Pendahuluan. Beberapa waktu yang lalu, beredar berita heboh tentang Panglima Garda Revolusi Iran, Jenderal Qassim Soleiman, yang tewas oleh serangan udara AS saat tiba di Bandara Internasional Baghdad, pada tanggal 3 Januari 2020, padahal ia telah beberapa kali mengalami percobaan pembunuhan oleh AS dan sekutunya, namun selalu selamat dan terhindar dari maut. Â
Kala itu, ia baru saja mengunjungi kelompok milisi bersenjata Syiah Irak yang didukung dan pro Iran. Â Ia dan sejumlah anggota rombongan tewas oleh serangan drone bersenjata dan mematikan buatan AS. Â Jelas kedaulatan wilayah udara Irak tertembus oleh wahana udara bersenjata AS. Â Namun bagi AS, itu sejalan dengan kebijakan pertahanannya yakni Global Power, Global Reach and Global Vigilance dengan menyatakan dirinya sebagai Polisi Dunia.
Sejarah Drone. Kemajuan teknologi di bidang digital diciptakan untuk mempermudah kehidupan manusia.  Pusat Telekomunikasi dan Teknik Informasi (CTIE), Universitas Monash Australia, mengungkapkan bahwa drone ditemukan dan dikembangkan pada tanggal 18 Agustus 1849 setelah diciptakan oleh seorang insinyur Israel bernama Abraham Karem yang tinggal di AS.  Selanjutnya Badan Proyek Riset Pertahanan AS (DARPA) tertarik dan mendanai penelitian dan prototipe temuan tersebut.  Â
Pada November 1849, Nicolas Tesla, membuat hak paten remote control atau pengendali jarak jauh yang kemudian dijadikan dasar dari ilmu robotik kontemporer. Â Selanjutnya Tesla menciptakan kapal permukaan dan balon yang dapat dikontrol dari jarak jauh. Â Sejak itu, drone banyak digunakan untuk kepentingan militer. Austria diketahui menjadi negara pertama yang menggunakan drone saat menyerbu Itali pada 22 Agustus 1849. Â Saat itu, drone masih berbentuk balon udara yang dilengkapi bahan peledak di dalamnya.Â
Drone yang benar-benar berbentuk pesawat tanpa awak dirancang menjelang berakhirnya Perang Dunia-I. Â Itu ditandai dengan Hewitt Sperry Automatic Airplane yang berhasil terbang baik dan dikendalikan dengan teknik gyroscope. Â Reginald Denny, warga Inggris, memproduksi benda tersebut secara massal dan memasok kebutuhan The Royal Flying Corps yang berkembang menjadi pembuat radioplane yang kemudian menjadi drone pengamat, pengintai, intelijen dan penarget/pembunuh karena dipersenjatai. Â
Majalah Fortune AS mengungkapkan bahwa dunia militer mengenal drone canggih pada tahun 1995, saat pesawat tak berawak buatan General Automics M-Q-1 Predator mulai melaksanakan kinerja mematikan. Pada 2010, pengusaha AS Parrot memperkenalkan drone yang dapat dikendalikan smartphone dengan mengusung model quadcopter yang berbaling-baling empat.  Pengusaha AS lainnya, Jeff Bezos, pemilik perusahaan raksasa Amazon, mengusulkan drone yang mampu mengantar makanan. Bahkan belum lama di sebuah negara Timur-Tengah, perusahaan China memperkenalkan drone taxi yang mampu mengangkat empat penumpang guna menghindari kemacetan lalu-lintas. Citra drone yang pada awalnya selalu melekat dengan peralatan militer kini banyak digunakan masyarakat dan masyarakat mass-media.Â
Beberapa Jenis Drone. Banyak jenis drone yang beredar di dunia yang dibuat beragam negara, antara lain buatan AS yang memiliki kemampuan ISR (Intelijen, Pengamatan, Pengintaian), seperti MQ-1 Predator dan MQ-9 Reaper yang diduga digunakan untuk menggempur tokoh militer Iran di Irak serta Global Hawk.  Di samping itu, Turki juga telah banyak memproduksi dronenya buatan Baykar yang diminati banyak negara. Bahkan Menlu Turki, Mevlu Cavosaglo, mengatakan di Tokyo bahwa Indonesia dan Malaysia telah menyatakan ketertarikannya (28/9/2022). China juga memproduksi sejumlah jenis, di antaranya Wong Loong-II yang telah dibeli Maroko.  Sedangkan Iran menciptakan drone yang dikenal sebagai Shahed-136 dan Qods Muhajer-6. Â
Rusia sebagai negara maju juga memproduksi drone Orion, Othotnik dan Hunter yang berkecepatan fantastis serta super siluman. Indonesia diketahui mendorong pembuatan drone melalui Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang dikenal dengan sebutan Elang Hitam. Namun program tersebut dihentikan dan akan dialihkan menjadi versi sipil.  Drone buatan Indonesia merupakan lintas kementerian dan lembaga, antara lain  Kemenhan, TNI (AU), PTDI, PT LEN Industri, ITB, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), dan BPPT (sebelum beberapa lembaga tersebut dilikuidasi dan dilebur ke dalam BRIN) dan bahkan pesawat tempur KF-21 Borame buatan bersama Korea-Indonesia akan juga dilengkapi beberapa buah drone yang, antara lain, disiapkan untuk perang udara, serangan udara-ke-darat dan pemantauan.
Drone Laut. Menyadari bahwa drone udara secanggih apapun dapat dengan mudah dilumpuhkan persenjataan anti drone, sejumlah negara memproduksi drone laut permukaan, terutama drone bawah air.  Yang menonjol pada drone permukaan air adalah Turki dengan drone anti kapal selam yang diberi nama ULAQ sebagai armed unmanned service vehicle. AS menciptakan drone (ikan) pari ciptaan Marita Ray, sedangkan Rusia mencuptakan sejumlah drone sebagai sarana peninjau depan bagi kapal-kapal selamnya yang membuatnya imun dari serangan mendadak. Di sisi lain, Indonesia telah menemukan sejumlah sea glider jenis UUV (Unmanned Underwater Vehicle) yang ditemukan di tiga wilayah perairan berbeda, yakni di dekat perairan Laut China Selatan, di perairan Jawa-Timur dan di perairan Pulau Selayar, Sulsel.  Diduga sea glider tersebut buatan sebuah negara besar di utara Indonesia yang dinilai kerap ingin mengetahui kekayaan alam bawah air RI sebagai anugerah Tuhan YMK.
Manfaat Drone Bagi Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan Negara Kepulauan yang telah diakui dan disahkan PBB dengan UNCLOS 1982. Dengan wilayah geografis yang didominasi perairan, maka Center of Gravity (CoG) pertahanan RI pada dasarnya membutuhkan pertahananan laut yang kuat sesuai Doktrin Pertahanan Defensif Aktif yang dianutnya. Keterbatasan Alutsista perlu disiasati dengan penggunaan drone dalam beragam fungsi baik sebagai intelijen, pengamatan, pengintaian dan sekaligus sebagai wahana bersenjata baik dari udara maupun di bawah air. Pada tahapan suatu operasi militer dikenal pengerahan pesawat taktis bersenjata sebagai pengamat aju.Â
Sebelumnya TNI AU menggunakan pesawat tempur taktis jenis Mustang yang monumennya dipajang di depan pintu masuk Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta-Timur, selanjutnya menggunakan pesawat tempur taktis jenis OV-10 Bronco.  Kode OV bermakna observer (pengamat/pesawat aju) yang replikanya diabadikan di depan Museum Menjaga NKRI, Mabes TNI, Cilangkap, Jaktim. Selain sebagai pesawat aju, maka dalam rangkaian suatu serbuan pasukan, pesawat tersebut juga melakukan penembakan terhadap pos-pos dan kedudukan pasukan musuh guna memperoleh wilayah aman untuk dropping zone pasukan, disusul pengeboman oleh pesawat tempur/pengebom (fighter/bomber) dan dilanjutkan dengan penerjunan pasukan lintas-udara (linud). Â
Tahapan operasi tersebut terkesan usang dengan kemajuan teknologi Alutsista, namun AS sebagai negara besar saja masih melakukannya dengan menggunakan pesawat OV-10 pada kapal-induknya hingga medio dekade 90an. Â Gambaran tersebut mendorong pentingnya penggunaan drone atau juga UAV (Unmanned Aerial Vehicle) atau UCAV (Unmanned Combat Aerial Vehicle). Â Selain itu, pengunaan drone/UAV bersenjata/UCAV bermanfaat bagi suatu operasi militer, karena lebih murah, lebih praktis dan mengurangi resiko tertembaknya Alutsista berawak atau bahkan awak dan crew-nya, lebih cepat dalam pengambilan keputusan, jika kita mengerahkan pesawat aju sebagai observer atau pesawat intai maritim.Â
Karena itu TNI AU telah memiliki Skadron Udara yang mengoperasikan Alutsista UAV guna mengawasi dan mengamati wilayah garis perbatasan serta dapat dioperasikan pada segala cuaca, termasuk pemotretan udara. Menyadari kepentingan militer tersebut, reaktivasi drone/UAV Elang Hitam jenis MALE (Medium Altitude Long Endurance) yang dihentikan perlu dipertimbangkan guna kemandirian dalam pengadaan Alutsista dalam negeri dan jika mungkin diekspor guna peningkatan devisa.Â
Drone tersebut merupakan produksi lintas K/L dan merupakan salah satu Program Strategis Nasional Presiden RI Joko Widodo tahun 2016 serta memiliki kemampuan terbang pada ketinggian 15.000-30.000 kaki, mampu terbang selama 24 hingga 30 jam dan diperkenalkan pertama kali di PTDI pada tanggal 30 Desember 2019. Sedangkan manfaat pada kehidupan sipil, drone dapat digunakan untuk beragam keperluan massive, seperti memonitor dan mengatasi kesulitan pemantauan lebih dekat pada titik-titik tertentu yang sulit dijangkau alat transportasi karena berbahaya, misal pemantauan gunung meletus, mengalirnya lahar panas dan dingin, pemotretan dari udara dalam mencari korban bencana, korban kecelakaan pesawat terbang dan kapal tenggelam, kebakaran hutan, daerah yang dilanda air bah, banjir dahsyat, gempa bumi, longsor, likuifaksi, memantau turis sebagai korban kecelakaan di laut dan di daerah terpencil di puncak gunung dan sejenisnya, walau selama ini helikopter lebih banyak digunakan, yang tentunya lebih mahal dan membutuhkan sejumlah personel SAR, teknisi dan pendukung lainnya.
Penutup. Demikian sekilas mengenai drone atau UAV ditinjau dari aspek manfaat bagi kepentingan militer dan sipil.  Penulis sendiri tidak setuju jika drone disamakan dengan UAV karena terdapat kata aerial yang berarti udara atau terbang. Dengan demikian drone itu identik dengan UAV / UCAV, namun bukan sebaliknya.   Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H