Mohon tunggu...
Prayitno
Prayitno Mohon Tunggu... Tentara - Blog pribadi

Marsma TNI (Purn) Prayitno.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Hari Kartini dan Hari Ibu, Apa Manfaatnya bagi Perempuan Indonesia?

20 Desember 2021   12:48 Diperbarui: 21 Desember 2021   17:30 1133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap tanggal 21 April adalah momen bagi hampir semua perempuan Indonesia dari level pejabat negara dan pemerintah hingga ke level masyarakat bawah termasuk murid-murid TK, semua merayakannya.  

Mereka mengenakan kebaya modern atau tradisional dengan aneka perayaan, bahkan para pengemudi bus antar kota dan Trans Jakarta pun rela melepas seragamnya untuk berkebaya dan berselendang dengan tatanan rambut bersanggul modern dan tradisional, sehingga tampilan mereka lebih cantik dan menarik.  Pemandangan itu hanya ditemukan di Indonesia dan dikenal sebagai Peringatan Hari Kartini.

Namun, di negara kita ada juga perayaan lain khusus untuk kaum perempuan Indonesia yakni kegiatan wanita pada setiap tanggal 22 Desember yang dikenal sebagai Hari Ibu. 

Timbul pertanyaan mengapa perayaan wanita sampai harus dilakukan dua kali dan masuk ke dalam kategori hari nasional seperti halnya Peringatan Kemerdekaan. 

Hari Kartini dirayakan sebagai bentuk penghormatan kepada Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat yang lahir di Jepara tanggal 21 April 1879  cucu Bupati Demak Pangeran Ario Tjondronegoro yang mengajarkan kepada anak-cucunya bahwa pendidikan merupakan hal mendasar bagi kehidupan manusia.  

RA Kartini yang ayahnya menjadi Bupati di Jepara dari semula Wedana, sempat mengenyam pendidikan ELS (Europese Lagere School) berbasis Eropa, sehingga wawasannya luas karena mampu berbahasa Belanda dengan baik.  Namun saat lulus pada usia 12 tahun, ia harus berdiam di rumah dan dipingit sesuai adat waktu itu. 

Tokoh Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan kaum perempuan Indonesia.  Ia mendobrak tradisi diskriminatif tersebut dan berusaha agar wanita pribumi dapat bersekolah tinggi.  

Walau dipingit, Kartini terus melakukan korespondensi dengan teman-temannya yang sering memberikan bacaan berupa koran, majalah dan buku tentang sosial dan pengetahuan yang bertuliskan Bahasa Belanda. 

Sahabatnya seorang wanita Belanda, Rosa Abendanon, yang mengkompilasi tulisan-tulisannya yang kemudian dibukukan dengan judul 'Habis Gelap, Terbitlah Terang.'  

Wawasan itulah yang mendorong dirinya untuk memajukan perempuan pribumi yang kala itu berada pada strata rendah dalam cengkraman penjajah. 

Dia berpikir untuk memberikan emansipasi pada perempuan Indonesia yakni otonomi, kebebasan, persamaan hukum, bahkan hak asasi manusia yang berkeadilan. 

Foto RA Kartini (kiri) dan Komite Kongres Perempuan Indonesia tahun 1928 (kanan)
Foto RA Kartini (kiri) dan Komite Kongres Perempuan Indonesia tahun 1928 (kanan)

Dengan pemikiran tersebut, ia menggagas pendirian sekolah khusus perempuan pribumi agar para wanita memperoleh status sebagai masyarakat umum. Namun gagasannya gagal karena sang ayah yang mendukung justru wafat.

Menikah tahun 1903 dengan R.M. Djojohadiningkat, Bupati Rembang, ia memindahkan sekolah rintisannya dari Jepara ke Rembang karena sang suami juga mendukung.  

Setahun kemudian, 1904, setelah melahirkan anak pertamanya, RA Kartini meninggal beberapa hari setelah melahirkan. Ide cemerlang dalam mendorong persamaan hak, terutama pendidikan bagi perempuan Indonesia telah menjadikannya sebagai Pahlawan Nasional.

Sedangkan Hari Ibu diperingati setiap tanggal 22 Desember yang  merupakan tanggal saat Kongres Perempuan Indonesia diselenggarakan pertama kali di Yogyakarta hingga 28 Desember 1928 dan diperkuat oleh Keputusan Presiden RI dengan Dekrit bernomor 316 tanggal 16 Desember 1959. 

Peristiwa ini dikenang sebagai awal mula perjuangan kaum perempuan di Indonesia. Kowani (Kongres Wanita Indonesia) yang berdiri tahun 1946 dinilai sebagai kelanjutan dari Kongres Perempuan Indonesia tahun 1928 tersebut yang sebelumnya pernah dinamakan Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia (PPPI). 

Hal lain yang dikenang dengan mendalam adalah walau Kemerdekaan Indonesia belum diraih, namun berbagai tokoh dan pemimpin organisasi wanita di seluruh Indonesia berkumpul untuk bersatu dan berjuang guna meraih kemerdekaan, mengangkat derajat, harga diri, membela hak dan memperbaiki nasib kaum perempuan Indonesia.

Baik pendidikan yang waktu itu hanya diperuntukan untuk kaum pria, hak dalam perkawinan karena mereka dinikahkan pada usia sangat muda dengan calon mempelai pria yang merupakan pilihan orang tua dan selalu berujung di dapur, sehingga dikenal guyonan sumur, dapur dan kasur yakni kaum perempuan hanya akan bekerja mencuci pakaian, memasak dan melayani suami.   

Terkesan melecehkan, karena kita mengetahui dalam perjuangan kemerdekaan tercatat telah banyak pahlawan perempuan terkenal yang berjuang hingga titik darah penghabisan demi kemerdekaan nasional RI.   

Kita juga mengetahui terdapat perayaan the Mother's Day yang secara harafiah berarti Hari Ibu dan dirayakan setiap tanggal 9 Mei. 

The Mother's Day menurut sejarah muncul dari Amerika Serikat dan merupakan gagasan Anna Jarvis pada tahun 1908 jauh sebelum Kongres Perempuan Indonesia diselenggarakan tahun 1928 di Yogyakarta, namun setelah RA Kartini wafat tahun 1904 di Rembang.  

Tahun dan tempat tidak ada kaitannya sama sekali. Tujuan Anne Jarvis merayakan the Mother's Day adalah sebagai penghormatan kepada almarhumah ibunya atas pengorbanan ibunya untuk anak-anaknya.  

Perjuangannya berhasil dengan pengesahan negara di bawah Presiden AS Woodrow Wilson bahwa hari Minggu ke-2 di bulan Mei sebagai the Mother's Day.  

Saking menggemanya peran seorang Ibu di lingkup keluarga, John Lennon dari band the Beatles asal Liverpool, Inggris, menuangkannya dalam sebuah lagu terkenal berjudul Mother.

Secara singkat dapat ditarik garis merah keterdekatan tujuan antara perjuangan RA Kartini pada masa pendudukan kolonial Belanda yakni kebebasan, status dan kesetaraan pendidikan perempuan Indonesia.

Pada kehidupannya dalam masyarakat luas yang dikenal dengan emansipasi wanita, sedangkan Hari Ibu yang digelar 1928 bertujuan untuk memperjuangkan perbaikan derajat dan kedudukan perempuan, memperjuangkan kemerdekaan, mempertahankan serta mengisinya dengan pembangunan untuk negara dan bangsa.

Bahkan tersirat keinginan upaya menjadikan seseorang sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang mencurahkan pengorbanan utuhnya secara holistik tidak hanya di lingkup rumah namun juga di lingkup nasional.   

Dari uraian di atas, kedua peringatan tersebut sangat bermanfaat bagi kehidupan setiap perempuan Indonesia, baik muda ataupun dewasa, milenial (generasi now/Gen 5.0) ataupun tua (generasi old), asal kota ataupun desa, berpendidikan atau semi berpendidikan,  berpangkat ataupun tidak.

Bahwa mereka harus senantiasa meng-upgrade diri dalam berbagai kesempatan agar dapat mengangkat harkat, derajat dan martabatnya, sehingga dapat bermanfaat bagi dirinya, keluarganya, orang-tuanya, lingkungannya, masyarakatnya dan dunianya dengan baik dan benar dengan sebaik-baiknya demi kejayaan negara, bangsa dan rakyat Indonesia tercinta.  

Bahkan hadits Nabi SAW menegaskan bahwa 'Wanita adalah tiang negara. Jika baik wanitanya, maka baiklah negaranya dan jika rusak wanitanya, maka rusak pula negaranya.'  

Lebih jauh Tuhan YME  mengabadikan kemuliaan perempuan secara khusus dalam Juz ke-4 Al-Quran dengan Surah An-Nisa yang berarti Wanita.  

------------------------------------

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun