" Melihat keponakannya termenung, muncul gagasan jahat dari Sangkuni. Ia menyuruh keponakannya, Duryodana, agar mengundang Yudistira main dadu dengan taruhan harta, istana, dan kerajaan di Indraprastha.
Duryodana menerima usul tersebut karena yakin pamannya, Sangkuni, merupakan ahlinya permainan dadu dan harapan untuk merebut kekayaan Yudistira ada di tangan pamannya.Â
Duryodana menghasut ayahnya, Dretarastra, agar mengizinkannya bermain dadu. Yudistira yang juga suka main dadu, tidak menolak untuk diundang.
Yudistira mempertaruhkan harta, istana, dan kerajaannya setelah dihasut oleh Duryodana dan Sangkuni. Karena tidak memiliki apa-apa lagi untuk dipertaruhkan, maka ia mempertaruhkan saudara-saudaranya, termasuk istrinya, Dropadi "
Joko Gendeng merenung, dan sesekali geleng-geleng kepala melihat tingkah lalu orang-orang yang dekat dengan penguasa, mereka tidak ubahya seperti ngengat yang berputar-putar terbang mengelilingi lampu.
Lalu dalam perenungannya dia teringat orang-orang yang sedang bermain judi dadu, dan terlintas pula dalam pikirannya tentang cerita permainan judi dadu yang terjadi di masa lampau, di negeri astinapura, beribu-ribu tahun yang lalu.Â
Sambil merenung dia bergumam dan menuliskan gumamannya sendiri seperti orang suci yang menulis sabda tuhan yang diturunkan melalu ilham kedalam kalbunya...
"Dadu itu judi, karena dadu pulalah maka raja Yudhistira (pandawa) mempertaruhkan saudara-saudaranya, istri dan juga kerajaannya pada sengkuni yang bertindak sebagai bandar dan merupakan perpanjangan tangan raja Duryudana (kurawa) dan sudah bisa ditebak bahwa Sengkuni sebagai bandar memenangkan permainan tersebut.
Dimana ada sekelompok manusia dengan tatanan sosial pasti ada kehendak untuk berkuasa, selalu ada permainan dan ada tarik menarik kepentingan yang menjadi garis pemisah antara 2 kelompok manusia, yang satu menjadi kelompok bandar dengan bandar sebagai pusatnya dan satu kelompok lagi menjadi pemain, ada pro dan juga kontra diantara keduanya.
Bandar, orang-orang disekitar bandar serta lawan mereka
Penguasa/pemimpin apapun sebutannya dan dimanapun dia berada aku sebut mereka sebagai bandar meskipun ada juga yang bukan penguasa/pemimpin sama sekali tapi bertindak sebagai bandar mewakili sang pemberi mandat, bandar jenis ini biasanya tingkah laku dan pikirannya seperti anjing penjaga, lebih galak, ganas dan juga buas serta serakah, tidak tahu aturan dan tidak tahu diri karena sudah merasa menjadi tuan.
Ada gula maka ada semut, ada pengusa maka ada orang-orang disekitar penguasa/bandar. Orang-orang disekitar bandar, disadari atau tidak oleh bandar adalah sekelompok orang yang secara tidak langsung menikmati bagian terbesar dari keuntungan yang di peroleh bandar.
Diantara mereka ada yang berperan sebagai parasit, mereka adalah lintah-lintah penghisap, biasanya akan "pergi" setelah perut mereka kenyang , mereka ini adalah orang-orang yang idealis dalam menghisap dan saking idealisnya asal perut sudah kenyang mereka jarang yang mau kembali meski si bandar menang.
Disamping parasit ada sebagian dari mereka yang berperan sebagai bunglon, oportunis sejati yang mencari-cari kesempatan untuk bermain di meja judi dengan dalih ikut "meramaikan" permainan serta mengambil sedikit keuntungan dan di waktu yang lain berlindung di belakang bandar, bukankah tempat terbaik untuk berlindung adalah tempat yang paling berbahaya?
Selain berlindung mereka juga memunguti "recehan" yang terjatuh dari atas meja judi, kadang mereka mencari-cari jalan supaya di beri "kekuasaan" untuk menjadi bandar, menjadi jenis bandar yang sudah saya sebutkan diatas, atau paling tidak diberi kesempatan untuk melempar dadu bagi bandar, buat apa? ya buat menunjukan diri dihadapan semuanya bahwa mereka pun punya kuasa untuk menciptakan kesan-kesan dan menjadi tuan atas kesan yang sudah mereka ciptakan.
Bukankah mereka ini mirip anjing-anjing penjaga yang setia? meskipun setianya mereka hanya pada kepentingan belaka, sekerat daging dan tulang serta sesekali mendapat perintah lebih menarik perhatian daripada harus menjadi pemain, lawan dari bandar. secara terang-terangan menjadi lawan hanya akan membuat perih perut mereka .
Sebaliknya di hadapan penguasa atau bandar ada pemain, musuh yang dibenci sekaligus dihormati dan di kasihi, di cap sebagai setan tapi di elu-elukan sebagai pahlawan. Karena dari mereka inilah kehidupan para penguasa atau bandar berasal serta berakar. Mereka adalah orang-orang yang idealis pragmatis, berani mengambil resiko berhadapan langsung dengan bandar sebagai lawan. Mereka adalah busur sekaligus anak panah, meski anak panah yang mereka lontarkan tak kunjung tepat mengenai sasaran.
"Dadu" sebagai alat pencapai kekuasaan
Lalu apa hubungannya antara dadu dan kekuasaan ? seperti cerita yang terlintas dalam pikiranku mengenai permainan dadu yang terjadi di negeri Astinapura beribu-ribu tahun yang lalu.
Dadu tidak hanya sekedar dijadikan permainan, ajang taruhan harta, tapi juga menjadi ajang taruhan harga diri dimana nilai kebenaran benar-benar digadaikan dan sebagai alat untuk mencapai kekuasaan yang lebih luas.
Mau berapapun angka yang keluar tetaplah bandar yang menang, lho kok bisa? ya bisa saja, angka mata dadu ada 6, jadi kemungkinan angka yang keluar ketika dadu di lempar adalah 1 : 6, berapapun angka yang anda tebak akan punya kesempatan keluar 1 kali dari 6 kali pelemparan, itu pasti! tapi bisa juga 2 kali, 3 kali bahkan 6 kali, tapi ingat tidak ada yang namanya keberuntungan yang terjadi terus menerus dari sisi pemain, kalau ada maka tidak mungkin orang mau menjadi bandar, keberuntungan mutlak ada pada bandar.
Tidak mungkin menyalahkan sengkuni yang berperan sebagai bandar atas nasib malang yang terjadi pada pandawa. Dadulah yang di cela dadu lah yang dihina dan dipersalahkan dan dikambinghitamkan.
Dadu menjadi tameng legitimasi dan alasan bahwa apa yg dilakukan di meja judi adalah kesepakatan bersama, meskipun ketidakadilan selalu terjadi disana. "Dadu" juga menjadi alat bagi bandar untuk mengukuhkan posisinya dihadapan pemain, dalam pemerintahan bandarnya adalah penguasa dan pemainnya adalah rakyat.
Bentuk Dadu
Apakah bentuk dadu selalu kubus? tergantung penguasa ! terlalu banyak bentuk "dadu-dadu" sehingga aku bingung mau menyebutkan bentuk dadu seperti apa, bentuknya bisa fatwa, aturan, undang-undang, baik itu tertulis maupun lisan, kegilaan macam apakah ini? .Â
Sepertiga malam dilampaui Joko Gendeng dalam perenungan, ketika tiba-tiba seekor ngengat terbang mendekati lilin yang menjadi penerang sehingga ia bisa menuliskan perenungannya diatas tumpukan lontar. Ngengat tersebut terbang terlalu dekat dengan api, lantas mati terbakar.
" Ah ternyata seperti itulah akhir cerita orang-orang yang terlalu dekat dengan penguasa, mati terbakar karena bermain dengan api...."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H