Badannya kurus berkulit hitam dan rambut lurus berdiri mungkin karena dipotong pendek sesisir dan wajahnya terlihat sudah agak tidak simetris karena diserang "bells palsy" katanya, Â mengutip keterangan dokter yang pernah dikunjunginya.
Tapi sekarang mata sebelah kiri dan pipinya sudah bisa bergerak walaupun belum begitu normal seperti semula. Dan bicaranya pun lancar selancar dia menceritakan kisahnya menjadi seorang preman pasar di kota kami.
Kini perlahan dia mulai sadar atas semua tindakannya yang kadang tidak sesuai dengan kata hatinya yang paling dalam. Rasa gelisah dan bersalah selalu menghantui setiap dia pulang ke rumah.
Karena itu, tak jarang dia pulang dalam keadaan mabuk tuak atau kadang minuman botol seperti cocacola tapi dicampur brandy  untuk mengatasi semua rasa gelisahnya itu.
"Kalo cocacola saja mana bisa mabuk bang," katanya bercanda.
"Kadang aku kasian melihat ibu ibu  tua yang kumintai uang sementara jualannya pun mungkin belum ada yang laku."
"Sampai kubentak bentak bahkan kadang barang jualannya pun sempat kusepakkan."
"Begitulah dulu kejamnya aku menghadapi tukang jualan setiap hari minggu."
"Setelah itu aku kadang menyesal telah memperlakukan seorang ibu sekejam itu. Kubayangkan Seandainya lah, ibuku diperlakukan  orang seperti itu bagaimana perasaanku."
Tatapannya kosong mengarah jauh ke puncak gunung seperti hendak menebus semua rasa bersalahnya.
"Tapi sejak aku menderita penyakit ini aku sudah mulai mengurangi kegiatanku di pasar dan kalau pun aku mengutip uang preman kulakukan dengan cara yang simpatik tidak main bentak bentak lagi." dia terus bercerita walaupun belum seratus persen memberhentikan kegiatannya itu.
Dan dia sadar kalau tindakannya itu menuai banyak sumpah serapah dari orang orang yang merasa teraniaya. "Dan mungkin penyakitku ini akibat disumpahi orang orang itu." katanya menebak nebak.
Dalam hatiku berkata, ternyata di setiap diri manusia yang jahat sekali pun ada seberkas cahaya kebaikan yang memanggil jiwa yang tersesat di kegelapan hidup untuk kembali kepada kebaikan yang hakiki.
Di kota kami setiap hari minggu selalu ramai orang berjualan di trotoar jalan walaupun tanpa disadari kegiatan itu sebenarnya melanggar hak-hak para pejalan kaki tapi semua orang malah menikmati trotoar yang dijadikan lapak berjualan itu. Baik itu untuk hanya sekedar kegiatan cuci mata maupun mencari dan membeli pakaian pakaian bekas atau pakaian Monza.
Karena yang dijual di situ memang kebanyakan adalah pakaian bekas impor mulai dari baju, celana, jaket, dan sepatu untuk pria dan wanita.
Sesekali Satpol PP mengadakan razia tapi seminggu kemudian buka lagi. Oleh para preman pasar, ini sebuah kesempatan untuk dijadikan lahan mengeruk keuntungan mungkin untuk diri sendiri mungkin juga untuk kelompoknya.
Dan preman di kota kami tidak saja memalak atau mengkompas para pedagang kaki lima tapi sudah merambah sampai kepada warga yang sedang atau akan merenovasi atau membangun rumah. Kalau tidak diberikan kadang bangunan yang sudah dibuat malamnya bisa dirusak.
Apalagi mendekati hari besar seperti sekarang musim Natal dan tahun baru pasti banyak yang meminta minta sumbangan. Ke toko atau kedai sekitarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H