Di tengah belum adanya ketegasan pengaturan soal batasan sosialisasi dan kampanye, sejumlah partai politik, bakal calon anggota legislatif (bacaleg), serta bakal calon presiden (capres), mulai intens melakukan sosialisasi. Flyer dan brosur mulai tersebar. Spanduk, baliho, hingga Videotron, yang sering disebut sebagai alat peraga kampanye (APK) pun mulai terpampang di hampir seluruh ruas jalan Provinsi DKI Jakarta, baik jalan protokol hingga gang/jalan perkampungan. Sebagian dipasang melalui reklame berbayar atau melalui penyampaian izin pemasangan ke Pemerintah Daerah (Pemda), namun sebagian besar dipasang secara liar alias tanpa izin.
Aktivitas yang marak berbalut kegiatan sosialisasi tidak hanya berkaitan dengan pemasangan alat peraga saja. Partai politik pun sudah mulai banyak melakukan kegiatan-kegiatan yang sifatnya pengumpulan massa, seperti Harlah Partai, Halal bi halal, deklarasi dukungan capres, senam bersama, konser musik, mancing bersama, pembagian sembako dengan barter KTP atau KK, pengobatan gratis, dan bentuk kegiatan lainnya. Sosialisasi "rasa kampanye" pun mulai bermunculan.
Lantas, siapa sebenarnya yang berwenang melakukan penertiban APK tersebut? Bawaslu, KPU, atau kah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang harus melakukan penertiban dan pembersihan APK yang terpasang di sekian banyak tempat? Dan diatur dalam ketentuan yang mana? Sengkarut permasalahan penertiban APK ini seringkali tercecer dalam diskursus di banyak obrolan: berita TV, talkshow, warung kopi, pos ronda, pengajian warga, rapat di kantor pemerintah hingga di diskusi politik: siapa sebenarnya pihak yang berwenang menertibkan APK? Namun banyak pihak yang menunjuk bahwa Bawaslu lah Lembaga yang berwenang untuk menertibkan maraknya APK di jalanan dan tempat umum lainnya.
Bahwa KPU telah melakukan penetapan 24 Partai Politik Peserta Pemilu Tahun 2024 pada Desember 2022, yakni 18 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal di Aceh. Sesuai dengan Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024 bahwa masa Kampanye dimulai tanggal 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024.
Sebagaimana diatur pada Pasal 79 Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum bahwa :
Ayat (1) Â Â Partai Politik Peserta Pemilu dapat melakukan sosialisasi dan pendidikan politik di internal Partai Politik Peserta Pemilu sebelum masa Kampanye Pemilu.
Ayat (2) Sosialisasi dan pendidikan politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan metode:
    a. pemasangan bendera Partai Politik Peserta Pemilu dan nomor urutnya; dan
    b. pertemuan terbatas, dengan memberitahukan secara tertulis kepada KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kab/Kota sesuai tingkatannya dan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kab/Kota sesuai tingkatnya paling lambat 1 (satu) Hari sebelum kegiatan dilaksanakan.
Ayat (3) Dalam hal pelaksanaan kegiatan sosialisasi dan pendidikan politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Partai Politik Peserta Pemilu dilarang memuat unsur ajakan.
Ayat (4) Dalam hal sosialisasi dan pendidikan politik sebagaimana dimaksud  pada ayat (1) Partai Politik Peserta Pemilu dilarang mengungkapkan citra diri, identitas, ciri-ciri khusus atau karakteristik Partai Politik Peserta Pemilu dengan menggunakan metode:
    a. penyebaran bahan kampanye Pemilu kepada umum;
    b. pemasangan alat peraga Kampanye Pemilu di tempat umum; atau Media sosial.
Yang memuat tanda gambar dan nomor urut  Partai Politik Peserta Pemilu di luar masa kampanye pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1).
Bahwa masa Kampanye Pemilu 2024 baru bisa dimulai tanggal 28 November 2023, tetapi KPU memberikan ruang kepada Peserta Pemilu dapat melakukan sosialisasi atau pendidikan politik sebagaimana diatur dalam Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2023.Â
Namun demikian, Sosialisasi dan Pendidikan politik hanya dapat dilakukan untuk internal partai politik melalui pertemuan terbatas dan pemasangan bendera dengan nomor urut. Sebelum tahapan kampanye dimulai, maka partai politik peserta Pemilu, termasuk bacaleg, bacapres, atau siapapun dilarang melakukan pemasangan APK. Â Sehingga sesungguhnya Pemerintah Daerah setempat melalui Satpol PP dapat melakukan penertiban APK dengan menggunakan Peraturan Daerah tentang Ketertiban Umum (Tibum), sepanjang pemasangan APK tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah dimaksud.
Bagaimana dengan Bawaslu dan KPU? Apakah Bawaslu atau KPU atau kedua Lembaga ini yang harus mentertibkan APK? Baik Bawaslu maupun KPU memiliki peran dan kewenangan yang tertuang dalam Undang-Undang Pemilu dan peraturan yang berlaku. KPU berfokus pada aspek teknis penyelenggaraan pemilu dan Bawaslu fokus pada pengawasan tahapan pemilihan umum, dan bukan pada tugas-tugas penertiban APK. Celakanya, sebagian Satpol PP terhadap kondisi ini cenderung menghindar untuk melakukan penertiban terhadap spanduk, baliho, maupun Videotron dengan konten Pemilu, dengan alasan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan kepemiluan itu merupakan wilayah tugas Pengawas Pemilu.
Meskipun dalam berbagai kesempatan, Bawaslu Kota Jakarta Timur dan Panwascam sudah berulang kali menjelaskan bahwa Pengawas Pemilu tidak punya kewenangan untuk melakukan eksekusi terhadap penertiban APK. Sehingga kondisi ini menempatkan Pengawas Pemilu dalam posisi yang tidak nyaman dalam menjalankan tugasnya.
Selain itu, Bawaslu dan KPU harus menjaga netralitas dan tidak dapat terlibat dalam tugas penertiban yang bersifat politis di luar kewenangannya. Tugas penertiban lebih baik dilakukan oleh lembaga atau instansi yang memiliki wewenang dan tugas khusus dalam mengatur perizinan dan penertiban APK, seperti Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja) atau instansi pemerintah daerah setempat.
Bahwa sebagaimana diatur pada Pasal 34 ayat (2) PKPU No.15 Tahun 2023 bahwa Alat Peraga Kampanye meliputi: reklame, spanduk, dan/atau umbul-umbul. Ketiga jenis APK tersebut juga menjadi obyek penertiban yang diatur dalam Perda Provinsi DKI Jakarta, baik Perda tentang Ketertiban Umum dan Perda tentang Penyelenggaraan Reklame. Sehingga secara aturan, Pemda melalui Satpol PP punya kewenangan kuat untuk melakukan penertiban APK.
Pasal 52 Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum menyebutkan sebagai berikut:
(1) setiap orang atau badan dilarang menempatkan atau memasang lambang, symbol, bendera, spanduk, umbul-umbul, maupun atribut-atribut lainnya pada pagar pemisah jembatan, pagar pemisah jalan, jalan, jembatan penyeberangan, halte, terminal, taman, tiang listrik dan tempat umum lainnya.
(2) Penempatan dan pemasangan lambang, symbol, bendera, spanduk, umbul-umbul, maupun atribut-atribut lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Gubernur atau pejabat yang ditunjuk.
(3) Setiap orang atau badan yang menempatkan atau memasang lambang, symbol, bendera, spanduk, umbul-umbul, maupun atribut-atribut lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mencabut serta membersihkan sendiri setelah habis masa berlakunya.
Kemudian, Pasal 61 ayat (2) mengatur bahwa setiap orang atau badan yang melanggar ketentuan terhadap Pasal 52 ayat (1) dan (3) dikenakan ancaman pidana kurungan paling singkat  20 (dua puluh) hari dan paling lama  90 (Sembilan puluh) hari atau denda paling sedikit Rp. 500.000,- dan paling banyak Rp. 30.000.000,-. Pelanggaran terhadap ketentuan ini merupakan tindak pidana pelanggaran dan proses penanganannya diatur sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Selain itu, di dalam Perda Provinsi DKI Jakarta No.9 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Reklame, yang dikuatkan melalui Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No.148 Tahun 2017 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Reklame bahwa diatur didalamnya terkait keberadaan Tim Penertiban Terpadu Penyelenggaraan Reklame dengan Ketua Timnya adalah Kepala Satpol PP Provinsi DKI Jakarta dengan pembiayaan penertiban penyelenggaraan reklame dibebankan kepada anggaran Satpol PP.
Berkaitan dengan kondisi tersebut, Bawaslu Kota Jakarta Timur pun berulang kali mengalami kesulitan untuk melakukan penegakan hukum Pemilu disebabkan pelaku bukan sebagai Peserta Pemilu. Sehingga terhadap dugaan pelanggaran administratif Pemilu seperti pemasangan APK hingga tindak pidana Pemilu pun tidak bisa dijerat dengan menggunakan UU Pemilu karena belum ada penetapan DCT untuk calon anggota legislative maupun paslon presiden dan wakil presiden.
Dalam proses penanganan dugaan pelanggaran Pemilu terhadap ketentuan Pasal 79, ada dua hal yang perlu diidentifikasi pada pelaksanaan sosialisasi dan Pendidikan politik yang dilakukan partai politik peserta Pemilu, yakni pemasangan alat peraga dan metode pertemuan terbatas. Berkaitan dengan pemasangan alat peraga, KPU hanya membolehkan pemasangan alat peraga berupa bendera partai politik peserta pemilu dengan nomor urutnya. Fakta yang terjadi di lapangan adalah alat peraga yang terpasang lebih didominasi oleh spanduk, baliho hingga Videotron yang sudah mencirikan sebagai APK karena memuat visi, misi, program, foto bacaleg/bacapres dan disertai unsur ajakan untuk memilih.
Kemudian, berkaitan dengan bentuk kegiatan sosialisasi dan Pendidikan politik yang seharusnya berupa metode pertemuan terbatas dalam ruangan atau Gedung tertutup dan/atau pertemuan virtual melalui Media Daring (ketentuan pertemuan terbatas lihat pasal 29), faktanya banyak kegiatan yang melibatkan masyarakat umum dan di tempat terbuka. Kegiatan sosialisasi untuk internal partai politik sudah berubah menjadi ajang kampanye karena sudah melibatkan dan mengajak masyarakat untuk memilih mereka disertai dengan membagikan bahan kampanye dan memasang APK.Â
Karena PKPU adalah suatu peraturan yang disusun oleh KPU dan berisikan tentang tata cara, prosedur, atau mekanisme teknis pelaksanaan tahapan Pemilu, maka pelanggaran terhadap PKPU merupakan pelanggaran administratif Pemilu.
Sedangkan sanksi berkaitan dengan pelanggaran adminstratif Pemilu diatur pada Pasal 461 ayat (6) Undang-Undang No.7 Tahun 2017 sebagai berikut: Putusan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota untuk penyelesaian pelanggaran administratif Pemilu berupa: a) perbaikan administrasi terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b) teguran tertulis; c) tidak diikutkan pada tahapan tertentu dalam Penyelenggaraan Pemilu; dan d) sanksi administratif lainnya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Bahwa sanksi pelanggaran administratif Pemilu berdasarkan putusan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kab/Kota menunjukkan sanksi tersebut dikeluarkan melalui mekanisme adjudikasi atau persidangan. Sesuai dengan Pasal 36 Perbawaslu No.8 Tahun 2022 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilu bahwa Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Â atau Bawaslu Kab/Kota, memutus Temuan atau Laporan dugaan Pelanggaran Administratif Pemilu paling lama 14 (empat belas) Hari setelah Temuan atau Laporan diregistrasi.Â
Jika pelanggaran berkaitan dengan APK harus diproses secara adjudikasi, maka Bawaslu akan disibukkan dengan sekian banyak proses adjudikasi. Selain tidak efisien juga akan menguras banyak energi.
Dalam Perbawaslu yang sama pada Pasal 40 hingga pasal 43, sesungguhnya diatur mekanisme Penyelesaian dugaan Pelanggaran Administratif Pemilu melalui pemeriksaan acara cepat dilakukan oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota atau Panwaslu LN pada hari yang sama saat terjadinya Pelanggaran Pemilu. Namun, proses ini hanya diperuntukkan Objek Pelanggaran Administratif Pemilu bagi: a. dugaan Pelanggaran Administratif Pemilu terhadap ketentuan pelaksanaan kampanye Pemilu;Â
b. dugaan Pelanggaran Administratif Pemilu dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan suara Peserta Pemilu; dan c. dugaan Pelanggaran Administratif Pemilu yang terjadi pada pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara di tempat pemungutan suara luar negeri. Maka terhadap kasus pemasangan APK tersebut tidak dapat diproses melalui mekanisme pemeriksaan acara cepat karena belum memasuki tahapan kampanye.
Oleh karenanya, berkaitan dengan problematika siapa sesungguhnya Lembaga yang lebih berwenang melakukan penertiban APK yang diduga melanggar aturan, dengan melihat perangkat hukum yang ada maka Satpol PP tidak perlu ragu untuk menjalankan tugasnya dengan menggunakan Peraturan Daerah tentang Ketertiban Umum.Â
Peraturan ini mengatur tata cara perizinan, penempatan, dan penertiban reklame dan spanduk di wilayah DKI Jakarta. Satpol PP memiliki peran penting dalam melakukan penertiban terhadap spanduk yang melanggar ketentuan peraturan tersebut. Bahkan dalam Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 148 Tahun 2017 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Reklame diatur berkaitan dengan pengendalian penyelenggaraan reklame dimana di dalamnya dibentuk suatu Tim Penertiban Terpadu Penyelenggaraan Reklame dengan Ketua Tim adalah Kepala Satpol PP Provinsi DKI Jakarta.
Terhadap kondisi demikian, Bawaslu Provinsi DKI Jakarta dan Satpol PP Provinsi DKI Jakarta dengan jajaran masing-masing sebaiknya duduk bersama untuk menemukan cara yang tepat dalam rangka penertiban reklame/APK. Ada beberapa solusi yang mungkin bisa ditawarkan sebagai berikut:
- Sepanjang masa kampanye belum dimulai, maka Pemda melalui Satpol PP dapat langsung melakukan penertiban reklame/APK yang tidak sesuai dengan Perda Tibum dan Perda Penyelenggaraan Reklame;
- Sepanjang masa kampanye belum dimulai, dalam hal reklame/APK tersebut diketahui sudah memperoleh izin atau berbayar dan sudah terpasang, apabila konten reklame/APK sudah memenuhi unsur kampanye (memuat visi, misi, program, dan/atau citra diri Peserta Pemilu) dan berisi ajakan untuk memilih, maka reklame/APK tersebut tetap ditertibkan, atau pihak pemasang dimintakan untuk merubah konten reklame/APK;
- Sepanjang masa kampanye belum dimulai, dalam hal terdapat pihak yang akan memasang reklame/APK, maka sebagai langkah pencegahan Pemda dapat memberikan masukan berkaitan dengan konten reklame/APK agar tidak berisi ajakan kampanye;
- Dalam hal sudah memasuki masa kampanye, maka yang menjadi perhatian Pemda dalam rangka penertiban adalah titik pemasangan APK apakah di tempat yang dilarang atau tidak;
- Dalam hal sudah memasuki masa kampanye, maka Bawaslu Kota pun akan melakukan proses penanganan dugaan pelanggaran administrative Pemilu melalui pemeriksaan acara cepat pada hari yang sama;
- Dalam hal konten reklame/APK yang terpasang berisikan ujaran kebencian, hoax, atau SARA, maka Pemda segera melakukan penertiban tanpa kecuali.
Koordinasi antara Bawaslu Provinsi DKI Jakarta dengan Satpol PP Provinsi DKI Jakarta diharapkan bisa merumuskan solusi yang efektif berkaitan dengan mekanisme penertiban APK yang selama ini terkesan tidak jelas siapa yang berwenang melakukannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H