Setelah pelaksanaan debat pilpres pada Sabtu (30/3/2019) malam antara Capres Jokowi dengan capres Prabowo, penulis menyusun artikel ini  untuk menanggapi ucapan capres Prabowo  yang menilai kondisi pertahanan dan keamanan Indonesia berada pada titik yang lemah dan juga rapuh.
Dengan pertahanan dan keamanan negara yang rapuh ini, kata Prabowo, Indonesia tidak memiliki kekuatan militer yang kuat untuk bisa mengantisipasi gangguan yang mengancam kedaulatan negara.
Dia juga mengatakan bahwa politik diplomasi luar negeri yang bagus pun tidak akan ada artinya, kalau pertahanan dan keamanan negara masih dalam kondisi jauh dari yang diharapkan.
Sebagai penulis yang khusus menganalisis masalah hankam dari persepsi intelijen, selain  masalah politik, kedirgantaraan, dan budaya, penulis sangat menyayangkan ucapan tersebut, rasanya kurang pas dan kurang memperhitungkan side effect sebagai capres.
Prabowo kini mendapat sanggahan dari senior dan temannya, Menkopolhukam Wiranto menanggapi dengan keras, dan demikian juga Menhan Ryamizard Ryacudu yang sering ceplas ceplos terukur, menyatakan tersinggung sebagai Menhan.
Tentang yang dikatakan soal budaya ABS di TNI, soal ucapan yang oleh komunitas purnawirawan dinilai sombong, penulis tidak akan membahas. Tulisan ini fokus memberi gambaran bahwa dengan alutsista dan penyiapan sumber daya manusia, kita tidak lemah dan rapuh.
Penulis memahami dalam persaingan pilpres saat ini, kalau Prabowo sebagai penantang petahana ingin dinilai memiliki rencana hebat bila menang, dia akan menyebutkan apa yang kurang, jelek atau lemah dari petahana. Tapi ada yang masalah prinsip yang dilupakannya.
Sebagai seorang yang pernah tugas di TNI, jangan sentuh dengan nada negatif masalah pertahanan dan TNI, institusi terhormat dimana dia pernah berkarier, dapat pangkat, jabatan, kehormatan, makan nasi TNI dan segala tetek bengeknya. TNI sejak kita merdeka selalu menjadi tulang punggung dalam menjaga negara.