dirinya dari prinsip-prinsip lama dan dari kendali oleh massa, dan yang membutuhkan seorang penengah yang dapat diandalkan dalam persoalan-persoalan internal mereka. Sekalipun dia adalah figur tak ternama di hadapan massa dan di tengah peristiwa-peristiwa Revolusi, Stalin menyingkapkan dirinya sebagai pemimpin mutlak dari birokrasi Thermidor, sebagai orang terkemuka di kalangan mereka.

Kasta penguasa ini segera menyingkapkan ide-idenya, perasaan-perasaannya dan, yang terutama,  kepentingannya. Mayoritas besar generasi tua dari jajaran birokrasi saat ini berdiri berseberangan dengan kita selama berlangsungnya revolusi Oktober. (Contohnya saja para duta besar Soviet: Troyanovsky, Maisky, Potemkin, Suritz, Khinchuk, dll.) Atau setidaknya mereka berpangku tangan ketika pertarungan berlangsung. Mereka yang pada saat ini menghuni jajaran birokrasi, yang ada di kubu Bolshevik saat hari-hari Oktober, sebagian besar tidak memainkan peran yang penting. Mengenai para birokrat muda, mereka dididik dan dipilih oleh para tetua mereka, seringkali anak-anak mereka sendiri. Orang-orang ini tidak akan berhasil jika disuruh melancarkan Revolusi Oktober, tetapi mereka sangat cocok untuk mengeksploitasi kemenangan Revolusi itu.

Insiden personal dalam periode antara dua bab sejarah ini, tentu saja, bukannya tanpa pengaruh. Sakitnya dan meninggalnya Lenin jelas mempercepat pembusukan ini. Bila saja Lenin hidup lebih lama, tekanan kekuasaan birokratik tentu akan berkembang dengan lebih lambat, setidaknya di tahun-tahun pertama. Tetapi, sedini tahun 1926, Krupskaya mengatakan di dalam lingkaran kaum Oposisi Kiri: “Jika Ilych masih hidup, dia mungkin sudah berada di penjara.” Ketakutan dan ramalan penuh peringatan dari Lenin sendiri masih segar dalam ingatannya, dan dia sama sekali tidak berilusi bahwa Lenin akan cukup berdaya melawan badai dan gelombang sejarah yang menentangnya.

Birokrasi tidak hanya menaklukkan Oposisi Kiri. Mereka juga menaklukkan partai Bolshevik. Mereka mematahkan program Lenin, yang telah melihat bahaya besar dalam perubahan aparatus negara “dari pelayan masyarakat menjadi penguasa atas masyarakat.” Mereka menyingkirkan semua musuh mereka, Oposisi, Partai dan Lenin, bukan dengan ide dan argumen, melainkan dengan bobot sosial mereka. Kaki berbandul timah dari birokrasi berbobot lebih berat daripada kepala revolusioner. Inilah rahasia keberhasilan Thermidor Soviet.

Hal ini membuktikan bahwa kelas sosial akan selalu tetap ada, ketika satu kelas mayoritas menindas kelas minoritas lain hingga kelas tersebut tiada dengan cara Tyranny by the Majority atau kita kenal dengan Kediktatoran Proletariat(versi lenin tentunya, karena ini cukup multitafsir) dari kelas yang lama akan melahirkan kelas baru, yaitu para tiran proletar yang sempat memegang kekuasaan untuk menindas kelas lain karena ketika mereka sudah duduk  memegang kekuasaan untuk menindas kelas lain mereka sudah merasakan enaknya menindas serta mudahnya mendapatkan kebutuhan hidup serta kebutuhan sekunder maupun tersier(dan tentunya kepuasan serta kebahagiaan hati) dari penindasan kelas minoritas yang sebelumnya menindas mereka. Trotsky menyebut mereka dengan kaum Thermidor Soviet. Hal ini sesuai dengan perkataan Lord Acton yaitu “power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”. Ditambah lagi ketika kita mengkaitkan kepada teori siklus negara milik Polybius, kita akan paham bahwa Uni Soviet sendiri diawali dari bentuk Aristokrasi yaitu ketika adanya Pemerintahan Republik yang dipimpin oleh Alexander Kerensky dan intelektual borjuis lainnya namun akhirnya menjadi Oligarkis karena tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan rakyat serta mengutamakan kepentingannya yaitu tetap berperang dengan Jerman semasa Perang Dunia kedua. Lalu muncullah Lenin yang mengubah menjadi Monarki(Monarki sendiri artinya adalah pemerintahan yang dipimpin oleh satu orang(mono-archy), dan saya tidak mengkaitkannya dengan hereditary rule/berdasarkan keturunan), lalu Stalin yang mengubah Uni Soviet menjadi Tirani serta diktator-diktator selanjutnya yang memerintah dengan tangan besi, lalu hancurlah Uni Soviet karena ada kudeta yang dilakukan oleh Boris Yeltsin dimana ada demokratisasi besar-besaran, namun akhirnya bergerak menuju  Okhklokrasi dimana para politisi dan kapitalis yang memiliki pengaruh besar di dalam negara Rusia akhirnya berebut keuntungan dari pemerintahan yang ada. Nah, kelas tidak akan pernah lenyap dari dunia ini hemat saya. Sebaliknya, Tyranny by the Minority pun juga tidak baik untuk dilakukan karena adanya kelas minoritas yang menindas mayoritas, seperti yang terjadi di dalam masyarakat kapitalis. Namun efeknya berbeda dengan Tyranny by the Majority, tetapi para tiran borjuasi ini dapat membagi kelas menjadi lebih banyak atau bahkan mengurangi jumlah kelas yang ada, demi kepentingan mereka sendiri.

Perdamaian antar kelas hanya bisa dicapai ketika masyarakat sudah menemui economic well-being terhadap pemenuhan kebutuhan hidupnya, baik primer, sekunder maupun tersier. Saya akan sengaja membiarkan agar stratifikasi di dunia ini masih berdasarkan ekonomi, karena mobilitas sosialnya cukup terbuka dan cukup lebih mudah dikontrol untuk urusan stabilitas masyarakatnya serta memperbaiki hajat hidup kaum proletarnya. Karena ketika stratifikasinya berdasarkan ekonomi, untuk memenuhi keinginan kaum buruh adalah lewat memajukan perekonomiannya. Konflik kelas pada stratifikasi berdasarkan ekonomi adalah pada kecemburuan sosial dan kepemilikan alat kerja dan modal. Tentu kita tidak mungkin merampas alat kerja dan modal dari kapitalis kepada proletar, karena akan menjadikan proletar yang diberikan alat kerja dan modal tersebut sebagai kapitalis, dan sebaliknya kapitalis yang dirampas alat kerja dan modalnya akan menjadi proletar, sebuah lingkaran setan yang tidak akan bisa terselesaikan.

Secara teknis, saya melihat peran negara di sini adalah untuk menciptakan perdamaian antar-kelas dimana tidak ada satu yang bisa menindas ataupun merasa ditindas oleh yang lain. Teknisnya akan dibicarakan di dalam bab lain tentang negara dan kelas. Namun negara disini berfungsi sebagai welfare state dimana tugas negara adalah untuk menjaga kesejahteraan kaum proletar, melindungi kaum proletar dari penindasan kaum borjuis serta sebaliknya melindungi kaum borjuis dari penindasan kaum proletar, sehingga tidak ada yang saling menindas satu dengan yang lainnya tanpa perlu adanya konversi dari suatu kelas menjadi kelas lain.

Tujuan akhir dari tulisan saya adalah memajukan kesejahteraan materiil manusia pada umumnya, tak terpisahkan oleh kelas dan stratifikasi.

L'égalité veut d'autres lois

Pas de droits sans devoirs dit-elle

Égaux, pas de devoirs sans droits”

-L’internationale, stanza ketiga-

N. M. Purwadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun