Mohon tunggu...
Novada Purwadi
Novada Purwadi Mohon Tunggu... -

Seorang borjuis kecil yang berusaha membantu kaum proletar

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Critique of Pseudo Intellectualism : Kritik atas Intelektualisme Palsu di Kampus

6 Oktober 2014   02:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:15 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

The notion of “the intellectuals” as a distinct social category independent of class is a myth

-Antonio Gramsci-

Intelektualisme, sebuah –isme yang direduksi sebagai jargon-jargon oleh kelompok mahasiswa penghegemoni sebagai semacam “status sosial” di dalam kampus itu sendiri. Mahasiswa semacam ini banyak sekali mengklaim dirinya sebagai seorang intelektual dengan definisi sesuai kepentingan mereka masing-masing.

Intelektualisme secara definitif dan obyektif sebaiknya diambil dari definisi milik Edward Said yaitu seorang yang mengejawantahkan apa yang menjadi cara pandangnya serta sudah pasti bergerak untuk melawan dogmatisme dan orthodoksi ketika cara pandangnya tidak menyepakati itu.

Secara distingtif definisi intelektual yang berlaku pada kampus kita tercinta ini adalah yang ber IPK tinggi, sopan santun serta berperilaku baik. Orang-orang seperti ini mampu untuk mengklaim diri mereka intelektual dan memiliki kecerdasan yang tinggi dan intelektualitas yang mumpuni. Menjijikkan, menurut saya.

Marx dan Engels, dua orang intelektual yang diakui dunia, dalam Manifesto Komunisnya pun mampu untuk mengejawantahkan pandangannya dengan bahasa yang tidak sopan. Sebagai contoh “Maka itu tuan harus mengakui bahwa yang tuan maksudkan dengan pribadi adalah tidak lain daripada seorang borjuis, seorang pemilik borjuis. Orang ini memang harus disapu bersih dan tidak diberi kemungkinan untuk hidup”

Dengan definisi sesuai para intelektual palsu yang demikian, Marx dan Engels bukanlah intelektual tetapi seorang yang “tidak intelektual” menurut mereka, mungkin. Tetapi menggunakan definisi Edward Said yang demikian, mereka adalah intelektual sejati yang melawan dogmatisme dan ortodoksi Kapitalisme pada masa itu.

Hemat saya, anda-anda yang mengklaim dirinya sendiri adalah para intelektual sejati tidak lebih dari budak IPK yang menyedihkan serta memuakkan. Apalagi ketika intelektualisme anda dijadikan sebagai sebuah kelas sosial yang distingtif terhadap mahasiswa yang “non-intelektual” baik seorang intelegensia yang tidak sopan maupun mahasiswa yang memang tidak konsen terhadap intelektualisme bagaikan ubermensch/overman dan untermensch/underman ala Nietzsche.

Saya pernah mendengar dari “intelektual” semacam ini, budayakan baca tulis diskusi di Kampus. Sungguh memuakkan ketika itu hanya sekedar jargon kemunafikan ketika yang dibaca hanyalah apa yang menunjang kebutuhan dia akan nilai di kampus. Padahal, menurut Sartre, seorang intelektual Eksistensialis Perancis, intelektual seharusnya adalah intelektual yang berpikir tentang sesuatu yang bukan kebutuhannya. Mengkritik sebuah teori yang ortodoks dan dogmatis, bukanlah kebutuhan seorang intelektual tentunya dan justru beresiko menjebloskan mereka dalam nilai jelek karena dosen yang tidak mau dikritik atau sudah memiliki pegangan teori dogmatik yang kuat.

Kemudian, masalah menulis, menurut Walter Benjamin, penulis adalah orang yang menulis karena mereka tidak sepakat dengan buku yang bisa mereka beli (atau baca, tambahan dari saya, karena pada jaman sekarang sudah ada pdf dan buku gratis di perpustakaan). Tentu ini sejalan dengan budaya diskursus dan kritisisme pada teori yang penulis (dalam definisi Benjamin) tidak sepakati. Ketika ia hanya sepakat dan menulis ulang teori yang ada di buku-buku tersebut hanya untuk mendapatkan nilai di kampus, maka ia sangat kontradiktif dengan definisi intelektual ala Said maupun penulis ala Benjamin. Lucunya, menulis disini hanya direduksi sebagai kepenulisan karya tulis ilmiah ala PKM dan sejenisnya. Menyedihkan, menurut saya. Bukannya saya membenci PKM atau apalah, tetapi jangan mereduksi definisi dari kepenulisan seenaknya. Saya siap berkompromi bahwa definisi kepenulisan bisa diartikan sebagai kritisisme intelektualistik maupun penulisan karya tulis maupun definisi lain yang lebih luas, asal jangan direduksi.

Lalu, masalah diskusi, saya mengutip Jacques Ranciere mengenai apa itu hal yang demokratis, menurutnya Demokrasi adalah bentuk politik tentang subyektifikasi (orang-orang didalamnya dapat menjadi subyek atas dirinya sendiri dan menjadi subyektif) serta ketika orang-orang hadir didalamnya adalah ketika ia memiliki ketidaksepakatan atau terjadi sebuah persengketaan. Diskusi disini seharusnya bukan monologis tetapi dialogis, bagaikan Socrates dalam tulisan-tulisannya Plato dimana ia berdiskusi dengan orang lain yang bersifat dialogis. Kemudian, Hegel dalam Encyclopedia of Philosophical Sciences menuliskan bahwa pemikiran seharusnya bersifat dialektik. Dialektika Idealis disini adalah dimana pemikiran/thought yang bersifat tesis dihadapkan pada antithesisnya untuk memunculkan sinthesis yaitu pemikiran baru. Filsafat Sintetik banyak memakai metode dialektika idealis ala Hegel. Semisal diskusi bersifat monologis yaitu ada seorang pemateri yang dominan dan selalu memimpin dalam diskusi dan peserta diskusi hanya mendengar dan menyanyakan tanpa berani mengkritik (atau tidak diberikan kesempatan kritik karena budaya kritik begitu mengerikan disana) maka dialektika tidak akan berjalan. Hegel membuktikan teori dialektika idealisnya dalam bukunya Science of Logic dengan menggunakan teori Kantian mengenai kausalitas dan hukum alam didialektikakan dengan kebebasan, namun kita tidak membahas tentang itu sekarang. Ini membuktikan bahwa ruang publik tidak tercipta hanya dengan monolog ataupun dialog tanpa dialektika.

Terakhir, saya mengingatkan pada tesis Gramsci mengenai intelektual, bahwa setiap orang mampu menjadi intelektual, namun hanya karena posisi mereka tidak memungkinkan karena fungsi sosial mereka. Sehingga intelektualitas bukanlah sebuah kebanggaan tersendiri, apalagi sampai membuat kelas sosial hipokritik semacam intelektual palsu ala kalian. Jadilah intelektual organik atau jika kita (karena saya juga) merupakan bourgeouisie eclairee di kampus kita ini, maka bantulah masyarakat diluar kampus untuk menciptakan intelektual organik mereka sendiri yang berbasiskan kelas mereka yaitu proletariat.

Sekian dari saya, mungkin esai ini akan sangat memuakkan bagi para pseudo-intellectual di kampus ini, mohon maaf atas kekurangan referensi dan epistemologinya, terima kasih atas perhatiannya dan silahkan kritisi sepuasnya.

Antonio Gramsci, Prison Notebooks Vol 1 p.131

Edward Said, Representation of the Intellectual p.4

Marx, Engels, Manifesto Komunis

Annie Cohen Solal, Sartre p.588-9

Walter Benjamin, Essays and Reflections p.61

Jacques Ranciere, Disagreement, Politics and Philosophy p.99

Ibid p.100

Hegel, Encyclopedia of Philosophical Science p.7

Hegel, Science of Logic p.126

Antonio Gramsci, Prison Notebooks p.131

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun