Mohon tunggu...
Prayitno Ramelan
Prayitno Ramelan Mohon Tunggu... Tentara - Pengamat Intelijen, Mantan Anggota Kelompok Ahli BNPT

Pray, sejak 2002 menjadi purnawirawan, mulai Sept. 2008 menulis di Kompasiana, "Old Soldier Never Die, they just fade away".. Pada usia senja, terus menyumbangkan pemikiran yang sedikit diketahuinya Sumbangan ini kecil artinya dibandingkan mereka-mereka yang jauh lebih ahli. Yang penting, karya ini keluar dari hati yang bersih, jauh dari kekotoran sbg Indy blogger. Mencintai negara dengan segenap jiwa raga. Tulisannya "Intelijen Bertawaf" telah diterbitkan Kompas Grasindo menjadi buku. Website lainnya: www.ramalanintelijen.net

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Pentingnya Penyelidikan Non-Teknis pada SJ-182

11 Januari 2021   19:00 Diperbarui: 13 Januari 2021   19:45 778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat mendengar berita kecelakaan pesawat Boeing 737-500 Sriwijaya Air, flight number SJ-182, sense of intelijen di abstrak langsung teringat dan mengait dengan kasus kecelakaan pesawat Lion Air flight number JT- 610, rute Jakarta-Pangkal Pinang, 29 Oktober 2018, dengan korban meninggal penumpang dan crew 189 orang. Kasus lain yang pernah dicermati penulis adalah kecelakaan fatal Boeing 777-200, Malaysian Airlines flight number MH-370 dan MH-17. Apakah ada kaitannya? Penulis mencoba sumbang pikir dari persepsi intelijen.

Kecelakaan Sriwijaya Air SJ 182

Pesawat Sriwijaya Air, Boeing 737-500, registrasi PK-CLC, pada hari Sabtu (9/1/2021), flight number SJ-182, Captain Pilot Afwan, enroute Jakarta-Pontianak, pada pukul 14.40 WIB lost contact dan kemudian diketahui pesawat jatuh di perairan Pulau Seribu antara Pulau Laki dan Pulau Lancang.

Dari data yang terekam pada flightradar24, tercatat ketinggian jelajah pesawat Sriwijaya Air SJ-182 turun 5.500 kaki (dari 10.900 ke 5.400) dalam waktu 15 detik, kemudian dari ketinggian 5.400 kaki turun hingga 250 kaki hanya dalam waktu 7 detik.

Operasi pencarian segera dilakukan oleh Basarnas, Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto mendukung dan mengerahkan, "Total keseluruhan 1.398 orang (TNI AD, AL dan AU), 6 sea rider, 6 perahu karet, 25 alat selam, 16 KRI, 5 Heli, 1 CN 295, dan 1 Boeing intai" ujarnya.

Menurut Panglima TNI, Minggu (10/1) berdasarkan hasil sonar KRI Rigel, telah ditemukan serpihan pesawat, selain itu dapat ditangkap juga pancaran sinyal ELT (emergency location transmitter).

ELT adalah perangkat penentu lokasi pesawat yang merupakan bagian dari standar peralatan di pesawat dengan frekuensi 121,5 MHz, yang merupakan bagian black box yang menurut Panglima TNI sudah diketahui posisinya.

Sementara black box terdiri dari dua bagian, yakni perekam data penerbangan (flight data recorder) dan perekam suara di kokpit (cockpit voice recorder). Sebagian kecil serpihan pesawat dan bagian tubuh korban sudah diangkat oleh penyelam dari Kopaska TNI AL.

Penyelidikan Teknis dan Non-Teknis

Dalam sebuah kecelakaan pesawat terbang, dibutuhkan kecepatan pencarian dan dilanjutkan dengan penyelidikan secara teknis. Kegiatan menyangkut lokasi, kemungkinan adanya korban yang masih hidup, serpihan, dan juga pencarian black box yang dapat mengungkap baik data penerbangan serta rekaman pembicaraan di kokkpit. Selain proses penyelidikan teknis juga perlu dilakukan penyelidikan non-teknis.

Kecelakaan pesawat secara teknis umumnya menyangkut human error, cuaca, dan kondisi pesawat itu sendiri.

Dari informasi Flight Radar24, dan ATC, kecelakaan Sriwijaya Air ini terjadi pada ketinggian 10.900 feet, saat SJ-182 climbing menuju keketinggian 29.000 ft.

Menurut Boeing fase kecelakaan terendah saat climbing (5 persen). Data riset statistik perusahan Boeing (1959-2017), menyebutkan 63 persen kecelakaan pesawat terjadi saat proses lepas landas dan mendarat. Rinciannya, 14 persen saat fase take off (7 persen saat rolling di runway dan 7 persen saat fase initial climb).

Kemudian, 49 persen kecelakaan terjadi dalam proses pendaratan. Rinciannya, 27 persen kecelakaan terjadi saat final approach. Lalu 22 persen kecelakaan terjadi saat landing. Kedua fase paling krusial ini sering disebut dengan istilah plus three minus eight: Tahap berbahaya yang terjadi dalam kecelakaan pesawat pada waktu 3 menit pertama saat take off dan 8 menit menuju landing.

Sedangkan, fase terendah kecelakaan ada pada saat climb alias naik ke ketinggian aman (5% insiden), cruising atau terbang normal 11% (Cruising adalah momen saat pesawat sedang berada di udara dan terbang dengan stabil), descent atau turun dari ketinggian (4%).

Pada penyelidikan kecelakaan pesawat Lion Air Boeing 737-800 flight number JT-610 yang jatuh di lepas pantai Karawang, rute Jakarta-Pangkal Pinang, yang menewaskan 189 crew dan penumpang didapat hasil dari KNKT karena ada masalah teknis sistem pesawat dan disebut tidak laik terbang.

Sementara kasus non-teknis yang menarik terjadi pada tujuh tahun lalu, pada 8 Maret 2014, pesawat Boeing 777-200 Malaysia Airlines dengan nomor penerbangan MH-370, awalnya menghilang karena transponder dimatikan, kemudian baru diketahui pesawat masih terbang tujuh jam dan jatuh di Samudra Hindia. Sedangkan rute asalnya Kuala Lumpur-Beijing.

Pesawat lepas landas dari Bandar Udara Internasional Kuala Lumpur (KLIA) pada pukul 00.41 waktu setempat. Pesawat itu dijadwalkan tiba di Beijing pukul 06.30, tetapi kemudian putus kontak sekitar pukul 02.40 waktu setempat, 8 Maret 2014. Adapun posisi terakhir pesawat tersebut sebelum putus kontak berada di kawasan Laut China Selatan di antara Pesisir Timur Semenanjung Malaysia dan ujung selatan Vietnam.

Pesawat tersebut membawa 239 orang, terdiri dari 227 penumpang dan 12 awak pesawat. Secara teknis belum dapat dibuktikan, penyebab kecelakaan. Akan tetapi secara non-teknis itu adalah aksi terorisme proxy, MH-370 telah dibajak oleh captain pilotnya dan ditenggelamkan ke Samudera Hindia pada kedalaman 4.000 meter.

Penulis ikut meneliti dengan cermat dari persepsi intelijen, dan menulis menjadi sebuah buku "Misteri MH-370". Pada kesimpulan akhir penulis menyebutkan aksi teror tersebut adalah operasi clandestine menyerang flag carrier Malaysia sebagai sasaran antar, dengan sasaran akhir menjatuhkan PM Najib, yang terlalu pro China (kasus geopolitik yang sulit dibuktikan).

Serangan teror lanjutan terjadi dengan ditembaknya Malaysia Airlines MH-17 di wilayah udara Ukraina tanggal 17 Juli 2014, saat konflik antara kelompok separatis yang didukung Rusia dan tentara pemerintah Ukraina.

Tim internasional yang dipimpin Belanda menyatakan bahwa rudal BUK yang menghantam MH-17 berasal dari satu unit brigade Rusia yang bertugas di Kota Kursk. Semua penumpang dan awak pesawat Boeing 777 yang berjumlah 298 orang meninggal dunia ketika pesawat hancur di udara terkena tembakan rudal saat melayani rute Amsterdam-Kuala Lumpur.

Pihak pemberontak di Ukraina dan Rusia membantah tidak ada sama sekali persenjataan mereka. Serangan tersebut juga menjadi misteri, karena pihak Ukraina juga memiliki rudal BUK.

Setelah dua kasus MH tersebut, nilai saham MH runtuh. Kedua kasus tidak mampu menjatuhkan PM Najib, akhirnya kemudian dia dikalahkan oleh Mahatir pada pemilu setelah dibongkar bukti korupsi M1DP yang diusut oleh FBI, bahkan kemudian Najib diadili dan dipenjara.

Langkah Penyelidikan Non-Teknis Kasus SJ-182

Ada hal menarik yang perlu didalami dari sisi non-teknis dalam kecelakaan SJ-182.

Fakta pertama, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menjelaskan kronologi hilang kontak antara pesawat dengan pemandu lalu lintas udara (Air Traffic Controller/ATC) setelah lepas landas pada pukul 14:36 WIB.

"Pilot kemudian minta izin kepada ATC untuk menaikkan ketinggian. Pada 14:37 WIB diizinkan naik ke ketinggian 29.000 kaki dengan mengikuti standar instrumen departure," ungkapnya dalam konferensi pers yang dilakukan secara daring, Sabtu (9/1).

Beberapa saat kemudian, pada pukul 14:40 WIB pesawat terlihat terbang menjauh dari rute, ke arah barat daya, sehingga ATC mencoba untuk menghubungi pilot untuk kembali ke koordinat tetapi terjadi lost contact.

Fakta kedua, dilaporkan oleh Flight Radar24, SJ-182 turun 5.500 feet (dari ketinggian 10.900 ft ke 5.400 ft) dalam 15 detik. Sementara dari ketinggian 5.400 ft hingga 250 ft turun dalam 7 detik.

Nah, dari dua informasi tersebut, indikasi sementara jatuhnya pesawat nampaknya ada dua kemungkinan.

Pertama adanya ledakan (bom) sehingga pesawat jatuh tidak terkendali. Menurut Dirut Sriwijaya Air Jeff Jauwena, "Boeing 737, SJ-182 tersebut laik terbang. Sebelumnya terbang ke Pontianak (PP) lalu ke Pangkal Pinang, ini rute kedua ke Pontianak," katanya.

Kemungkinan lain apakah engine mati, dari beberapa aircraft investigation pesawat umumnya masih bisa gliding, tidak langsung jatuh bebas. Kemungkinan lain apakah pesawat memasuki bad weather? Pesawat mengalami "stall" dan kemudian "spin", sehingga pesawat jatuh dengan 'speed' lebih cepat. Mengapa penulis menyarankan aparat intelijen alert?

Maksudnya cara berfikir worst condition dari intelijen, apabila ada aksi sabotase, bom, suicide bombing atau teror lain dari indikasi yang ada (tidak ada 'mayday') sebaiknya dilakukan tindakan preventif, untuk mencegah serangan lanjutan.

Walau penyebab kecelakaan pasti masih harus menunggu black box, tetapi dibutuhkan waktu beberapa bulan untuk mengurainya. Nah, jarak waktu ini dalam intelijen merupakan kerawanan yang harus diantisipasi aparat keamanan. Rumus kerawanan apabila dieksploitasi lawan bisa menyebabkan kelumpuhan.

Ungkapan Duka dan Saran Pengamanan Intelijen

Inalillahi wa inna Illaihi rojiun. Kita jelas bersedih, ada saudara sebangsa yang menjadi korban, penulis sangat bersedih karena Captain pilot SJ-182, Afwan adalah purn TNI AU, almarhum alumnus penerbang IDP IV (mantan Penerbang di Skadron 4, Malang, dan penerbang Skadron 31 Hercules, Halim, diketahui sangat berpengalaman).

Selain itu juga istri dari Letkol Khaidir, Kadislog Lanud Supadio, Pontianak beserta dua putrinya yang masih kecil ikut menjadi korban.

Mari kita doakan semoga Allah mengampuni segala kesalahan dan kekhilafan para korban SJ-182. Aamiin Ya Rabbal Alamin.

Sebagai penutup, untuk antisipasi, penulis menyarankan: Pertama, aparat intelijen kontra teror BIN, Bais, Densus 88, Koopsus TNI melakukan penyelidikan data baik crew maupun penumpang secara detail latar belakang dan kegiatannya.

Kedua, mohon dilakukan pemeriksaan data antecedent petugas counter saat penumpang check in. Lakukan pemeriksaan security SOP pengamanan check in di Bandara Soetta dan bandara-bandara lainnya.

Kita sadari bahwa sedikit banyak pandemi Covid-19 sedikit banyak berpengaruh dan membuat lelah dan tidak nyaman para petugas di Bandara dan bisa saja memengaruhi ketelitian.

Paling tidak, aparat keamanan harus tetap harus alert, beberapa waktu terakhir, ada 23 teroris yang ditangkap, bahkan di antaranya ada eks tokoh kasus bom Bali, sudah 19 tahun berkeliaran dan bisa saja sudah melatih kader.

Selain itu ada kasus pelibatan intelijen asing di Indonesia yang mencoba memengaruhi baik ke Muslim moderat dan Muslim konservatif, jelas terbaca dari kunjungan Pompeo ke GP Ansor dan anggota intel BND Jerman Suzanne Hol ke FPI. Apakah pola serangan seperti ke Najib akan dipraktekkan di sini?

Penulis pernah mengingatkan dalam tulisan terdahulu, agar kita hati-hati ada residu operasi intelijen clandestine di sini. Masa kini operasi conditioning selalu menggunakan kontraktor (proxy).

Kalaupun demikian adanya latar belakang kasus, penulis menggunakan rumus Sherman Kent's Strategic Intelligence (Estimates of the speculative evaluative element) membaca kasus besar proxy yang muncul tetapi setengah tersebunyi nampaknya lebih berupa 'message' ke pemerintah, khususnya ke Presiden Jokowi. Penulis mencium bau-bau kasus geopolitik dan geostrategi dalam beberapa kejadian akhir-akhir ini, termasuk fanatisme.

Apakah juga SJ-182 bagian dari korban proxy atau 'lone wolf'?

Wallahualam, waktu yang akan membuktikan. Intelijen harus cepat bertindak, jangan terlambat dan menunggu dari informasi black box, karena jeda cukup lama dan inisiatif ditangan mereka.

Counter intelligence yang ampuh akan meniadakan kasus serangan sabotase atau suicide baik proxy war, jaringan teror, ataupun lone wolf dalam penerbangan atau mungkin target lainnya.

Semoga bermanfaat. Pray Old Soldier.

Penulis : Marsda TNI (Pur) Prayitno Wongsodidjojo Ramelan, Pengamat Intelijen

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun