Memandang alam dari atas bukit
Sejauh pandang kulepaskan
Sungai tampak berliku
Sawah hijau membentang
Bagai permadani di kaki langit
Gunung Menjulang
Berpayung Awan
Oh Indah pemandangan
“Lihat keren banget sawahnya berombak-ombak” teriak saudara kembarku saat kami melintasi jalanan desa yang di samping kanan dan kirinya membentang luas sawah yang menghijau.
Bandung...kota yang berasal dari Kata Bendung atau bendungan karena memang jika dilihat dari langit menggunakan satelit atau selainnya. Kita dapati bentuknya seperti mangkuk, permukaannya menjorok kedalam. Dan jika kita berada di dalamnya kita dapat melihat gunung-gunung menjulang mengelilingi Kota tempat ku dibesarkan ini. Setidaknya hingga 18 tahun aku dibesarkan di disisi timur kota itu.Saat itu untuk menuju rumah kami, akan menempuh ruter perjalanan yang cukup menawan, dimana akan lewati suatu jalan yang posisinya berada di antara hamparan sawah. Satu sisi hamparan sawah dengan sisi selainnya terhubung dalam satu sudut kemiringan tertentu. Satu sisi petak-petak sawah itu tersusun dengan rapi berundak kian keatas mengarah pada bukit, sedangkan sisi selainnya berundak menyerupai lembah.
Kala itu kuingat benar, saat kami masih duduk dibangku sekolah dasar, kami biasa pulang dan pergi menuju sekolah dengan berjalan kaki. Masih terbayang bagaimana suasana pagi hari saat melintasi jalan tersebut, kami dapat melihat mentari baru saja memancarkan cahayanya setelah berisitirahat diperaduannya dari balik bukit yang dengan cahaya itu menyinari embun-embun pagi di tiap helaian daun padi nan kemilau, menemani perjalanan kami menuju sekolah yang berada di lain desa dengan jarak tempuh 15 menit. Namun mentari menjadi amat terik saat menemani perjalanan pulang kami dari sekolah, tak sabar rasanya ingin segera sampai di rumah. Namun di tengah perjalanan tepatnya di jalan yang berada diantara dua sisi persawahan itu, jika pagi hari kami terpesona pada bagaimana mentari menyapa kami dari sisi sawah yang mengarah kebukit. Siang ini kami begitu terpesona akan pemandangan dari sisi sawah yang membentang mengarah ke kota di bawahnya. Angin bertiup lembut dan meciptakan lautan padi yang berombak dengan indahnya dengan pematan sawah yang sesekali dilalui penduduk desa, seakan lelahnya perjalanan kami hilang karena telah dimanjakan dengan pemandangan itu. Pengalaman itu mengingatkan kami pada lagu anak yang liriknya telah saya simpan di awal tulisan ini.
Dari tempat itu pula kami dapat amati cekungan kota Bandung yang saat malam lampu-lampu kota seakan bersaing dengan bintang-bintang di langit yang kini kian memudar seiring bertambah kotornya atmosfer bumi. Dan dai tempat itu aku menyadari bahwa benar kota ini dikeliingi oleh gunung, karena sejau mata memandang ke segala sisi manapun, kanin, kiri, depan bahkan tepat dibelang kami pun terdapat gunung. Walau kami tidak ahli ntuk mengetahui nama-nama gunung,namun kami dapat mengenal satu gunung disebrang sana karena memiliki bentuk yang khas, yaitu tangkuban parahu, dimana bentuknya bak perahu yang terbalik.
Namun beberapa tahun kemudian, tepatnya saat aku menginjak pendidikan disekolah menengah pertama,walau aku masih dapat melihat gunung-gunung msih tegak berdiri seakan menjadi pagar betis bagi kota parahyangan ini, sawah yang dahulu menjadi penyejuk mata saat kami lelah berjalan kaki, kini telah tiada digantikan oleh perumahan yang di dalamnya rumah-rumah mewah yang dihuni oleh orang-orang yang mungkin telah bosan tinggal di kota yang kian sesak. Aku menggerutu akan hal itu, tapi temanku bilang, sebelum menggerutu, amatilah rumahmu pun ada dimana, pernahkah terpikir dahulu pun ada orang yang menggerutu melihat sawah atau hutan mereka digantikan oleh rumahmu. Aku diam tanpa sepatah kata. Sejumlah pertanyaan seakan menghantam pikiranku. Iya ya, kenapa orang tuaku membuat rumah? Bahkan mungkin semua bangunan yang telah berdiri kokoh saat ini telah menggantikan sawah-sawah, atau ladang maupun hutan. Tapi jika tidak memiliki tempat tinggal, lantas tinggal di mana? Kenapa manusia tidak merasa cukup dengan tinggal di alam tanpa membuat bangunan-bangunan yang mengikis hutan, sawah dan ladang? Tapi terlepas dari pertanyaan itu, aku sadari manusia butuh untuk berlindung karena manusia seprti yang di Sampaikan oleh Abraham Maslow punya kebutuhan rasa aman dan pemenuhan fisiologisnya.
Pada hari bumi ini, mungkin kita memang dihadapkan pada kedilemaan satu sisi kita membutuhkan alam, satu sisi alam yang tersedia itu terbatas. seperti teori yang disampaikan oleh seorang ilmuwan, Spenser mengenai teori penambahan dalam teori orde sosial nya yaitu masyarakat akan mengalami penambahan jumlah seperti yang dia analogikan tumbuh kembang cikal bakal manusia yaitu sel zigot dimana saat sperma dan ovum bersatu maka akan terjadi pembelahan sel yang mengakibatkan penambahan sel yang asalnya dua menjadi 4 lalu 8 dan seterusnya. Ini menunjukkan kebutuhan akan manusia bersifat tidak terbatas karena jumlah manusia pun kian kemari kian banyak jumlahnya. Padahal setiap orang pun memiliki kebutuhan yang tak terbatas pula. Namun disisi lain alam bersifat terbatas dalam hal jumlah pun alam memiliki sifat terbatas mengapa demikian karena alam pertumbuhannya tidak secepat manusia. Dimana manusia butuh makan setiap hari namun semisal padi tidak menghasilkan biji setiap hari butuh waktu untuk tumbuh hingga panen. Terlebih lagi alam yang tidak dapat diperbaharui yang tidak dapataran di budidayakan secara otomatis semakin dikeruk maka akan semakin sedikit.
Kita pun mengetahui adanya realitas manusia memiliki unsur non fisik berupa perasaan yang di dalamnya memiliki “potensi” untuk bersikap egois, mementingkan diri sendiri yang dengan potensi tersebut bisa jadi manusia dalam menghaddapi keterbatasan alam manusia bersikap serakah yang penting dirinya sendiri dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Tak jarang akibat keserakahan alam yang pada dasarnya terbatas, tentu kian terbatas, semisal saja pembalakan liar yang dilakukan untuk kepentingan industri kayu tanpa memperhatikan bahwa alam butuh hutan yang dapat mencegah bencana banjir dan longsor. Pembuangan limbah pabrik ke sungai, padahal dengan itu dapat mencemari angin dan makhluk yang hidup di dalamnya, hanya demi keuntungan berdirinya pabrik tersebut. Dan salah satunya industri perumahan dan vila yang kian menjamur, tak sedikit orang-orang kaya yang punya hunian lebih dari satu dan tiaphunian memakan tidak sedikit lahan.
Melihat kedilemaan ini, menurut saya tindakan yang dapat kita ambil diantaranya mencoba untuk lebih bijaksana. Dan bijaksana tidak sama dengan menafikkan kebutuhan kita dalam menjalani kehidupan. Saya akui manusia punya potensi untuk bersikap egois dan serakah, namun apakah sama dengan kita tidak memiliki potensi untuk mendudukan potensi sifat kita itu lebih bijak? Menurut saya mestinya kita bisa bersikap lebih bijak, dari pada sibuk mengeluh karena merasa kurang dan kurang akan apa yang kita punya, saran saya cobalah kita amati bagaimana bumi kita sekarang yang mungkin sudah begitu rapuh. Apakah kita hanya bisa sadar dan mencoba amati keadaan bumi jika bumi telah bicara memalui bencana-bencana yang ia hadirkan untuk kita sebagai manusia? Saya harap tidak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H