Otentisitas Pemikiran Cak Nun dalam Riuh Pemikiran Islam Kontemporer
Cak Nun adalah cendekiawan muslim otodidak. Pemikiran ke-Islam-annya berada di luar jalur utama Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia yang umum dikenal. Seperti disampaikan oleh Greg Barton, “Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia” dipelopori oleh 2 pendekar dari Jombang ditambah Djohan Effendi dan Ahmad Wahib di awal 1970an. Kedua Pendekar dari Jombang yang notabene basis Pesantren dan Nahdatul Ulama itu adalah Nurcholis Madjid yang lebih akrab dipanggil Cak Nur. Seorang pendekar lagi adalah Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Nurcholis Madjid sejak kecil masuk Pesantren di tanah kelahirannya dan terakhir belajar di Pondok Modern Gontor. Setamat dari Gontor, Cak Nur melanjutkan belajar di IAIN Syarif Hidayatullah (Sekarang UIN Syahid).
Sementara Gus Dur adalah darah biru Kiai. Gus Dur cucu dari KH. Hasyim Asy’ari –pendiri Nahdatul Ulama- dan putra dari KH. Wahid Hasyim yang pernah menjabat sebagai Menteri agama diawal kemerdekaan. Gus Dur kenyang dengan pengalaman nyantri di Pesantren. Namun, Gus Dur juga menghabiskan buku-buku hasil pemikiran Barat disela-sela kegiatan rutinnya di Pesantren. Gus Dur kemudian pergi ke Al Azhar yang membuatnya bosan hingga akhirnya pindah ke Baghdad. Dari Baghdad, Gus Dur ingin melanjutkan belajar ke Eropa tapi gagal karena ijazah dari Baghdad tidak diakui di Eropa.
Sedangkan Djohan Effendi adalah pemuda Banjar yang menempuh study di IAIN Sunan Kalijaga (UIN Suka) Yogyakarta, kota yang secara tradisional memiliki akar intelektual yang kuat. Banjar sendiri dikenal sebagai produsen ulama Islam Tradisional. Di Yogyakarta, Djohan Effendi memiliki teman seperjuangan, yaitu: Ahmad Wahib, seorang pemuda dari Sampang Madura yang juga basis Islam Tradisional. Mereka berempat adalah generasi yang lahir menjelang tahun 1940.
Pemikiran-pemikiran mereka tentang masa depan ummat Islam kemudian didukung oleh Mukti Ali, Harun Nasution dan Munawir Sadzali dengan membangun infrastruktur pemikiran dan memfasilitasi para “calon pembaharu” ini dan generasi sesudahnya untuk belajar ke universitas-universitas di luar negeri. Cak Nur belajar ke Chicago, USA, kepada Fazlur Rahman –cendekiawan Muslim asal Pakistan yang masygul karena tidak diterima di tanah airnya sendiri. Djohan Effendi menjadi pegawai negeri. Sedangkan Ahmad Wahib tidak sempat mencicipi penjelajahan intelektual lebih lama karena wafat dengan cara yang tragis di usia 30 tahun.
Mereka berempat–belakangan oleh para peneliti Barat- dikategorikan sebagai kalangan Neo-Modernis. Kategorisasi ini merujuk dari paradigma keempat orang tersebut yang jika dirunut, asal mulanya adalah dari pemikiran yang dikembangkan oleh Fazlur Rahman. Neo-Modernis adalah gagasan yang men-sintesa-kan Rasionalisasi Pemikiran Islam dengan Kajian Kitab-kitab Klasik.
Baik Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid maupun Djohan Effendi merupakan representasi yang akurat untuk kriteria tersebut. Pertama, mereka adalah lulusan Pesantren yang menguasai kitab-kitab klasik karya cendekiawan Muslim abad-abad awal Islam mulai berkembang hingga abad pertengahan Eropa. Kedua, mereka belajar ke perguruan tinggi Islam modern yang membuka wawasan mereka pada hasil ijtihad baru dan wacana-wacana diluar kitab klasik.
Diantara arus besar pembaruan pemikiran Islam itulah, satu generasi sesudahnya-lahir pasca 1950- ada seorang remaja bandel dari Jombang yang “disingkirkan” dari sekolahnya di desa dan kemudian “diusir” dari Pondok Modern Gontor. Pemuda itu kemudian lari ke Yogyakarta. Dia melanjutkan sekolah di SMA Muhammadiyah 1. Setelah lulus SMA, remaja itu sempat mencicipi hampir satu semester kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Dia kemudian memilih hijrah sepenuhnya ke Malioboro dan hidup menggelandang disana bersama para seniman dibawah mentor Umbu Landu Paranggi. Pemuda ini adalah Muhammad Ainun Nadjib yang kemudian dikenal dengan panggilan Cak Nun.
Jika kelompok Neo-Modernis adalah pemuda-pemuda pencari lulusan pesantren dan IAIN, maka Cak Nun muda adalah “orang usiran” dari sekolah, Pesantren dan drop out dari Universitas umum. Cak Nun tidak mengenyam pendidikan formal Islam secara baik dan terstruktur. “Pendidikan Agama”nya otomatis selesai setelah dia diusir dari Gontor. Seperti yang diakuinya sendiri, bahwa ”Saya tidak pernah memiliki Guru.”
Namun, dalam pada itu, di Malioboro dia bertemu dengan seorang Pangeran Sumba yang memilih menjalani hidup sebagai zahid. Laki-laki yang meninggalkan Kerajaan dan seluruh hartanya serta kesenangan-kesenangan yang ditawarkan oleh posisinya untuk hidup menggelandang di Malioboro. Pilihan hidupnya seperti pilihan Sidharta Gautama atau pun Muhyi Din Ibn Arabi. Laki-laki inilah –Umbu Landu Paranggi- seorang guru bagi Para Penyair dan Sastrawan di Yogya era akhir 1960an hingga akhir 1970an.
Kehidupan Umbu sangat unik. Pilihan-pilihan hidupnya juga diluar mainstream pemikiran orang pada umumnya. Keterlibatan yang intens dengan Umbu Landu Paranggi inilah yang diakui Cak Nun sebagai “pengalaman yang menjadi gurunya”. Umbu tidak pernah mengajarinya namun Umbu mengajaknya menikmati pengalaman-pengalaman dan peristiwa-peristiwa yang membuatnya belajar jauh lebih banyak tentang kehidupan.