Sejak akhir Juli hingga minggu ketiga Agustus, penulis tidak membuat satupun tulisan di Kompasiana. Disamping mempunyai kesibukan yang semakin padat, bulan puasa adalah bulan suci dimana penulis mencoba berada pada sisi kepercayaan membersihkan diri dan kalbu. Agak khawatir apabila Ramadhan ini kita berdiskusi diwilayah yang agak kurang pas, takut dosa, itu saja alasannya. Berhubung penulis melihat perkembangan situasi pada akhir-akhir ini yang menjurus kearah yang berbahaya, hati ini  menjadi sangat miris....ada apa sebenarnya ini. Pada kesempatan ini penulis mencoba merangkum beberapa informasi sejak diundang menjadi narasumber soal penangkapan Ustadz Abu Bakar Ba'asyir di TV One minggu lalu. Sebelum menjawab pertanyaan presenter, penulis memberi salam kepada teman-teman di Kompasiana, sahabat di Face Book (Prayitno Ramelan) dan Twitter (@prayramelan). Soal penangkapan Ustadz Abu (ABB), masih terlihat bahwa terorisme di Indonesia belum akan selesai dengan segera. Melihat bahwa terorisme masih merupakan ancaman serius dan nyata, dan dapat membahayakan keamanan bangsa dan negara, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden No.46/2010 tanggal 16 Juli 2010 tentang Badan Nasional Penaggulangan Terorisme (BNPT). Mudah-mudahan badan bisa segera bekerja, untuk menghindari semakin meluasnya faham/mazhab terorisme di Indonesia. Dalam hal ini penulis berfikir sederhana, kalau memang nanti terbukti di pengadilan bahwa ABB adalah tokoh utama masalah teror di Indonesia, bukankan ini merupakan informasi intelijen yang sangat penting. Kita tahu bahwa terorisme bekerja dengan senyap, menggunakan pola dan metoda intelijen, tetapi strategi yang dipakai adalah strategi militer. Yang sangat sulit adalah menentukan siapa otak atau dalang dibalik itu semua. Kalau para kader aktif atau pimpinan sudah diketahui, elemen komando serta unit-unit dibawahnya dapat dibongkar, nah, kalau benar ABB dalangnya, bukankah ini merupakan entry point pemerintah kearah upaya peredaman. Yang dimaksud disini adalah menyelesaikan tindak teror dengan meniru penyelesaian cerdas mengenai masalah GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Artinya begitu sang tokoh (Hasan Tiro) diajak bicara maka semua pasukan GAM akan tunduk kepada keputusannya. Pengendalian ABB menurut kacamata intelijen terhadap jaringan sementara ini dinilai cukup kuat, hanya mungkin solusinya agak berbeda dengan masalah GAM itu. Formulanya kan bisa dibahas kemudian, yang penting ide dasarnya disetujui dahulu. Kemudian soal keamanan yang rawan adalah masalah perampokan yang semakin ganas. Mereka (para 'garong' itu) kini membawa senjata berat jenis AK, yaitu senjata serbu dalam sebuah pertempuran. Sepertinya mereka makin berani dan nekat, Brimob ditembak hingga tewas. Tidak bisa membayangkan ada kelompok perampok berjumlah 16 orang dan berhasil menggondol Rp 1,5 milyar. Uang sebanyak itu bisa untuk membuat bom seperti Bom Bali-1 yang berharga Rp 500juta. Nah kalau mereka teroris bisa bahaya bukan. Yang menakutkan kalau mereka bukan teroris, artinya ada kelompok sangat berbahaya selain teroris yang mempunyai senjata berat. Kita tidak bisa membayangkan kalau kelompok seperti ini menyerang beberapa Bank yang ada di PIM misalnya. Disamping itu dibeberapa kota lain juga terjadi perampokan bersenjata pistol. Apakah aparat keamanan mampu mengamankan semua obyek yang berbau uang? Nampaknya memang Polisi tidak perlu ragu-ragu bertindak tegas kepada para perampok bersenjata ini. Masalah kasus meledaknya tabung Elpiji tiga kiloan nampak menyeramkan setelah ditayangkan di media elektronik, bom hijau katanya. Sejak dilakukan penggantian minyak tanah dengan gas elpiji, pemerintah memberikan tabung dan perangkatnya secara gratis kepada masyarakat yang tidak mampu. Ledakan demi ledakan terjadi dibeberapa tempat, ternyata bukan tabungnya yang meledak, tetapi adanya kebocoran gas pada selang ataupun regulator. Kebocoran yang tidak difahami rakyat bawah, kemudian menyebabkan gas yang terkumpul dilantai, saat dilakukan petikan api langsung meledak. Penyebabnya dilatar belakangi perbedaan harga antara tabung 3 kilo dengan yang 12 kilo, kemudian banyak yang mengoplos memindahkan gas 3 kilo yang lebih murah ke tabung 12 kilo. Hal tersebut menyebabkan seal rusak dan gas menjadi bocor. Akhirnya terjadilah musibah demi musibah. Jadi persoalannya saat kebijakan diambil, tidak ada yang berfikir bahwa perbedaan harga akan mengakibatkan pengoplosan. Banyak yang berfikir spekulasi dagang tanpa berfikir resiko bagi orang lain. Kemudian muncul isu amandemen UUD 1945, bertiup pemikiran kader Partai Demokrat yang melihat belum ada pemimpin yang mampu menggantikan Pak SBY. Jadi katanya UUD yg perlu dirubah, masa jabatan presiden yang tadinya dibatasi dua kali katanya mau dirubah menjadi tiga kali. Nah, ribut lagi dunia politik yang memang sering ribut. Presiden SBY langsung membantah, walaupun beberapa lawan politiknya masih curiga. Persoalan mendasar adalah belum adanya calon kuat dari Demokrat, sementara dari PDIP ya nampaknya tidak jauh-jauh tetap Bu Mega, dari Golkar ya Bang Ical itu. Mengingat bahwa budaya politik masih kental dengan yang namanya paternalistik, peran patron tetap melekat pada konstituen. Anda boleh percaya atau tidak, kalau sekarang dilakukan pilpres dan SBY tidak ikut, maka yang akan menang ya Bu Mega itu. Penulis hingga hari ini masih percaya bahwa tanpa keikutsertaan SBY pada 2014, Mega akan menjadi alternatif terbaikdan paling menarik bagi rakyat. Memang pendapat penulis banyak dibantah orang, tapi yah kita lihat nanti, tanpa perubahan signifikan, Mega yang akan jadi juara pada 2014. Partai Demokrat tidak akan sanggup membangun citra atau 'brand image' seorang calon yang masih disembunyikan oleh mereka, brand image tidak bisa dibangun setahun dua tahun. Isu yang akan mendorong Ibu Ani menjadi capres rasanya tidak mungkin terleksana, calon terkuatnya bisa saja orang terdekat dan paling dipercaya oleh SBY dan yang paling berkelas. Djoko Suyanto mungkin? Kalau urusan partai, saat ini PD jelas jauh lebih unggul dibandingkan PDIP dan Golkar, PD sedang ditata secara modern, sementara partai saingannya masih tetap saja dikelola secara tradisional. Strategi PD walau kalah di pilpres, legislatif akan diusahakan dikuasai. Lebih bagus apabila keduanya dimenangkannya lagi. Mengenai isu reshuffle kini mulai muncul kembali. Nampaknya bulan Oktober akan menjadi bulan sangat penting bagi bangsa Indonesia. Dimana jabatan Panglima TNI, Kapolri dan Jaksa Agung akan diganti. Pembicaraan warung kopi menyebutkan (maaf ini berita burung), akan dilakukan juga pergantian menteri diantaranya Menkominfo, Menkes, Mentan, Mensos, Menkumham dan kemungkinan salah satu Menko (Perekonomian?). Yang hebat kata informasi itu (informasi adalah bahan keterangan mentah yang belum dinilai), akan masuk empat kader PDIP yaitu Puan, Cahyo Kumolo, Pramono Anung dan Efendi Sombolon. Ini nampaknya wajar, melihat demikian gigihnya Pak TK membentengi Pak SBY. Kita lihatlah nanti, perkembangan  berita warung kopi dari para intel Melayu itu. Apakah Mega memang sudah mau berdamai? Sehingga kadernya boleh bergabung ke pemerintah. Keduanya bertemu pada saat peringatan kelahiran Pancasila, dimana Mega nampaknya agak luruh hatinya setelah SBY menyebutkan demikian besar peran Bung Karno. Terlebih sang putri 'Puan' akan diberi jabatan bergengsi sebagai Menteri. Insiden perbatasan antara tiga petugas DKP yang ditangkap polisi air Malaysia saat mereka menangkap tujuh nelayan Malaysia telah mengundang kritikan keras terhadap Menlu/Deplu/Pemerintah. Yang mengemuka kemudian masalah kedaulatan dan harga diri sebagai bangsa yang berdaulat. Masyarakat mengatakan bahwa tidak pantas tiga PNS ditukar guling dengan tujuh pencuri ikan. Dengan gagah berani saat dipanggil ke DPR, Menlu Marty mengatakan bahwa tidak ada wacana barter atau tukar guling tersebut. Indonesia tidak bisa menarik Dubes RI di Malaysia, karena masalahnya nanti ada di pihak Indonesia, sebab kita mempunyai masalah TKI, Perbatasan dan traffiking serta soal urusan WNI yang akan dihukum mati di Malaysia. Sebetulnya yang menggelitik, saat ditangkap DKP, nelayan ikan Malaysia mampu menghubungi dan mendatangkan segera polisi Malaysia. Sementara petugas negara Indonesia (DKP) bekerja tanpa perlindungan, dan langsung ditangkap polisi Malaysia, yang kabarnya melepaskan tembakan. Dengan perkasanya polisi Malaysia memborgol PNS kita. Setelah dilakukan diplomasi tingkat 'sangat' tinggi, 3 petugas DKP dilepas dan kemudian akhirnya nelayannya juga dilepaskan. Itulah namanya petugas DKP bekerja dengan apa adanya, sekedarnya bukan? Modalnya hanya seragam dan peluit, sementara Malaysia bermodalkan senjata api. Setelah itu baru semuanya ribut dan bahkan ada pemikiran mau mempersenjatai DKP, nah salah lagi kan?. Yang menarik perhatian penulis kemudian adalah datangnya sejumlah tokoh Jenderal senior ke MPR pada Rabu (25/8) menemui Pak Taufik Kiemas yang baru sembuh dari sakit. Para jago tua iru dibawah kordinasi Jenderal TNI (purn) Try Soetrisno. Kelompok 17 yang terdiri diantaranya Kharis Suhud, Sayidiman S, Soeryadi Soedirdja, Wijoyo Suyono, Prof Soebroto, Saiful Sulun, Kiki Syahnakri, Moestahid Astari dan lain-lainnya. Mereka mewakili organisasi LVRI, PPAD (Persatuan Purnawirawan TNI AD), Barnas, Padmanagari, Komunikasi Purnawirawan TNI-Polri dan beberapa lainnya. Para tokoh itu menemui Ketua MPR untuk mengirim petisi keprihatinan terkait masalah kehidupan berbangsa yang mereka nilai makin terpuruk. Menurut mereka rakyat nakin menderita, orang miskin makin banyak, dan semakin jauh dari cita-cita merdeka. Pemerintah dinilai ragu dan lamban, koalisi hanya untuk harmoni menghindari konflik. "Pemimpin malah membiarkan negara jadi keroyokan bangsa lain," kata jubir Siburian. Selanjutnya mantan Mendagri Letjen TNI (Purn) Soerjadi Soedirja menyampaikan bahwa perubahan yang dilakukan saat ini tidak nggenah, tidak jelas. Para pejabat masih feodal, libido kekuasaan luar biasa, kalau duduk lupa berdiri, katanya. Mereka tidak mau mendengar, orang, maunya menang sendiri tetapi mengalami rendah diri. Menurut Jenderal Purn Try Soetrisno, untuk mencegah ini semua, yang harus dilakukan MPR adalah impeachment. MPR harus memberikan pedoman dan kebijakan bernegara kepada Presiden, "Jika tidak dilaksanakan dan presiden dipanggil dua kali, maka MPR menggelar sidang istimewa untuk melengserkan presiden" kata Try Soetrisno. Taufik Kiemas, menjawab dengan santai, bahwa bahwa pemerintahan SBY tidak neolib-neolib amat, pemerintah punya program memberi subsidi Rp 103 triliun kepada rakyat. Yang penting kata Taufik, masyarakat harus mendorong pemerintah lebih berani dalam mengambil sikap. Soal kedaulatan negara yang diinjak-injak, TK mengatakan akan mengusulkan supaya anggaran TNI ditambah. Taufik mengatakan mendengar suara itu, dan akan tetap bertanggung jawab soal Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika. Nah, dari beberapa perkembangan situasi umum, kita melihat bahwa gelombang kritik terhadap pemerintah terlihat semakin menguat. Menyangkut soal keamanan, teroris, rampok, gas meledak, rakyat tanpa disadari menjadi makin frustrasi. Bisa kita bayangkan betapa faktor psikologis menjepit rakyat saat akan menggunakan tabung 3 kilo tersebut. Soal kebangsaan yang terinjak-injak, bukankan memang kita sudah diinjak-injak Malaysia sejak dahulu? Saking marahnya Bung Karno pernah mengatakan "Ganyang Malaysia." Nampaknya semua permasalahan adalah soal kordinasi yang belum berjalan seperti yang diharapkan. Masing-masing jalan sendiri-sendiri kira-kira begitulah. Satu hal khusus yang menurut penulis perlu disikapi lebih hati-hati oleh pemerintah dan SBY adalah gerakan kelompok 17 (para senior) ke MPR. Secara sepintas mereka hanya terlihat sebagai orang tua, jenderal masa lalu yang kini bisa dinilai tidak puas dan banyak yang bertongkat. Tetapi apabila dinilai lebih jauh, ada kelompok masyarakat yang masih menunggu tokoh pemersatu gerakan anti pemerintah, opini tanpa terasa mulai ada. Bila dinilai dengan ilmu demokrasi, wajar orang menjelekkan presiden, tetapi apabila diteliti lebih jauh, demokrasi dimanfaatkan untuk menurunkan citra, itulah yang sedang terjadi.  Jenderal senior bisa saja  dijadikan acuan, rakyat bisa menyimpulkan bahwa ada kelompok di TNI yang tidak puas terhadap kondisi negara. Dalam budaya militer, senior adalah panutan, terlebih senior yang tanpa cacat. Kini yang disampaikan mereka apabila selaras dengan ketidak puasan masyarakat, bukankah persatuan bisa terbentuk dan membahayakan?. Bahkan bisa saja pengaruh tersebut dapat melebar kepada para junior yang masih aktif. Penulis melihat disini nampaknya telah terjadi dead lock antara Pak SBY dengan para seniornya. Walaupun PPAD hanya berisi purnawirawan, tetapi itu adalah sebuah organisasi resmi dimana semestinya SBY berada didalamnya. Yang terjadi, mereka menyuarakan negatif, bahkan hingga tingkat impeachment. Nah, kini semua kembali ke pemerintah, kepada Pak SBY, kepada sistem. Kondisi seperti ini dapat dikatakan mulai dalam tahap waspada, telah terjadi cluster, atau semacam pengelompokan sesuai dengan kepentingan masing-masing. Hal-hal seperti ini nampaknya kurang baik bagi kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalah artinya kesatuan dan persatuan, apabila komunikasi tidak berjalan. Apabila terjadi gesekan diantara cluster, kita tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi nantinya. Wajar bila kita dukung pemerintahan yang syah, dan mestinya pemerintah juga mau mendengarkan apa aspirasi rakyatnya....Penulis mohon maaf apabila ada tulisan yang tidak pas. PRAYITNO RAMELAN, Pemerhati Intelijen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H