Mohon tunggu...
Prayudi Newoto
Prayudi Newoto Mohon Tunggu... Administrasi - Senior Consultant

Business and Management Strategist. Senior Consultant at Organization Transformation International (OTI)

Selanjutnya

Tutup

Money

Kesetimbangan Baru Era "Digital Transformation"

4 Desember 2017   10:55 Diperbarui: 4 Desember 2017   13:43 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Lelaki paruh baya itu  menggaruk-garuk kepala di hadapan cangkir kopi sorenya yang bercampur  krimer. Saya yakin kepalanya tidak gatal. Advis saya sajalah yang  mengaktifkan fungsi refleks tangannya dengan jemari gempal itu.

  Di sore hari yang dingin selepas hujan lebat ini saya beruntung  berkesempatan ngopi bareng dengan seorang eksekutif perusahaan jasa  finansial yang menjadi klien saya. Perusahaan ini punya semacam "kredo  suci": Kepercayaan (trust) memang bagus, tapi kendali (control) tetap nomor satu.

 Yah, menilik karakter bisnisnya saya rasa tidak ada yang salah dengan  kredo semacam itu. Hanya saja, guna menyukseskan digital transformation  yang sedang kami lancarkan di sini, bolehlah kami ajukan titik  kesetimbangan baru antara trust dan control itu.

 Agar digital  transformation-nya sukses, mau tidak mau perusahaan harus berubah. Guna  mampu unggul dalam persaingan di era digital yang berbasiskan customer  experience, perusahaan harus mengusahakan paling tidak 2 hal ini:
1. Meningkatkan level innovativeness-nya.
2. Mempercepat segala proses yang terlibat dalam bisnisnya.

 Nah, untuk merealisasikan kedua hal tersebut, para staf di garda depan  (frontliner) mesti diberikan kebebasan serta tanggung jawab lebih  daripada yang selama ini mereka emban. Lalu, perusahaan juga harus  mengenyahkan beragam penghambat birokratis dan organisasional yang  memperlemah power para frontliner dalam mengambil keputusan.

  Tampak lelah, lelaki berjari gempal itu meneguk kopi dan kembali  menggaruk kepalanya. Ternyata kopinya kopi hitam, dengan entah berapa  banyak taburan sesuatu yang bukan krimer di atasnya.

***

Penulis adalah Senior Consultant di Organization Transformation International (OTI). Email: prayudi@otiinternational.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun