Mohon tunggu...
Prayogi R Saputra
Prayogi R Saputra Mohon Tunggu... Dosen - I am Nothing

I am nothing

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ahlul Bid'ah wal Jama'ah

11 Maret 2017   07:52 Diperbarui: 11 Maret 2017   08:53 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam kerangka kedua inilah orang yang menempuhnya dibekali dengan cara pandang rajawali, memandang dari ketinggian langit. Sehingga, para penempuh memiliki kecakapan melihat peta Islam layaknya melihat atlas. Akan nampak perkembangan, persebaran, variasi, konteks dan sudut pandang serta banyak hal yang sebelumnya tidak dapat dijangkau jika hanya mengandalkan kerangka pertama. Salah satu poin yang bisa diambil dari cara pandang ini adalah penempuh akan menemukan pemahaman bahwa Islam sebagai doktrin pada akhirnya ditafsirkan dan proses ini menghasilkan spektrum tafsir yang luas. Sementara, tafsir itu sendiri akhirnya menumbuhkan beragam ekspresi budaya dari para pemeluknya.

Sedangkan kerangka yang ketiga adalah memahami Islam sebagai ekspresi budaya atau ekspresi sosial. Poin ketiga ini lebih menunjukkan bagaimana pemeluk Islam mengekspresikan pemahamannya atas Islam sesuai dengan budaya dan lingkungan sosial dimana dia hidup. Misalnya orang-orang di pedesaan Jawa yang agraris mengekspresikan kecintaannya kepada Rosulullah dan sekaligus kepada Allah dengan melantunkan puji-pujian bersama-sama atau  membaca Surat Yasin dalam Al Qur’an secara bersama-sama. Hal ini tidak mungkin atau sangat kecil kemungkinannya terjadi di kota dimana orang lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja.

Ekspresi Budaya Muslim

Jika dilacak lebih jauh ke belakang, maka kita akan menemukan bagaimana ekspresi budaya kaum muslim di pedesaan agraris tanah Jawa seperti kenduri, gamelan, mocopatan yang akhirnya bertransformasi menjadi Sholawatan (lebih tepat disebut sebagai pembacaan Madah Nabawi) itu sejatinya adalah fungsi alat dakwah sebagaimana sekarang berwujud buku, forum, halaqoh, pengajian, situs web bahkan grup media sosial.

Menurut pemahaman Saridin, aktivitas-aktivitas yang saat ini kadangkala atau sering disebut sebagai tradisi Hindu itu sejatinya adalah alat dakwah ketika orang-orang di tanah Jawa belum mengenal model pendidikan. Kalau sekarang, orang berkumpul untuk mengikuti pengajian di masjid atau di tempat lain atau belajar Islam cukup dengan menyentuh layar smartphone atau membuka grup-grup media sosial. Apakah dulu ketika Islam baru dalam periode menanam benih, belum lagi tumbuh, apalagi memiliki fasilitas dan infrastruktur seperti hari ini, hal itu bisa terjadi? Maka, kenduri yang menjadi salah satu moment forum berkumpulnya orang-orang menjadi infrastruktur yang paling mungkin untuk mengenalkan orang kepada Islam. Maka, forum Hindu itu kemudian digeser kontennya menjadi forum Islam. Peristiwanya sama:kenduri. Kontennya berbeda. Seperti halnya samanya peristiwa antara nonton konser dan kampanye politik. Sama-sama berkumpul di stadion.

Dulu, ketika nyaris semua orang belum mengenal baca tulis dan hanya mengenal cerita lisan dan perlambang, maka sego golong, kue puro, kue apem, dsb yang menjadi “kitab wadag” bagi mereka. Sebagaimana orang-orang  tanah Jawa dulu menyimpan pelajaran dengan nama-nama daerah misalnya. Kalau sekarang kaum muslim yang dimuliakan oleh Allah bisa berkumpul beberapa orang, berhalaqah di serambi masjid, bahkan membuat pengajian akbar di stadion itu adalah kenikmatan yang diperoleh saat ummat Islam di Nusantara sudah menemukan bentuk dan rumusan yang jelas tentang Islam dan menjadi mayoritas. Kalau dulu, menurut pemahaman Saridin, bentuk halaqah yang paling efektif adalah mocopatan dan undangan khutbah yang paling menarik adalah wayangan.

Selain tradisi-tradisi tersebut, di desa-desa Jawa, dulu juga sering terdengar puji-pujian kepada Rosulullah atau lantunan syair berlagu berisi petuah-petuah kehidupan dan nasehat akhlak yang dilantunkan untuk mengisi waktu diantara adzan dan iqomat. Saridin baru menyadari salah satu dimensi makna dari pujian antara adzan dan iqomah ini justru ketika menunggu sholat maghrib di Masjid Sultan Singapura. Rupanya, pujian menjelang maghrib itu bagi dirinya berfungsi untuk mempersiapkan kondisi psikologis atau otak berada dalam gelombang alfa yang membuat seseorang merasa tenang. Saridin pun mengambil kesimpulan, barangkali itu salah satu tujuan orang-orang arif zaman dahulu memperkenalkan pujian diantara adzan dan iqomah, ialah untuk mempersiapkan batin seseorang sebelum berhadap-hadapan langsung dengan Allah melalui sholat.

Pemahaman yang Off Side dan Presisi

Bahwa menurut kerangka-kerangka yang dibangun diatas, ada pemahaman yang off side dalam diri ummat Islam harus diakui. Misalnya ada sebagian orang, bahkan orang yang dianggap sebagai ulama sekalipun memahami ekspresi budaya ummat Islam dalam kerangka ibadah mahdoh. Maka keluarlah statemen “bid’ah”. Tentu saja ini kekeliruan cara memilih dimensi seperti halnya Geertz tidak tepat membandingkan antara santri-abangan dengan priyayi. Ibarat sepakbola, memahami Barca dengan memasukkannya sebagai bagian dari Liga Inggris.

Ada pula misalnya sebagian orang yang menganggap bahwa Madah Nabawi (orang Indonesia lebih mengenalnya dengan istilah Sholawatan) adalah bagian dari ibadah mahdoh dan keberadaannya tidak boleh tidak ada. Bahkan ada sebagian sangat kecil dari ummat Islam yang menganggap bahwa susunan bacaan dalam kegiatan Madah Nabawian (Sholawatan) pun tidak boleh diubah atau dihilangkan. Pemahaman ini juga tidak presisi. Ibarat menempatkan perhiasan sebagai pakaian. Perhiasan boleh ada dan boleh tidak. Sementara pakaian harus ada dan dikenakan minimal untuk menutup aurat.

Pemahaman yang off side inilah yang menurut Saridin diangkat oleh kedua Syaikh Saudi di atas. Atau kalau mau melihat cara pandang yang lain, misalnya dari sisi politik, bisa jadi ada pihak-pihak yang sengaja membakar ummat Islam dengan menjadikan perbedaan tafsir atas al Qur’an sebagai bahan bakarnya. Sebab, menurut  Ustadz Ahmad Fuad Effendi, Anggota Dewan Pengawas pada King Abdullah bin Abdulaziz International Center for Arabic Language, orang-orang di Arab Saudi sendiri yang notabene wahabiyah cenderung diam dan tidak mempermasalahkan soal perbedaan pandangan atau perbedaan pendapat dalam memahami Islam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun