Jikalau tidak ada – dan mudah-mudahan tidak ada – aral melintang, Susilo Bambang Yudhoyono akan menyelesaikan masa jabatan keduanya sebagai Presiden Republik Indonesia yang ke-6 pada tanggal 20 Oktober 2014 yang akan datang.
Kita semua tentu tahu bahwa SBY, demikian beliau akrab dipanggil, berhasil memenangkan pemilihan presiden langsung oleh rakyat yang untuk pertama-kalinya diselenggarakan di negeri ini pada tahun 2004 lalu, berpasangan dengan Muhammad Jusuf Kalla. Lima tahun kemudian, SBY berhasil terpilih kembali meski berganti pasangan, kali ini dengan Boediono sebagai wakil presiden. Dan kita semua pun tentunya maklum bahwa sesuai komitmen kita bersama yang dituangkan dalam amandemen UUD 1945 pada masa-masa awal reformasi, masa jabatan presiden dibatasi hanya sampai dua kali lima tahun saja, tidak lebih dari itu.
Di samping menarik nafas lega karena terbebas dari beban tanggung-jawab yang luar biasa berat selaku kepala negara sekaligus kepala pemerintahan sebuah negara besar dengan hampir 250 juta penduduk, delapan bulan yang akan datang SBY pun punya kesempatan untuk menorehkan catatan emas yang belum bisa dicapai oleh siapapun yang memimpin negeri ini sejak merdeka 69 tahun yang lalu.
Ya – sekali lagi jika tidak ada aral melintang – Presiden SBY akan menjadi yang pertama dan sejauh ini satu-satunya dari tujuh presiden Indonesia yang berhasil mengawali dan mengakhiri seluruh masa jabatannya dengan normal, naik dan turun dari kekuasaan dengan proses yang sewajarnya berdasarkan konstitusi yang berlaku.
Harus dipahami bahwa apa yang penulis maksud di sini dengan “normal” ataupun “proses yang sewajarnya” adalah naiknya seseorang ke kursi presiden melalui proses pemilihan yang reguler sesuai konstitusi, bukan “naik di tengah jalan”; dan turun pada saat masa jabatannya memang secara konstitusiberakhir, bukan karena berhenti ataupun dilengserkan.
Sukarno sang Presiden Pertama naik secara normal dalam pemilihan yang diselenggarakan oleh KNIP sehari setelah proklamasi kemerdekaan. Namun 22 tahun kemudian orator ulung yang sempat diangkat sebagai presiden seumur hidup inipun terpaksa lengser karena diberhentikan secara tidak hormat oleh MPRS, menyusul dua pidato pertanggung-jawabannya yang ditolak.
Soeharto bisa dikatakan naik sebagai presiden kedua secara normal, karena diangkat sebagai Pejabat Presiden oleh MPRS tahun 1967, dan sebagai Presiden setahun kemudian. Selalu dipilih kembali secara aklamasi dalam setiap sidang umum MPR dari 1973 sampai 1998, Soeharto juga berhenti dengan tidak normal, terpaksa lengser dan menyatakan berhenti hanya beberapa bulan setelah terpilih untuk masa jabatannya yang ketujuh.
Naiknya Habibie selaku presiden ketiga bisa dikatakan irregular, karena ahli pesawat terbang ini sekedar mengambil alih jabatan presiden dari Soeharto dalam kapasitasnya sebagai wapres sesuai konstitusi. Saat Sidang Umum MPR 1999 menolak pertanggung-jawabannya, Habibie bertahan dengan komitmennya untuk tidak mencalonkan diri sebagai presiden kembali.
Presiden keempat meskipun mengejutkan naik secara normal, reguler sesuai konstitusi, yaitu melalui pemilihan pada Sidang Umum MPR. Sayangnya, sejarah Indonesia harus kembali mencatat seorang presiden yang berhenti di tengah jalan, ketika Abdurrahman Wahid dimakzulkan dalam Sidang Istimewa MPR tahun 2001. Seperti halnya Habibie, Megawati tidak naik dari awal sebagai presiden kelima, meski ia cukup beruntung bisa mengakhiri jabatannya secara normal di tahun 2004.
Sebagai anak bangsa, sejujurnya saya cukup lelah menengok bagaimana hiruk-pikuknya dinamika pergantian kepemimpinan nasional kita dulunya. Saya sangat berharap pak SBY – dan juga kita semua – bisa benar-benar menjaga kesempatan langka ini. Bayangkan, akhirnya kita punya seorang presiden yang bisa mengawali dan mengakhiri seluruh rangkaian masa jabatannya dengan utuh dan normal. Mengutip Coboy Junior, perjalanan hebat harus diakhiri dengan hebat pula, bukan?
Di samping preseden periode kepemimpinan nasional yang dijalani dengan utuh dan wajar tersebut, penting juga bagi kita semua untuk memikirkan bagaimana agar orang-orang yang akan memimpin negeri ini ke depan dapat ditemukan by design, bukan by accident seperti yang umumnya terjadi selama ini.
Oke Bung Karno memang tidak lahir by accident. Sejak ia mulai aktif berpolitik di bawah bimbingan Tjokroaminoto, menulis manifesto politik Menudju Indonesia Merdeka, dan menyampaikan pleidoi Indonesia Menggugat, semua orang tampaknya sudah meyakini bahwa dialah yang akan menjadi pemimpin bangsa kapanpun negeri ini siap untuk merdeka.
Tapi Pak Harto? Dengan segala rasa hormat, hingga tengah hari 1 Oktober 1965 bisa dikatakan sangat sedikit orang yang tahu dan kenal siapa beliau, apalagi percaya kalau jenderal pendiam itu suatu saat menggantikan sosok sebesar Sukarno. Lalu Habibie yang “terpaksa” menjadi Presiden karena Soeharto akhirnya mundur, Abdurrahman Wahid yang tiba-tiba didorong ke atas oleh sekelompok orang yang tidak ingin Megawati naik, dan Megawati sendiri yang juga dinaikkan oleh sekelompok orang yang kurang lebih sama dengan mereka yang menolaknya dulu.
Cerita SBY agak berbeda. Jauh sebelum ia memutuskan untuk memulai langkah menjadi presiden menyusul kegagalannya dalam pemilihan wapres tahun 2001, sudah banyak orang memandangnya sebagai shining star di kalangan militer dan menilainya layak untuk jabatan tertinggi di Republik ini.
Mungkin SBY – atau Bung Karno sekalipun –bukanlah contoh terbaik bagaimana seorang pemimpin dilahirkan by design. Kapasitas kepemimpinan yang mereka miliki – seperti juga kualitas kepemimpinan yang dimiliki oleh presiden-presiden kita lainnya – seringkali ditemukan secara tidak sengaja, mendekati injury time, atau bahkan setelah orangnya dinaikkan ke kursi pemimpin. Walhasil, tidaklah mengherankan kalau kita seakan-akan selalu bingung dengan pertanyaan “siapa yang pantas menggantikan A sebagai presiden?”
Menciptakan design yang pas untuk menemukan, menempa dan menggembleng calon-calon pemimpin masa depan memang masih menjadi “pekerjaan rumah” buat kita semua. Partai politik, khususnya, diharapkan juga bisa mengambil inisiatif lebih serta berperan lebih aktif dalam hal ini, jangan malah ikut-ikutan bingung dan mencomot sembarang orang asal populer untuk dimajukan sebagai pemimpin.
Mudah-mudahan ke depan tidak ada lagi partai yang didirikan hanya demi memuaskan nafsu dan ambisi sang pendiri untuk menjadi pemimpin. Sebaliknya, kita semua menunggu partai-partai politik untuk berlomba menghasilkan kader-kader pemimpin terbaik, untuk bersaing dengan calon-calon pemimpin lain yang tumbuh dari luar partai.
Dengan demikian, tidak ada lagi kata krisis kepemimpinan dalam kamus kita sebagai sebuah bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H