Bola panas /ilustrasi (abstact.desktopnexus.com)
Pada tanggal 13 Juni 2011 penulis membuat artikel dengan judul yang mirip dengan judul artikel ini, hanya subjeknya yang berbeda. Pada artikel 4 tahun yang lalu subjeknya adalah Presiden SBY, nah kali ini yang penulis cermati sebagai target penggiringan adalah Presiden Jokowi. Apakah mungkin? Itulah pertanyaannya terkait dengan situasi yang berlaku.
Mari kita analisis kondisi terkini, dimana Jokowi menurut penulis terpaksa memegang bola panas yang bisa liar memantul kesana kemari, apabila dia salah sedikit saja dalam mengambil keputusan.
Penulis mulai dengan intro seperti 4 tahun lalu. Didalam taktik pertempuran,  memasukkan lawan ke dalam killing ground adalah salah satu taktik ampuh untuk membinasakan lawan. Lawan akan dipaksa tanpa daya berada disuatu wilayah dimana dia hanya dapat bertahan dan terus di tembaki hingga habis.
Nah, melihat situasi dan kondisi perpolitikan di tanah air, dengan 'sense of intelligence', terlihat pada tahun 2011 sebuah upaya sistematis untuk menghancurkan partai yang berkuasa (Partai Demokrat), dan juga tokoh utamanya Pak SBY yang saat itu  menjadi Presiden RI ke-6.
Apabila dicermati dengan lebih mendetail, perusakan baik parpol maupun citra SBY dilakukan dengan gempuran psikologis yang efeknya akan berjalan bak bola salju. Penulis melihat disini, SBY sedang digiring menuju killing ground, dan akan ditembaki bersama serta diadu dengan rakyatnya. Nampaknya dengan pengalamannya sebagai militer cerdas, SBY mampu membaca upaya tersebut dan menetralisir dengan melakukan pengamanan baik pribadi, organisasi dan kegiatan.
SBY tidak lepas dari parpolnya, bahkan dikatakan lebih besar dibandingkan Partai Demokrat. Pada saat itu PD dinilai  mempunyai tiga kelemahan, pertama dalam mengenal diri sendiri, politisi PD kerap mengalami rabun penglihatan, menjadi sombong dan arogan setelah berhasil meraih sebuah sukses. Akibatnya penglihatannya menjadi kabur dan gagal mengenali kelemahan dan kekuatannya.
Kedua, politisi PD kurang tekun mempelajari  perilaku musuh. Strategi Sun Tzu dalam bab ke-13, atau langkah terakhir, menganjurkan pemakaian intelijen untuk memastikan keberhasilannya. Mereka yang tidak menguasai medan pertempuran dan gagal dalam mengikuti dinamika kompetisi, biasanya tidak akan memiliki kesempatan untuk memanfaatkan momentum. Sebaliknya, politisi yang mengontrol dinamika kompetisi akan mampu terus-menerus berinovasi dan menciptakan momentum. Tetapi kelemahan Demokrat teratasi dan tertutup dengan kepiawaian SBY yang memang pintar dan rajin membaca serta cukup pengalaman dan kenyang makan asam garam.
Saat itu SBY terus digiring agar tegas. Dia terus dikatakan peragu. Tetapi SBY bergeming, dia faham apabila kebijakannya diwarnai dengan sikap tegas, maka dia akan menghadapi lawan politik yang mengepungnya, lebih fatal apabila dia berada di sebuah lembah ketidak berdayaan, dan musuhnya berada di posisi atas serta bersama-sama menembaki, bisa dipastikan SBY akan runtuh dan jatuh sebagai pimpinan nasional.
Serangan tingkat tinggi yang berbunyi "tegas dan jangan peragu" itulah killing ground-nya. Dia hebat bisa berkelit dan bertahan dengan mengatakan butuh waktu supaya teliti. Maka selesailah tugas daqn tanggung jawab SBY hingga akhir masa jabatannya dengan selamat. Sebelumnya ada  presiden yang jatuh karena tidak menyadari besarnya lawan politiknya, bahkan ada bau-bau dihianati.
Posisi Politik Jokowi
Kini kita setuju bahwa posisi politik Jokowi menjadi presiden RI moncer dan kuat terutama karena kharismanya yang menarik, muda, apa adanya, sederhana, tidak ribet, suka blusukan, dekat dengan rakyat, jujur, anti korupsi dan banyak lagi daya tariknya hingga mampu menumbangkan Jenderal Top Prabowo dalam pilpres.
Kita dan bahkan para pemimpin dunia terkesima saat setelah pelantikan, betapa rakyat demikian antusias mendukungnya. Jokowi yang didampingi JK Â diarak dalam terik matahari dari HI ke Istana pakai kereta kuda. Dengan gayanya yang khas, senyumnya yang polos maka beliaulah presiden rakyat Indonesia yang demikian dicintai karena diyakini akan mampu membawa perubahan.
Dengan baju putih lengan digulung, semboyan kerja-kerja -kerja, menunjuk menteri yang juga menyesuaikan ikutan blusukan. Semua yang tadinya gelap bagi Pak Presiden ini, kemudian menjadi terang. Apapun dihadapinya dengan tenang dan penuh percaya diri. Pertemuan besar dengan negara-negara besar, pemimpin dunia bisa dilakoninya dengan cantik. Kuncinya kesederhanaan, tidak neko-neko.
Kepercayaan rakyat semakin membesar, apa saja keputusannya didukung rakyat yang memang mencintai dan mengharapkannya sebagai pangeran pembawa kebaikan.
Mendadak, pada tanggal 12 Januari 2015, Presiden Jokowi menyatakan terkejut, seperti dikatakan Sekretaris Kabinet Andi Wijajanto, begitu mendengar KPK menetapkan Komjen Polisi Budi Gunawan (BG) yang dia pilih sebagai calon tunggal Kapolri sebagai tersangka.
Kemelut terus bergulir, sanggahan demi sanggahan terus muncul, meminta presiden menarik pencalonan BG. Yang terjadi kemudian, anggota DPR Komisi III mendatangi rumah BG, menyatakan akan tetap melakukan bahasa tingginya fit and proper test (uji kelayakan). Itu dilaksanakan oleh Komisi III minus fraksi Partai Demokrat, hasilnya BG disetujui sebagai calon Kapolri, kemudian satu hari kemudian dilakukan sidang paripurna, juga disetujui. DPR menulis surat  kepada presiden, menyatakan proses politik prinsip menyatakan BG lulus.
Nah, sejak itulah maka bola panas berada digenggaman presiden. Penulis merenungkan, mengapa presiden sebagai pimpinan nasional kok harus berada di posisi sangat sulit (Surya Paloh menyebut istilah dilema). Menurut penulis sepertinya ada yang salah disini. Pimpinan nasional tidak seharusnya menjadi seseorang dimana seluruh pembantunya, menteri, politisi, dan lain-lain ubo rampe menempatkannya harus berfikir dan memutuskan sesuatu yang kritis. Yang diberitakan kemudian presiden sibuk mencari informasi kondisi yang tidak baik tersebut.
Penulis jadi mengingat saat menjabat sebagai Kepala Dinas Pengamanan AU, pimpinan TNI AU tidak dibenarkan menyopir sendiri, karena kalau terjadi insiden fatal, dia bisa terkena kasus hukum. Karena itu selalu ada sopir yang stand by, menyopiri, karena dialah bumper pimpinan tertinggi di TNI AU. Bayangkan kalau nyopir, kemudian Kasau menabrak orang hingga meninggal, dia akan berhadapan dengan hukum pastinya. Penulis memberikan saran, selama memimpin jangan mengambil resiko, menyopir sendiri contohnya. Inilah tindakan pengamanan intelijen. Staf jangan membiarkan pemimpinnya berada di posisi kritis dan bahaya, kalau dia salah tidak ada lagi bumpernya.
Nah, bagaimana  presiden kini harus memutuskan dalam kasus pencalonan Kapolri, pada saat nasi sudah menjadi bubur? BG sudah ditetapkan sebagai tersangka. Publik dan tokoh besar terbelah pro dan kontra, ada saran supaya dilantik? dan ada saran diteruskan prosesnya. Ada juga yang minta diganti saja calonnya.
Penulis tanpa berniat buruk, selalu membaca dan berpraanggapan bahwa dalam dunia politik tidak ada kesetiaan penuh. Banyak yang oportunis, hanya memikir kepentingan diri dan kelompok atau partainya. Entah siapa yang menyarankan agar Jokowi percaya kepada usulan kompolnas dalam meneliti data BG? Rekomendasi dari Bareskrim pegangannya.
Tetapi apakah inner circle presiden tidak faham atau cuek bahwa KPK juga terus memonitor BG? Apakah tidak ada informasi intelijen yang mem-back up presiden saat akan memutuskan sesuatu yang bisa menimbulkan gejolak? Disini diperlukan analisis intelijen mestinya.
Bahkan ada pertanyaan, apakah Kompolnas sudah meminta info  KPK dan PPATK tentang kemungkinan ganjalan terhadap proses BG? Karena presiden menyatakan bahwa pencalonan BG sudah memenuhi syarat, ada usulan Kompolnas yang didukung rekomendasi Bareskrim. Apabila back up memang kuat, mestinya KPK tidak menyatakan BG sebagai tersangka.
Ternyata semuanya itu tidak sekuat yang diduga. Kata "tersangka" dari KPK tersebut konsekwensinya berat dan luas. Menyangkut citra baik BG dan pemerintah, khususnya presiden, Â terutama menyangkut hukum. Siapapun yang dijadikan tersangka oleh KPK diterjemahkan masyarakat salah, dan terlibat korupsi. KPK tidak pernah salah, itulah kesimpulan selama ini.
Kita bisa mengatakan KPK sok jago, KPK mestinya tidak begini dan begitu, dan lain anggapan miring, tetapi kenyataannya ya keluar pencekalan dan pernyataannya itu. KPK tetap merupakan sebuah badan yang disetujui bersama dalam memberantas korupsi, masih mendapat dukungan kuat publik. Korupsi adalah gurita besar yang membelit bangsa ini. Sudah bukan budaya lagi, tetapi komoditas, kira-kira begitulah.
Nah, kini presiden Jokowi menjadi center kasus, dengan bola panas yang harus dia dinginkan, memang ada saran dari parpol pendukung dan tokoh-tokoh besarnya, ada dukungan dari partai PDIP tempat dia bernaung. Tetapi apakah ada yang mau ikut tanggung jawab apabila keputusannya tidak memuaskan, dan dinilai keliru?
Penulis heran dengan para pembantu presiden yang membiarkan presiden terlibat langsung dalam kemelut ini. Apakah tidak terbaca bahwa Komisi III itu terdiri dari partai koalisinya  pendukung Jokowi (KIH) dan parpol KMP sebagai lawan politiknya. DPR yang umumnya selalu ribut, mendadak baik hati mendukungnya, melanjutkan proses uji kelayakan BG? Kemudian yang lebih mengherankan, saat dibawa ke sidang paripurna, tidak ada kemelut atau sanggahan berat dari KMP yang biasanya berisik terhadap KIH? Ini ada apa, kan mestinya begitu intelijen Jokowi bertanya.
Kita lihat, setelah dinyatakan lulus, maka muncul ancaman kalau BG tidak dilantik bisa muncul impeachment terhadap Jokowi. Kalau Jokowi di impeach dan jatuh, siapa yang jadi presiden? Kan mestinya inner circle-nya bertanya begitu. Dalam hal ini penulis melihat bahwa bapak Presiden kini dikelilingi oleh jago-jago tua partai besar itu. Apakah PDIP menyadarinya? Judulnya Kuning mengepung merah, kira-kira begitulah. Bahkan menurut kabar sebentar lagi ada tokoh besar kuning akan menjadi penasihat presiden. Lengkaplah sudah.
Dalam istilah silat ini "lengbet", anda meleng ya disabet. Â Apakah seperti PD masa lalu, kini elit PDIP (maaf) menjadi rabun penglihatan? Jadi, seperti yang penulis ungkapkan saat membahas Pak SBY diupayakan dimasukkan ke killing ground, nampaknya secara perlahan dan halus, Jokowi mulai digiring juga.
Nanti yang menembakinya bukan parpol pesaingnya itu saja, tetapi yang mengerikan adalah pendukungnya sendiri. Relawan dua jari mulai beraksi menulis surat dan bahkan mengancam akan demo, belum lagi di FB, media sosial, ada yang melakukan pengumpulan tanda tangan menolak BG. Jadi menurut penulis, Jokowi kini mulai digiring masuk ke killing ground, banyak yang sudah siap-siap mengokang senjata media , menembaki saat dia sudah berada dibawah, termasuk relawannya yang mulai merasa tidak nyaman.
Jangan disepelekan ini, karena menyangkut dukungan ke pribadi Jokowi. Kalau boleh ditegaskan si perencana akan menggunakan momentum anti korupsi sebagai senjata pamungkas mereka. Tolong dipelajari mengapa presiden-presiden terdahulu diturunkan, mestinya ada sesuatu?. Itu "ada yang mengondisikan." Begitu kita membacanya dari sudut pandang intelijen. Waspada Pak.
Penulis : Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen, www.ramalanintelijen.net
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H