Mohon tunggu...
Precillia Leonita
Precillia Leonita Mohon Tunggu... Bankir - Kumpulan tulisan pengalaman pribadi Precillia

Aku cuma seorang biasa yang pengen berbagi pengalaman hidupku yang biasa-biasa aja, yang kadang aku liat dengan 'kacamata' yang nggak biasa. Hope u enjoy it! :)

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Cerita Patah Hati Tanpa Hati yang Patah

24 April 2015   21:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:42 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita memulainya dengan baik, dan kupikir kita mengakhirinya dengan cukup baik juga. Sampai sekarang, aku merasa kisah kita adalah kisah yang cukup indah. Seperti sebuah cerita novel, ketika kamu-menurutmu lho ya-jatuh cinta pada pandangan pertama pada aku, di koridor depan kelas X SMA kita. Lalu, cerita kita berlanjut pada kamu yang tau namaku dari badge name di seragamku, kamu yang nanyain aku ke teman sekamarku di asrama, chatting pertama kamu yang nanyain tentang hobi menulisku, perkenalan pertama kita saat aku hendak ujian Bahasa Mandarin, sampai... seorang teman asrama yang patah hati, karena kamu menyukaiku.

Jangan salahkan aku lho ya kalau suatu saat kamu bisa menemukan novel dengan cerita yang persis seperti kisah kita yang ditulis olehku, hehe...

Banyak hal yang muncul di pikiranku sekarang. Banyak kenangan yang kita lalui bersama. Bagaimana tidak? Aku kenal kamu lebih dari lima tahun, sejak jabat tangan pertama kita. Kita bertumbuh bersama. Dan kamu telah menjadi rumah bagiku. Aku yang sangat tertutup dan sejujurnya sering merasa kesepian, aku selalu punya tempat untuk mengeluh dan bilang barusan aku nangis karena bla bla bla. Dan kamu, lewat pesan-pesan di LINE, hampir selalu berhasil bikin aku tersenyum. Tidak ada hari yang terlalu buruk. Because I have you.

Kamu sosok yang sangat sempurna. Karena itu aku sangat takut kehilangan kamu.

Sampai suatu kali, setelah ujian akhir, aku di kamar kos. Nonton DVD Korea yang judulnya Medical Top Team. Lalu kamu ngirim aku pesan... Kalau kita nggak bisa pacaran lagi. Alasan kamu waktu itu, karena kita seusia, dan kamu ragu bisa bahagiain aku karena kamu butuh waktu lebih lama untuk menyelesaikan pendidikan kamu sebagai dokter, dan butuh waktu untuk punya hidup yang lebih baik. Sedangkan aku? Setahun lagi lulus dari pendidikanku dan dapat pekerjaan yang layak si sebuah bank kece.

Ini pertama kalinya aku cerita.. Entah kamu akan membaca tulisanku ini atau nggak. Tapi malam itu, aku membenci posisiku. Sebagai penerima beasiswa sebuah bank, yang cuma perlu menempuh pendidikan 2,5 tahun selepas SMA lalu nggak perlu mikir mau kerja dimana. Aku benci karena itu membuat kamu mutusin aku. Dan... aku ngerasain sesuatu yang baru aku sadari beberapa minggu yang lalu. Kalau aku membenci kamu. Mungkin kata benci terlalu keras, ya? Hmm... marah, mungkin? Tapi aku marah pada kamu yang menyerah begitu saja, seolah nggak ada jalan lain. Seolah kehidupan persis seperti yang kamu prediksi. Kamu hanya bisa bahagia setelah jadi dokter. Kamu terus-terusan bilang kalau sebenarnya kamu menyayangiku dan kita putus demi kebaikanku. Dalam hati aku ingin teriak. Kamu. Bohong. Yang sebenarnya kamu hanya nggak mau berusaha. Kamu takut. Tapi maaf, aku baru menyadari itu baru-baru ini.

Cerita berakhir dengan malam itu, dengan segala argumen dan aku berusaha membujuk kamu, kita nggak jadi putus. Tapi bisa kamu bayangkan? Rasanya sakit. Dan aku nangis kencang di ruang tengah kosan, ditemani Nova yang duduk di sebelahku, ngebiarin aku nangis. Nova yang nulisin surat 2 halaman sebagai referensi untuk ngomong sama kamu, ngebujuk supaya kita nggak putus. Aku takut kehilangan kamu.

Lalu setelah malam itu dan kamu tetap jadi pacarku, aku sering bilang kalo aku menyayangi kamu. Aku selalu mendoaka hubungan kita agar kamu nggak pergi. Tapi malam itu tetap terkenang, dan selalu ada pertanyaan dalam hatiku, apa kamu benar-benar sayang sama aku? Apa kamu bisa nerima kelebihan dan kekuranganku? Aku nggak ragu kalo kamu bisa menerima kekuranganku. Kamu membantu aku memperbaiki diri. Tapi sejak malam itu, aku sering mikir, kenapa kelebihanku... masa depanku yang aku perjuangkan... yang ngebuat kamu mau lepasin aku? Apa kamu sayang sama aku atau kamu terlalu mikirin ego kamu sebagai cowok? Karena sejujurnya, terlalu banyak orang-orang didekatku, yang aku kenal bahkan sudah berumah tangga dan akhirnya harus berpisah karena si laki-laki nggak menerima anugerah istrinya. Nggak usah aku sebutkan siapa.

Aku selalu takut kehilangan pacar yang kata teman-temanku sempurna. Aku takut rasanya sesakit dulu. Jadi aku selalu bilang, that I love you more and more. Tapi semakin hari aku jadi sadar kalau aku sekedar takut. Dan aku ingin merelakan rasa takut itu pergi, aku ingin melepas kamu. Mungkin, butuh waktu bagi kita untuk menjadi lebih dewasa.

Hanya saja, ketika kamu mencintai seorang wanita lagi, tanyakanlah lagi pada hatimu. Apakah kamu bersedia menerima kekurangan... dan kelebihannya? Tidakkah kamu tahu bahwa ia bekerja sangat keras untuk pencapaiannya?

Tapi, terimakasih untuk bertahun-tahun yang telah kita lalui bersama. Aku jadi aku yang sekarang, nggak lepas dari kamu. Kamu adalah salah satu kisah untuk dikenang. Aku harap kita bisa sama-sama mengenang tanpa rasa sakit karena patah hati.

Surabaya, 8 April 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun