Mohon tunggu...
Prayogi R Saputra
Prayogi R Saputra Mohon Tunggu... Dosen - I am Nothing

I am nothing

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ahlul Bid'ah wal Jama'ah

11 Maret 2017   07:52 Diperbarui: 11 Maret 2017   08:53 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ahlul Bid’ah wal Jama’ah

Saridin mendadak sangat gembira  demi membaca berita yang menyampaikan pernyataan Syaikh Dr Rasyid Az-Zahrani dan Dr. Ahmad Jiilan, keduanya pejabat Kementrian Arab Saudi. Betapa tidak? Pernyataan itu dalam sekejap seperti memadamkan api yang lama  membakar konflik ummat Islam di Nusantara selama bertahun-tahun dan semakin berkobar beberapa tahun belakangan ini. “Jangan terlalu mudah menuding; ini bid’ah, itu bid’ah. Bila berlebihan, maka ini akan menjerumuskan ke dalam takfir serampangan (mengkafirkan orang yang tidak berdasar),” demikian pernyataan Syaikh Dr Rasyid Az-Zahrani, Deputi bidang Media Kementerian Agama Arab Saudi seperti dikutip hidayatullah.com.

Sementara, Deputi Menteri Bidang Da’wah Kementerian Urusan Keislaman, Da’wah dan Penyuluhan Arab Saudi Dr. Ahmad Jiilan menyatakan,“Jangan membatasi diri dengan satu atau dua ulama; satu atau dua buku saja (sebagai rujukan). Pakai juga yang lain. Sehingga ketika ada orang yang hendak mengkritik, mereka tidak mendapatkan celah. Saya tidak menyalahkan kalian memakai Syeikh Bin Bazz, karena beliau adalah ulama umat, bukan ulama kerajaan. Tetapi saya ingin kalian juga mengambil ulama Yaman, Mesir, Suriah, dan juga ulama Indonesia (sebagai rujukan).”

Sejak tahun 80an-90an, ketika Saridin masih kecil, di desa Saridin memang ada orang yang mulai memperkenalkan kosakata baru yang sebelumnya tidak dikenal oleh orang-orang Tjigrok. Kosakata itu adalah: bid’ah. Orang Tjigrok tidak demikian paham apa arti sebenarnya dari bid’ah. Namun, pengertian umum yang dibangun adalah bahwa bid’ah sebangun dengan kata “sesat” atau paling sedikit “sangat buruk”. Kendati belum terlalu kencang berhembus, namun satu kata itu telah berhasil mengganggu stabilitas kebersamaan orang-orang Tjigrok. Bagaimana tidak? Orang-orang Tjigrok yang biasa saling toleransi dan menjaga tradisi mendadak mendapat tudingan pelaku bid’ah. Bahkan, beberapa tahun terakhir, isu “terlalu mudah menuding bid’ah” ini seperti dipacu  menjadi sangat kencang.

Sebagai contoh kecil terjadi pada ayah Saridin. Ayah Saridin, seorang guru agama yang telah mengabdikan hampir 40 tahun hidupnya untuk mengajari anak-anak Sekolah Dasar di desanya mengenal Islam dan memberikan pelajaran tentang praktek-praktek ajaran Islam. Namun menjelang pensiun, tiba-tiba ada lelaki muda, berusia 20an tahun yang beberapa tahun lalu diajarinya dengan kasih sayang di Sekolah Dasar, tanpa segan menuduh praktek ibadah yang dilakukan orang yang menjelang pensiun itu sebagai banyak bermuatan bid’ah. Hampir semua perilaku keagamaan di desa menjadi salah dalam pandangannya. Semua tetangganya mendadak bersalah karena satu konsep: bid’ah.

Sementara, menurut Simbah Nun -Guru Ngaji Saridin di desa- bid’ah itu secara bahasa maknanya adalah “baru”. Setiap hal yang sebelumnya (dulu atau tadi) belum ada dan sekarang ada atau diadakan. Tidak hanya terbatas dalam ibadah. Sehingga, konsep bid’ah membutuhkan skala kerja. Di ruang dan waktu mana suatu praktek dikatakan bid’ah. Lebih jauh, bisa dirumuskan lagi, apakah hal baru (bid’ah) itu buruk, baik, atau paling tidak “boleh”.

Simbah memberikan uraian bahwa bid’ah yang tidak boleh adalah bid’ah yang dilakukan di dalam kerangka ibadah mahdoh, yaitu ibadah yang diperintahkan oleh Allah secara detil hingga petunjuk teknisnya. Misalnya: jumlah rakaat dan tatacara sholat, waktu berpuasa, syarat dan rukun ibadah haji, dsb. Dalam Al Qur’an, ayat-ayat yang memuat tentang ibadah mahdoh ini jumlahnya kira-kira 3,5% dari ayat-ayat dalam Al Qur’an atau kurang dari 200 ayat. Simbah menegaskan: tidak boleh ada bid’ah atau kreativitas dalam ibadah mahdoh.

Sementara diluar ibadah mahdoh, bid’ah atau mengadakan hal yang sebelumnya tidak ada diperbolehkan selama tidak menabrak larangan Allah. Misalnya: membukukan ayat-ayat Al Quran menjadi mushaf, menyeragamkan versi mushaf al Quran, sholat tarawih berjamaah di musholla atau masjid sepanjang bulan ramadhan, menabuh bedug, adzan menggunakan speaker Toa, dsb.

Tiga Kerangka

Dalam kajian yang lebih ilmiah, Saridin menemukan pelajaran soal pemahaman atas Islam yang bisa dimaknai dalam 3 kerangka. Kerangka yang pertama adalah memahami Islam sebagai doktrin. Disinilah orang mempelajari Islam dan praktek-praktek ibadah dalam Islam sebagai pemeluk. Dia akan meyakini dan melakukan apa yang dipelajarinya sebagai jalan hidup. Doktrin yang sampai kepada pembelajar kerangka pertama ini sangat mungkin hanya berdasarkan pada satu rumusan baku yang dibangun oleh  pemikiran  ulama-ulama Islam terdahulu. Karena itu, diperlukan kerangka kedua untuk memperluas pemahaman atas Islam.

Kerangka kedua tersebut adalah kajian tentang Islam atau study Islam. Artinya, orang mempelajari Islam bukan sebagai pemeluk, tapi dia bertindak sebagai pembelajar yang sedang berusaha memahami Islam dari berbagai dimensi pandangnya. Di sini Islam dipelajari sebagai ilmu pengetahuan. Kita bisa menyebut orang-orang dalam posisi ini mulai dari Snouck Hurgronye, Sachiko Murata, Karen Amstrong, hingga para cendekiawan, sarjana dan mahasiswa muslim sendiri.

Dalam kerangka kedua inilah orang yang menempuhnya dibekali dengan cara pandang rajawali, memandang dari ketinggian langit. Sehingga, para penempuh memiliki kecakapan melihat peta Islam layaknya melihat atlas. Akan nampak perkembangan, persebaran, variasi, konteks dan sudut pandang serta banyak hal yang sebelumnya tidak dapat dijangkau jika hanya mengandalkan kerangka pertama. Salah satu poin yang bisa diambil dari cara pandang ini adalah penempuh akan menemukan pemahaman bahwa Islam sebagai doktrin pada akhirnya ditafsirkan dan proses ini menghasilkan spektrum tafsir yang luas. Sementara, tafsir itu sendiri akhirnya menumbuhkan beragam ekspresi budaya dari para pemeluknya.

Sedangkan kerangka yang ketiga adalah memahami Islam sebagai ekspresi budaya atau ekspresi sosial. Poin ketiga ini lebih menunjukkan bagaimana pemeluk Islam mengekspresikan pemahamannya atas Islam sesuai dengan budaya dan lingkungan sosial dimana dia hidup. Misalnya orang-orang di pedesaan Jawa yang agraris mengekspresikan kecintaannya kepada Rosulullah dan sekaligus kepada Allah dengan melantunkan puji-pujian bersama-sama atau  membaca Surat Yasin dalam Al Qur’an secara bersama-sama. Hal ini tidak mungkin atau sangat kecil kemungkinannya terjadi di kota dimana orang lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja.

Ekspresi Budaya Muslim

Jika dilacak lebih jauh ke belakang, maka kita akan menemukan bagaimana ekspresi budaya kaum muslim di pedesaan agraris tanah Jawa seperti kenduri, gamelan, mocopatan yang akhirnya bertransformasi menjadi Sholawatan (lebih tepat disebut sebagai pembacaan Madah Nabawi) itu sejatinya adalah fungsi alat dakwah sebagaimana sekarang berwujud buku, forum, halaqoh, pengajian, situs web bahkan grup media sosial.

Menurut pemahaman Saridin, aktivitas-aktivitas yang saat ini kadangkala atau sering disebut sebagai tradisi Hindu itu sejatinya adalah alat dakwah ketika orang-orang di tanah Jawa belum mengenal model pendidikan. Kalau sekarang, orang berkumpul untuk mengikuti pengajian di masjid atau di tempat lain atau belajar Islam cukup dengan menyentuh layar smartphone atau membuka grup-grup media sosial. Apakah dulu ketika Islam baru dalam periode menanam benih, belum lagi tumbuh, apalagi memiliki fasilitas dan infrastruktur seperti hari ini, hal itu bisa terjadi? Maka, kenduri yang menjadi salah satu moment forum berkumpulnya orang-orang menjadi infrastruktur yang paling mungkin untuk mengenalkan orang kepada Islam. Maka, forum Hindu itu kemudian digeser kontennya menjadi forum Islam. Peristiwanya sama:kenduri. Kontennya berbeda. Seperti halnya samanya peristiwa antara nonton konser dan kampanye politik. Sama-sama berkumpul di stadion.

Dulu, ketika nyaris semua orang belum mengenal baca tulis dan hanya mengenal cerita lisan dan perlambang, maka sego golong, kue puro, kue apem, dsb yang menjadi “kitab wadag” bagi mereka. Sebagaimana orang-orang  tanah Jawa dulu menyimpan pelajaran dengan nama-nama daerah misalnya. Kalau sekarang kaum muslim yang dimuliakan oleh Allah bisa berkumpul beberapa orang, berhalaqah di serambi masjid, bahkan membuat pengajian akbar di stadion itu adalah kenikmatan yang diperoleh saat ummat Islam di Nusantara sudah menemukan bentuk dan rumusan yang jelas tentang Islam dan menjadi mayoritas. Kalau dulu, menurut pemahaman Saridin, bentuk halaqah yang paling efektif adalah mocopatan dan undangan khutbah yang paling menarik adalah wayangan.

Selain tradisi-tradisi tersebut, di desa-desa Jawa, dulu juga sering terdengar puji-pujian kepada Rosulullah atau lantunan syair berlagu berisi petuah-petuah kehidupan dan nasehat akhlak yang dilantunkan untuk mengisi waktu diantara adzan dan iqomat. Saridin baru menyadari salah satu dimensi makna dari pujian antara adzan dan iqomah ini justru ketika menunggu sholat maghrib di Masjid Sultan Singapura. Rupanya, pujian menjelang maghrib itu bagi dirinya berfungsi untuk mempersiapkan kondisi psikologis atau otak berada dalam gelombang alfa yang membuat seseorang merasa tenang. Saridin pun mengambil kesimpulan, barangkali itu salah satu tujuan orang-orang arif zaman dahulu memperkenalkan pujian diantara adzan dan iqomah, ialah untuk mempersiapkan batin seseorang sebelum berhadap-hadapan langsung dengan Allah melalui sholat.

Pemahaman yang Off Side dan Presisi

Bahwa menurut kerangka-kerangka yang dibangun diatas, ada pemahaman yang off side dalam diri ummat Islam harus diakui. Misalnya ada sebagian orang, bahkan orang yang dianggap sebagai ulama sekalipun memahami ekspresi budaya ummat Islam dalam kerangka ibadah mahdoh. Maka keluarlah statemen “bid’ah”. Tentu saja ini kekeliruan cara memilih dimensi seperti halnya Geertz tidak tepat membandingkan antara santri-abangan dengan priyayi. Ibarat sepakbola, memahami Barca dengan memasukkannya sebagai bagian dari Liga Inggris.

Ada pula misalnya sebagian orang yang menganggap bahwa Madah Nabawi (orang Indonesia lebih mengenalnya dengan istilah Sholawatan) adalah bagian dari ibadah mahdoh dan keberadaannya tidak boleh tidak ada. Bahkan ada sebagian sangat kecil dari ummat Islam yang menganggap bahwa susunan bacaan dalam kegiatan Madah Nabawian (Sholawatan) pun tidak boleh diubah atau dihilangkan. Pemahaman ini juga tidak presisi. Ibarat menempatkan perhiasan sebagai pakaian. Perhiasan boleh ada dan boleh tidak. Sementara pakaian harus ada dan dikenakan minimal untuk menutup aurat.

Pemahaman yang off side inilah yang menurut Saridin diangkat oleh kedua Syaikh Saudi di atas. Atau kalau mau melihat cara pandang yang lain, misalnya dari sisi politik, bisa jadi ada pihak-pihak yang sengaja membakar ummat Islam dengan menjadikan perbedaan tafsir atas al Qur’an sebagai bahan bakarnya. Sebab, menurut  Ustadz Ahmad Fuad Effendi, Anggota Dewan Pengawas pada King Abdullah bin Abdulaziz International Center for Arabic Language, orang-orang di Arab Saudi sendiri yang notabene wahabiyah cenderung diam dan tidak mempermasalahkan soal perbedaan pandangan atau perbedaan pendapat dalam memahami Islam.

“Banyak Syaikh-Syaikh Saudi yang lulusan Al Azhar,” demikian kata beliau menanggapi cerita Saridin bahwa ada  mahasiswa Al Azhar asal Indonesia yang dilecehkan oleh rekannya semasa di Pesantren yang belajar di Saudi hanya karena almamater Azhar-nya. Bahkan, menurut cerita Ustadz Fuad,”Di Saudi ada yang namanya Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan yang notabene pengikut salafi-wahabi. Syaikh Salih sudah belasan tahun memiliki sopir orang Indonesia. Dan sopirnya ini adalah Ketua Nahdhatul Ulama Cabang Saudi.”

Maka, tidak heran jika Syaikh Dr. Ahmad Jiilan menyatakan dengan rendah hati,” Sisi lain yang juga perlu diperhatikan, manusia itu mengikuti ulama negerinya. Seiring dengan penghormatan kalian terhadap ulama Saudi dan lainnya, kalian harus menghormati dan mengambil ilmu dari para panutan umat di Indonesia. Misalnya, bila ada seorang tokoh yang sudah berjasa selama puluhan tahun dalam dakwah Islam, mereka juga layak dihormati.”

Jika, dipahami dengan cara pandang yang demikian, semestinya peristiwa penolakan atau pengusiran ulama tidak perlu terjadi karena memang tidak ada ulama yang secara provokatif menyerang pandangan kelompok lain. Kecuali seseorang memandang bid’ah tidak dalam skala dan konteksnya, maka bisa dipastikan hampir semua hal di kehidupan kita ini adalah bid’ah (baru). Menjadi benarlah apa yang banyak tertulis di kaos-kaos anak-anak muda sekarang: Ahlul Bid’ah wal Jamaah. Sesungguhnya kita bersama-sama sedang menjalankan kebaruan. Kemajuan.

Prayogi R. Saputra

Anak desa yang ingin menyutradarai film sekelas Chrouching Tiger Hidden Dragon, Hero dan The Color of Paradise. Sedang belajar di Jannatul Maiyah.

(sumber:http://www.menyambutpagi.com/2017/03/10/ahlul-bidah-wal-jamaah/)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun