Gus Ali adalah nama panggilan dari KH Agoes Ali Masyhuri dari Pondok Pesantren Progresif Bumi Shalawat Sidoarjo yang kecil sederhana. Kiai yang satu ini juga sederhana, merakyat, tetapi tausiyahnya mengena dan menyentuh hati serta pikiran bagi yang mendengarkan. Simpel, maknanya dalam.
Di balik kesederhanaanya itu ternyata ilmunya tinggi, baik dari perspektif Islam maupun sosial budaya. Sebagai tokoh NU di Jawa Timur, pengaruhnya besar. Karena itu banyak para pejabat, dari Panglima TNI, Menteri hingga Presiden juga pernah mengunjunginya.
Sebagai penulis, saya mencermati ungkapannya tentang kemajuan bangsa terkait dengan pendidikan "Masya Allah! Di antara tanda kemajuan sebuah Bangsa bisa dilihat dari kualitas pendidikan, minat baca, jumlah perpustakaan dan toko buku.Â
Jujur saja, kita semua telah gagal menciptakan budaya baca pada para siswa, karena rendahnya jumlah perpustakaan dan minimnya jumlah buku," ujarnya.
Hal menarik lainnya, beliau prihatin dengan perkembangan Islam di Indonesia yang terbaca dimanfaatkan oleh beberapa pihak.
"Dimanfaatkan dengan kecongkakan spiritual untuk kepentingan duniawi, kurangnya rasa peduli. Spiritual dan kepuasan diri, lebih buruk daripada keburukan yg melahirkan ketawadhuan dan penyesalan," ujarnya.
Analisis
Gus Ali berpendapat bahwa Bangsa Indonesia akan lebih maju bila pendidikan ditingkatkan. Memang kebiasaan membaca dalam rangka menambah ilmu dan wawasan di sini belumlah menjadi sebuah budaya.Â
Sangat berbeda dengan penduduk dari negara-negara maju. Dengan banyak membaca, seseorang akan lebih luas wawasannya, lebih cerdas dalam mengambil keputusan.
Membaca buku di perpustakaan kini telah dikalahkan dengan kemajuan teknologi komunikasi. Dunia maya menjadi raja, di mana media sosial adalah primadonanya. Informasi yang beredar demikian mudah di akses dari aplikasi HP yang ada di tiap orang.Â
Isinya bisa baik hingga yang buruk, semua ditelan oleh mereka yang wawasannya kurang dan parahnya terus memercayainya.
Di lain sisi, Gus Ali juga melihat ada yan memanfaatkan ketaatan umat Islam terhadap akidah. Kemudian perkembangannya menjadi buruk dan melahirkan kecongkakan sepiritual dan kepuasan diri dari sementara orang dan kelompok. Banyak yg tidak sadar bahwa politik telah memanipulasi ketaatan umat untuk tujuan tertentu.
Disaat pengetahuan masyarakat belum terlalu paham dengan bahaya yang terselubung, kini beredar berita-berita yang merusak pikiran. Dengan kebebasan dan mudahnya media sosial di akses serta pemanfaatan ketaatan umat Islam tadi, terlihat ulah dari strategi "intelligence conditioning". Intinya memengaruhi dan mengubah mindset seperti yang diinginkan.
Kiai yang sederhana itu sudah prihatin sejak akhir 2017, dari kesederhanaannya beliau lebih jujur melihat kondisi bangsa ini, tanpa muluk-muluk berteori dan bersikap arogan. Kesederhanaan membuat sekat antara beliau dengan publik menjadi tidak ada.
Mengapa? Karena masyarakat Indonesia itu yang mayoritas Muslim moderat juga umumnya sederhana dan bukan yang suka ribut-ribut. Ini bukti bahwa kesederhanaan pemimpin dan kejujuran bicaranya sangat disukai masyarakat.
Mari kita bersama mewaspadai tindakan serta upaya memecah belah yang dapat merusak persatuan dan kesatuan. Sebuah bangsa akan maju bila mampu bangkit dari kebodohan, ketidakpedulian serta menghindari pemikiran yang terlalu sentris, fanatis, dan sempit.
Kalau masyarakat sudah terkontaminasi, percaya dengan berita-berita hoaks, provokasi, black propaganda dan isu-isu negatif, selamanya kita hanya akan jalan di tempat, tidak ke mana-mana.
Kondisi akan lebih parah apabila tidak ada "social control". Dapat diperkirakan, akhirnya sesama anak negeri akan gebuk-gebukan sendiri. Perlu diingat, resikonya terlalu besar untuk dipertaruhkan. (PRAY)
*) Marsda Pur Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H