Mohon tunggu...
MPrayogi
MPrayogi Mohon Tunggu... Mahasiswa - saya mahasiswa di Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta dengan Prodi Hukum Ekonomi Syariah

Hobi saya yakni bermain game, karena tidak semua game bisa dikatakan negatif dari sisi pendidikan melainkan dari game ada sisi postifnya juga. Saya belajar banyak hal yakni cara berkerja sama dengan tim yang baik berkomunikasi, saling komitmen dan disiplin antara mengambil keputusan ataupun mengambil resiko.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Hukum Positivisme di Indonesia: Studi Kasus Hukum Korupsi E-KTP

30 September 2024   20:16 Diperbarui: 30 September 2024   20:16 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus Hukum Positif: Kasus Korupsi E-KTP

Kasus korupsi dalam pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (E-KTP) di Indonesia adalah salah satu kasus korupsi terbesar yang melibatkan sejumlah pejabat tinggi dan pengusaha. Proyek E-KTP yang awalnya bertujuan untuk meningkatkan efisiensi administrasi kependudukan dan menghindari pemalsuan identitas, malah menjadi lahan praktik korupsi.

Fakta Kasus:

  1. Kerugian Negara: Berdasarkan hasil investigasi, kasus ini menyebabkan kerugian negara yang sangat besar, mencapai lebih dari Rp 2,3 triliun dari total anggaran proyek sebesar Rp 5,9 triliun.
  2. Tersangka Utama: Beberapa pejabat tinggi, termasuk mantan Ketua DPR Setya Novanto, dinyatakan terlibat. Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka dan akhirnya divonis 15 tahun penjara.
  3. Modus Operandi: Korupsi dilakukan melalui mark-up anggaran dan suap kepada pejabat pemerintahan untuk memenangkan kontrak proyek pengadaan E-KTP.

Sudut Pandang Saya:

Kasus korupsi E-KTP mencerminkan lemahnya pengawasan dan integritas di tubuh birokrasi serta politik Indonesia. Dalam perspektif hukum positif, tindakan korupsi ini jelas melanggar undang-undang, khususnya UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Namun, kasus ini juga menggarisbawahi masalah struktural yang lebih dalam dalam tata kelola pemerintahan di Indonesia.

Meski pelaku utama telah dijatuhi hukuman, penanganan kasus korupsi sering kali terhambat oleh masalah budaya hukum, seperti tekanan politik dan lemahnya enforcement. Ketika para pelaku korupsi yang memiliki posisi strategis bisa menghindar dari hukuman atau mendapatkan hukuman yang relatif ringan, hal ini menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap sistem hukum. Pada saat yang sama, pendekatan penegakan hukum yang lebih menyeluruh, termasuk reformasi sistem pengadaan barang dan jasa serta penguatan fungsi pengawasan, sangat diperlukan.

Dalam perspektif saya, meskipun hukum telah berjalan sesuai prosedur, penanganan dan pencegahan kasus korupsi harus melibatkan lebih banyak reformasi institusional agar lebih efektif, serta perlunya penanaman nilai integritas di semua lapisan pemerintahan.

Kasus ini tidak hanya penting sebagai contoh pelanggaran hukum, tetapi juga sebagai refleksi atas pentingnya reformasi birokrasi dan sistem politik untuk meminimalisir ruang bagi terjadinya korupsi di masa depan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun