Mohon tunggu...
ono Prayetno
ono Prayetno Mohon Tunggu... Freelancer - Mencintai semua Ciptaan Tuhan tanpa membeda bedakan

Bekerja sebagai Pramuwisata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ironi Kehidupan Dari Seorang Tukang Becak di Medan

2 Januari 2019   09:47 Diperbarui: 2 Januari 2019   10:03 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiba-tiba becak yang kami tumpangi terhenti geraknya, dan sebelum becak berhenti tadi aku ada mendengar suara berderit dari bagian rantainya dan aku coba mencari sumber masalah sambil memperhatikan kebagian roda belakang dari mana suara derit berasal.

Betul saja salah satu mata rantainya sudah hampir terpisah dari rangkaiannya.

Dan kami pun turun dan membantu bapak tua itu menepikan becaknya.

Sambil ngedumel;  
"Oo alaah.. terpaksa nyoronglah aku sampai ke rumah kalau gini."
katanya dengan logat Jawa yang masih kental. Padahal dia lahirnya pun sudah di Medan.
Mungkin dalam keseharian di keluarganya masih menggunakan bahasa ibunya yaitu bahasa Jawa.

Dan kubayangkan dari tempat dimana becak itu rusak ke rumahnya Jalan Sukarame medan itu kira kira 7 km.

Aku tak mampu berkata apa-apa hanya terdiam haru sambil memperhatikan wajah tua yang penuh dengan guratan guratan kepahitan hidup yang mungkin sedang dialaminya saat ini.
Sebelum meninggalkannya aku menyalaminya dan memberikan uang alakadarnya yang mungkin bisa meringankan beban kehidupan yang membebaninya hari ini.

Tadi sebelum becak itu terhenti, aku sudah banyak bercerita dengan bapak penarik becak ini yang menurut ceritanya dia mempunyai enam orang anak dan lima orang cucu dari dua anak laki-lakinya yg sudah berumah tangga.
Sambil mengunyah kerupuk jaring warna putih ditangan kanannya dia bercerita tentang dua anak lelakinya yang sudah tidak bekerja sejak mereka berdua berumah tangga.

"Jadi kedua anak bapak itu sekarang tinggal dirumah bapak?"

"Ya, iya sampai sekarang ya.. sempit sempitan lah."katanya dengan suara yang agak terbata. Aku sempat membatin, "kok sampe hati kedua anaknya itu membebani orangtua yang sudah renta begini?"
"Biasanya ketika pulang kerumah, begitu mendengar suara  mesin becakku saja, langsung kelima cucuku itu berbaris seperti sudah diberi komando oleh orangtuanya."
Katanya sambil memainkan gas becak motornya yang juga kelihatan seperti kurang perawatan.

"Terpaksa dua ribu perak seorang" lanjutnya agak menggeleng gelengkan kepalanya.
"belum lagi bapaknya kerjanya cuma main game aja di Warnet sebelah rumah, sama saja sama cucuku, kerjanya cuma minta uang saja." sambil memandang kedepan memperhatikan jalan yang agak macet.

"Kalo minta kadang sepuluh ribu ya.. kadang lima ribu seperti anak anak gitu kelakuannya."

"Wahh, ini gila betul betul gila..!" seruku seperti gak percaya.
"yaa gitulah nak, kami setiap hari harus masak 3 1/2 kilo beras kalo ada sisa dari hasil narik becak ini ya disimpan tapi seringan pas pasan aja." katanya lagi.

Menurut bapak ini dulu pertama berumah tangga kedua anaknya itu masih mau bekerja.

"Tapi sejak bergaul dengan kawan kawannya dilingkungan kami mereka jadi males."  dia menerangkan.

"Kenapa kok jadi gitu pak?" tanyaku..
"Ya itu suka make narkoba."
"Dua duanya pak?"
"Ya iya.. Kadang aku kasihan melihat menantu perempuanku itu yang cuma bekerja sebagai tukang cuci dirumah - rumah orang, pulang sampe kerumah sudah capek,  sering dibentak bentak pula sama anakku itu." aku terus mendengarkan dengan penuh perhatian dan becak yang membawa kami terus melaju ditengah keramaian kota Medan dengan suaranya yang meraung raung menambah kebisingan.
 
Dan becak berhenti mengikuti barisan kendaraan yang lain karena lampu merah yg menyala persis disekitar Lapangan Merdeka Medan yang sekarang berubah menjadi Merdeka Walk.

Mulut bapak penarik becak masih terus mengeluarkan suara dari kerupuk yang dikunyahnya mungkin kerupuk jaring itu sebagai pengganti makan siangnya.
 
"Seharusnya seusia bapak ini sudah gak perlu kerja keras lagi ya pak?"
"Seharusnya,, seumurku yang 64 tahun ini ya begitu tapi kalo aku gak narik becak kami mau makan apa Nak?!"
"Wong ini tinggal satu satunya pencarian dalam keluarga kalau aku sakit yo uwes" kulihat raut muka yang memelas ikhlas tapi mampu ditutupinya dengan semangat kerja yang tulus demi kelangsungan hidup keluarganya.
"Setiap pagi selepas sholat subuh aku sudah keluar nanti pukul enam sore sebelum maghrib biasanya sudah sampai dirumah lagi" katanya sambil matanya tak henti memperhatikan kanan kiri jalan.

Cuma dari tadi kulihat bapak ini tidak pernah mengenakan Helmnya,  yang tercantol didepan tempat duduk kami. Padahal beberapa orang Polisi disetiap persimpangan jalan sudah kami lewati.
"Mungkin pak Polisi pun melihat kondisi becaknya yang sudah tua itu gak sampai hati juga mau menangkapnya" pikirku sambil berandai-andai.
 
Dan aku masih terus memikirkan bagaimana bapak tua itu menyorong becaknya agar bisa sampai kerumah atau ke bengkel agar esok hari masih ada harapan untuknya mengais rejeki buat keluarganya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun